Pajak, Panama Papers dan Lubang Hitam Kapitalisme


Oleh : Umar Syarifudin 
(Lajnah Siyasiyah DPD HTI Kota Kediri)

Negara-negara “dracula” saat ini, yang menghisap “darah” rakyatnya dengan bherbagai pajak hingga tetes darah yang terakhir.

Panama Papers, Mossack Fonseca, perusahaan offshore, dan beragam kejahatan finansial tiba-tiba menjadi ramai di berbagai media nasional dan internasional dalam dua hari belakangan ini. Panama Papers adalah kumpulan 11,5 juta dokumen rahasia yang dibuat oleh penyedia jasa perusahaan asal Panama, Mossack Fonseca. Panama sebagai salah satu negara surga pajak sehingga kuat dugaan bahwa mereka sedari awal punya rencana melakukan penghindaran atau pengelakan pajak (tax avoidance/tax evasion). Panama hanya satu dari puluhan negara tax haven yang menyediakan fasilitas bagi korporasi, orang super kaya dan pelaku kejahatan lainnya agar dapat menghindari dan mengelak bayar pajak.

Banyak pengusaha dan elit Indonesia yang masuk daftar dalam Panama Papers. Hal ini mengkonfirmasi bahwa praktik-praktik kotor penghindaran dan pengelapan pajak telah menjadi ancaman serius bagi Indonesia dalam mobilisasi penerimaa pajak untuk pembiayaan pembangunan. Panama Papers juga menunjukkan bahwa potensi penerimaan pajak Indonesia yang “menguap” jumlahnya sangat besar.

Mereka melakukan kejahatan dengan menggunakan bantuan Jasa Biro Hukum Mossack Fonseca di Panama. Nah, catatan2 kejahatan mereka ini ternyata bocor dan dipublikasi oleh SZ. Bocornya dokumen catatan mega kejahatan ini yang akhirnya kita kenal dengan “Panama Paper”.

 Dokumen ini berisi informasi rinci mengenai lebih dari 214.000 perusahaan luar negeri, termasuk identitas pemegang saham dan direkturnya. “Panama Papers” mengungkap nama banyak pejabat dan pengusaha dari berbagai negara di dunia yang pernah menyewa jasa Mossack untuk mendirikan perusahaan di yurisdiksi bebas pajak di luar negeri.

Cerita dari berbagai kejahatan keuangan, antara lain:

1. Ada 500 Bank di dunia ada dalam catatan skandal ini termasuk 28 bank dari Jerman.
2. Kejahatan Pejabat FIFA serta penggelapan pajak seperti pemain bola Top Messi pun dibahas.
3. Seperempat dari Kabinet Islandia tercatat terlibat dalam skandal ini
4. Pemimpin2 Dunia seperti Putin dan juga dari negara-negara Islam Arab bahkan Presiden Suriah Asad atau Mantan  Presiden Iran Ahamdinejad pun ada catatannya.
5. Para Pemimpin2 dunia catatan skandal keuangannya pun terbongkar disini. Lihatlah di gambar jejaring negara2 yang pemimpin2 dari negara tersebut terlibat dalam skandal keuangan menggunakan jasa biro hukum Mossack Fonseca di Panama.

Bahkan bocoran Panama Papers ini dijuluki sebagai “bocoran terbesar dalam sejarah jurnalisme data,” oleh Edward Snowden. Bocoran dokumen ini merupakan hasil penyelidikan selama setahun oleh 370 wartawan investigatif dari 76 negara.Dokumen tersebut mencantumkan nama pemimpin lima negara, yaitu Argentina, Islandia, Arab Saudi, Ukraina, dan Uni Emirat Arab, serta pejabat pemerintahan, kerabat dekat, dan teman dekat sejumlah kepala pemerintahan dari kurang lebih 40 negara lainnya, termasuk Brasil, Cina, Perancis, India, Malaysia, Meksiko, Malta, Pakistan, Rusia, Afrika Selatan, Spanyol, Suriah, dan Britania Raya.

Rentang waktu dokumen ini dapat ditelusuri hingga tahun 1970-an. Dokumen berukuran 2,6 terabyte ini diberikan oleh seorang sumber anonim kepada Süddeutsche Zeitung pada bulan Agustus 2015 dan International Consortium of Investigative Journalists (ICIJ). Dokumen bocoran ini kemudian disebarkan dan dianalisis oleh kurang lebih 400 wartawan dari 107 organisasi media di lebih dari 80 negara!

Laporan berita pertama berdasarkan dokumen ini bersama 149 berkas dokumennya telah diterbitkan pada tanggal 3 April 2016 silam. Daftar lengkap perusahaan yang terlibat telah dirilis pada awal Mei 2016 lalu. Mossack Fonseca adalah badan hukum dan penyedia jasa perusahaan asal Panama yang didirikan tahun 1977 oleh Jürgen Mossack dan Ramón Fonseca. Perusahaan ini menyediakan jasa pembentukan perusahaan di negara lain, pengelolaan perusahaan luar negeri dan manajemen aset.

“Panama Papers menunjukkan bahwa dunia sudah berada di era darurat kejahatan pajak. Hal ini harus menjadi momentum bagi Pemerintah Indonesia untuk segera membasmi praktik penghindaran pajak, pengelakan pajak dan praktik pencucian uang oleh wajib pajak Indonesia, baik perorangan maupun badan hukum,” kata Direktur Eksekutif Perkumpulan Prakarsa, Ah Maftuchan, Jumat (8/4). 

Menurut dia, dengan banyaknya pengusaha dan elite Indonesia yang masuk dalam daftar yang ada di “Panama Papers”, hal tersebut dinilai mengonfirmasi bahwa praktik-praktif kotor dalam menghindari dan mengelak pajak telah menjadi ancaman serius bagi Indonesia. Ia berpendapat, ancaman serius itu karena dapat mengurangi mobilisasi penerimaan pajak untuk pembiayaan pembangunan di berbagai daerah.Selain itu, lanjutnya, “Panama Papers” juga menunjukkan bahwa potensi penerimaan pajak Indonesia yang menguap yang jumlahnya sangat besar. aktual.com (8/4/16).

Kejadian ini muncul dari adanya praktik investasi atau pemindahan uang ke sebuah perusahaan yang berada di negara bebas pajak. Pemindahan uang itu biasanya dibantu oleh seorang perantara. Perantara dalam kasus ini adalah Mossack Fonseca. Secara umum praktik ini diperbolehkan, termasuk pengelolaan uang di perusahaan yang dibentuk dengan bantuan perantara tadi. Akan tetapi, praktik ini memiliki celah yang bisa digunakan oleh para penjahat finansial untuk melakukan kejahatan seperti: penghindaran pajak, pencucian uang, penjualan narkoba, pendanaan terorisme, pendanaan rezim brutal, dan lainya. Ini yang menjadi masalah. 

Adapun proses-proses yang terjadi dalam praktik pemindahan uang ini terdiri dari beberapa komponen, yakni: 

Perusahaan Cangkang/Bayangan

Perusahaan ini sebenarnya sama dengan perusahaan pada umumnya. Tapi, seperti julukannya, perusahaan ini hanya sebatas cangkangnya saja, tidak ada isinya. Struktur organisasinya dibuat seolah-olah ada. Bisa menggunakan nama pengacara, akuntan atau bahkan petugas janitor, yang tugasnya hanya untuk menandatangani dokumen perjanjian pembentukan perusahaan.

Fungsi perusahaan ini hanyalah mengatur uang yang mengalir di dalamnya, sambil tetap menyembunyikan siapa pemilik uang itu sebenarnya. Adakalanya orang-orang berduit yang menggunakan jasa ini bersembunyi dari otoritas atau dari mantan istri. Perusahaan cangkang bisa juga disebut dengan perusahaan "kotak surat", karena tugas mereka yang tidak lain juga sebagai alamat untuk mengirimkan surat. 

Pusat Keuangan Offshore

Jika seseorang sudah memiliki perusahaan cangkang, pasti tidak ingin meletakkannya di London, Paris, atau bahkan di Jakarta, di mana para petugas pajak bisa dan boleh melacaknya. Anda membutuhkan pusat keuangan offshore, atau lazim disebut tax haven. 

Biasanya tax haven berada di negara-negara kepulauan kecil dengan fasilitas keuangan yang sangat rahasia dan kecil bahkan tidak ada pajak pada setiap transaksi keuangannya. Negara-negara itu di antaranya British Virgin Islands, Hong Kong, Panama, Singapura, dan lainnya. 

Saham dan Obligasi atas Unjuk (bearer shares and bonds)

Untuk mempermudah seseorang memindahkan uang dalam jumlah besar namun anonimitas tetap terjaga, pilihan memiliki saham dan obligasi atas unjuk adalah jawaban yang tepat.  Bearer shares and bonds adalah jenis saham dan obligasi yang nama pemiliknya tidak dicantumkan dalam sertifikatnya.
Cara kerja saham dan obligasi atas unjuk ini adalah siapa pun yang memilikinya, baik dalam dompet, laci atau kotak deposit, berhak memilikinya secara penuh, meski orang tersebut "bukan" pemilik perusahaan itu. Besaran per lembar saham dan obligasi itu juga tidak sedikit, paling kecil sebesar USD14 ribu atau sekitar Rp185 juta. 

Sangat cocok bagi orang tadi yang butuh melakukan transfer uang dalam jumlah besar dengan cepat. Apalagi jika saham atau obligasi ini disimpan di Panama, siapa yang akan tahu? Sejak tahun 1982, pemerintah Amerika Serikat telah menghentikan penjualan saham dan obligasi jenis ini karena paling mudah digunakan bagi para penipu. 

Pencucian Uang

Praktik ini biasa dilakukan untuk mencuci uang "kotor" sehingga bisa dipakai lagi tanpa menimbulkan kecurigaan. Jika seorang penjual narkoba, penipu, atau koruptor, tidak mungkin bisa langsung menggunakannya karena akan langsung dicurigai. Oleh karenanya, uang itu perlu dikirim ke negara bebas aturan untuk dipindahkan dalam bentuk saham dan obligasi unjuk, dengan kepemilikan perusahaan cangkang sehingga tidak akan ada yang tahu dari mana asalnya uang itu. 

Selesai! Uang orang tadi menjadi bersih. Orang tadi pun kemudian bisa menggunakannya untuk membeli hotel, berlibur ke Eropa, membayar sekolah anak atau mungkin apartemen mewah di Perancis. 

4000 Pengusaha Multinasional Tidak Bayar Pajak

Jelas, Panama papers membuka ‘kotak pandora’ kejahatan korporat hitam sekaligus kengerian peradaban kapitalisme yang penuh intrik dan manipulasi. Terkait fakta 4000 Pengusaha Multinasional Tidak Bayar Pajak, Mantan Menteri keuangan Agus Martowardojo mengungkap ada ribuan perusahaan multinasional yang tidak menjalankan kewajibannya kepada negara. Jumlahnya tidak tanggung-tanggung, hampir 4.000 perusahaan tidak membayar pajaknya selama tujuh tahun. “Di Indonesia, sekitar 4.000 perusahaan patungan (joint venture) yang dikategorikan sebagai regional national company atau multinational company tidak bayar pajak selama tujuh tahun,” keluh dia di Kantor Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Jakarta, (12/4/2013).

Agus menilai, sejumlah perusahaan multinasional kerap melakukan praktik profit shifting atau peralihan laba dengan membayar pajak lebih rendah dari yang seharusnya. Profit shifting adalah upaya wajib pajak yang berusaha mencari manfaat dari negara yang menawarkan pajak rendah sehingga mampu membantu perusahaan menggeser keuntungan. Tujuannya untuk mengambil manfaat dari sistem berbagai negara yang tidak masuk dalam tax heaven country.

Sejumlah kasus mafia pajak tak habis-habisnya terbongkar dalam 4 tahun terakhir. Pegawai rendah Kantor Pajak ketahuan menimbun duit hingga miliaran rupiah. Ada yang kasusnya dihentikan karena tak terbukti. ironisnya, ketika rakyat digenjot untuk membayar pajak, pada saat yang sama pemerintah semakin mudahnya mengobral kekayaan alam dan barang tambang dengan harga murah. 
Hal itu dilakukan melalui projek privatisasi dan swastanisasi, yaitu penyerahan pengelolaan SDA ke swasta khususnya asing melalui peningkatan investasi yang dilegalkan melalui UU seperti UU SDA, UU Pertambangan Mineral dan Batubara, UU Penanamaan Modal, dan lain-lain. Akhirnya terjadilah kondisi yang ironis. Rakyat dikejar-kejar dengan pajak, sementara kekayaan barang tambang dan SDA lain yang melimpah ruah justru dinikmati perusahaan asing. Oleh karena itu, sebenarnya naiknya sumber pendapatan negara dari pajak semakin menunjukkan kokohnya ekonomi neoliberal yang diterapkan oleh pemerintah.

Makelar kasus yang melibatkan Gayus, karyawan golongan III A di Ditjen Pajak yang menangani kasus keberatan pajak yang diajukan lebih dari seratus perusahaan semakin menambah kekecewaan para pembayar pajak. Yang terbayang di benak mereka, golongan III A saja mampu melakukan korupsi Rp 28 miliar, bagaimana dengan pejabat-pejabat yang ada di atasnya? Maka sebenarnya hal yang wajar ketika muncul fenomena boikot pajak karena bisa jadi para pembayar pajak menyadari bahwa ternyata pajak hanya sebagai alat eksploitasi untuk kepentingan para kapitalis dan birokrat.

Sesat Kebijakan 

Peningkatan pendapatan negara dari pajak merupakan dampak dari kebijakan ekonomi kapitalis yang meminimalkan peran negara dalam perekonomian. Akibatnya, kesejahtera-an rakyat diserahkan kepada mekanisme pasar dan pihak swasta. Hal ini dapat kita lihat dari peran pajak sebagai fungsi budgeter dan fungsi regulator. Dalam hal ini, perusahaan swasta dibebani untuk memiliki tanggung jawab sosial dan ekonomi. 

Fungsi budgeter yaitu menjadikan pajak sebagai sumber utama pendapatan negara. Jadi wajar jika setiap tahun selalu terjadi target peningatan pajak baik secara kuantitas (jumlah rupiah) maupun kualitas (jenis pajak dan jumlah pembayar pajak). Dalam konteks Indonesia cengkeraman Kapitalisme (neoliberal) ini semakin kuat dengan melihat perkembangan APBN dari tahun ke tahun; secara kuantitas terjadi peningkatan jumlah penerimaan negara dari sektor pajak. 

Fungsi regulasi yaitu menjadikan pajak sebagai alat untuk mengatur pelaksanaan kebijakan di bidang ekonomi dan sosial. Dengan fungsi ini diharapkan pajak bisa dijadikan sarana untuk mendistribusikan kekayaan dari orang kaya kepada orang miskin. Namun kenyataannya, setiap APBN yang disusun oleh Pemerintah selalu tidak pro rakyat. Sebagai contoh, Belanja APBN 2016 ditetapkan sebesar Rp 2.121,3 triliun, naik Rp 137,1 triliun dari APBNP 2015. Adapun total penerimaan diusulkan sebesar Rp 1.848,1 triliun, naik Rp 86,5 triliun dari APBNP 2015. Jadi, APBN 2016 defisit Rp 273,2 triliun atau 2,1 persen PDB. Sebagian besar penerimaan itu berasal dari pajak Rp 1.565,8 triliun. Sisanya dari penerimaan negara bukan pajak (PNBP) Rp 280,3 triliun dan dari hibah Rp 2 triliun.Dalam data yang lebih rinci, misalnya, alokasi belanja Pemerintah untuk fungsi perdagangan, pengembangan usaha, koperasi dan UKM hanya sebesar Rp 1,5 triliun; alokasi belanja untuk fungsi pertanian, kehutanan, perikanan dan kelautan di bawah Rp 9 triliun. Sangat ironis jika dibandingkan dengan alokasi pembayaran bunga utang luar negeri yang lebih dari Rp 38 triliun.

Jadi, jelaslah bahwa fungsi pajak sebagai alat distribusi itu tidak pernah terealisasi. Yang terjadi adalah pajak sebagai alat ekploitasi untuk kepentingan para kapitalis dan birokrat. Pasalnya, penerimaan negara yang terbesar dari pajak sebenarnya berasal dari rakyat, baik melalui pajak langsung maupun pajak tidak langsung yang dibebankan oleh perusahaan melalui tingginya harga barang. Lalu ketika pajak tersebut sudah terkumpul, alokasi yang terbesar ternyata juga bukan untuk rakyat.

Kekeliruan lain dalam paradigma ekonomi kapitalis ini juga dampak dari minimnya anggaran negara untuk jaminan sosial. Pemerintah mengalihkan sebagian tanggung jawab sosialnya, bahkan seluruhnya, kepada swasta, baik individu maupun perusahaan. Inilah yang menjadi akar problem perburuhan. Pasalnya, buruh selalu menuntut fasilitas yang sebenarnya bukan menjadi tanggung jawab perusahaan seperti hak buruh dalam pendidikan dan kesehatan, hak libur dan cuti (termasuk cuti haid, hamil dan melahirkan bagi buruh wanita), sampai penyediaan fasilitas kesehatan untuk keluarga yang sebenarnya tidak ada kaitannya dengan pekerjaan buruh. 

Khatimah

Panama papers sebagai aib besar peradaban kapitalisme. Dan yang kita butuhkan saat ini bukan pemimpin yang terus-menerus memoroti rakyat dengan pajak melalui iklan yang menyesatkan, tetapi yang kita butuhkan adalah pemimpin yang mampu mengembalikan kekayaan alam atau sumber daya alam milik rakyat (saat ini hampir 90 persen sumber daya alam kita dikuasai asing) dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Tentu hal ini akan terealisasi kalau kita kita bebas dari cengkeraman neoliberal dan menggantinya dengan sistem ekonomi yang manusiawi, yaitu sistem ekonomi berbasis syariah. [VM]

Posting Komentar untuk "Pajak, Panama Papers dan Lubang Hitam Kapitalisme"