Syariah dan Khilafah Bukan Ancaman


Oleh : Agus Suryana, S.S., M.Pd (*)

Sejumlah kasus terorisme, terutama di negeri ini, selalu dikaitkan dengan isu penegakan syariah dan Khilafah. Contohnya adalah beberapa kasus bom di Indonesia yang dilakukan oleh para alumnus Perang Afganistan. Ada juga isu Islamic State (IS/ISIS) di Suriah yang menampilkan “wajah” Khilafah dalam raut palsu yang menakutkan, cenderung meneror dan meresahkan masyarakat ketimbang membuat rasa nyaman dan membawa rahmat bagi semesta alam. Yang terbaru adalah peristiwa Bom Thamrin. Peristiwa ini membawa babak baru upaya teror yang terkesan kian berani dan terbuka. Semuanya makin menjustifikasi tuduhan bahwa syariah dan Khilafah adalah ancaman.

Di sisi lain, ada transendensi politik di negeri ini yang diperlihatkan oleh partai politik Islam nonparlemen, yakni Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). HTI adalah marja’ (rujukan) dalam perjuangan penegakan syariah dan Khilafah di Indonesia. HTI tampak memiliki daya tarik tersendiri bagi umat Islam. Ribuan umat Islam pernah tumpah-ruah dalam berbagai event politik yang diselenggarakan oleh HTI. Yang paling fenomenal, HTI berhasil menyelenggarakan dua kali perhelatan akbar di Stadion Gelora Bung Karno Jakarta, yang notabene merupakan stadion terbesar di Asia Tenggara. Melihat jumlah massa yang hadir saat itu mencapai ratusan ribu, dengan mengusung ide penegakan syariah dan Khilafah, sangat wajar jika kemudian syariah dan Khilafah dianggap oleh sebagian pihak sebagai ancaman terhadap demokrasi. Pasalnya, dalam pandangan mereka, syariah dan Khilafah tidak kompatibel dengan realitas politik negara-bangsa dengan sistem demokrasi sebagai pilarnya.

Rahmat, Bukan Ancaman

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), mengancam bermakna menyatakan maksud (niat, rencana) untuk melakukan sesuatu yang merugikan, menyulitkan, menyusahkan atau mencelakakan pihak lain. Bisa kita bayangkan jika pemaknaan “mengancam” ini disematkan pada gagasan penegakkan syariah dan Khilafah. Padahal penegakan syariah dan Khilafah adalah kewajiban yang diperintahkan langsung oleh Al-Khâliq al-Mudabbir di dalam al-Quran maupun as-Sunnah. Bagaimana mungkin penegakan Khilafah—sebagai institusi penerap syariah secara kâffah yang bisa mendatangkan kemaslahatan dan kesejahteraan seluruh umat manusia—dikatakan merugikan, menyulitkan, menyusahkan atau mencelakakan pihak lain? Jelas ini adalah pernyataan ngawur dan mengada-ada serta menantang perintah Allah SWT.

Pertanyaannya: Siapa sebenarnya yang dirugikan dengan penegakan syariah dan Khilafah? Siapa yang menjadi sulit dan susah kehidupannya jika Islam kâffah tegak di Indonesia yang mayoritas Muslim ini? Siapa pula yang akan celaka jika hukum-hukum Allah SWT ditegakkan? Tentu mustahil jika jawabannya adalah umat Islam, bahkan non-Muslim sekalipun. Pasalnya, penerapan syariah dalam institusi Khilafah adalah rahmat bagi alam semesta. Jadi, siapa lagi yang merasa terancam kalau bukan kaum kafir Barat, pihak-pihak yang anti Islam serta kaum oportunis yang takut terusik dan kehilangan bagian keuntungan dalam sistem Kapitalisme yang rusak ini.

Tudingan bahwa syariah dan Khilafah adalah ancaman muncul seiring dengan runtuhnya sistem kufur—sekularisme, demokrasi, kapitalisme, neoimperialisme dan neoliberalisme—di tengah-tengah masyarakat. Alih-alih mampu menyejahterakan masyarakat, sistem kufur tersebut malah makin menambah keterpurukan dan kerusakan.

Bagi musuh-musuh Islam, gerakan penegakan syariah dan Khilafah ini dapat digolongkan sebagai resistansi global terhadap sistem yang ada. Namun, tuduhan ini tidak relevan jika dikaitkan dengan fakta bahwa syariah dan Khilafah belum pernah tegak di negeri ini pasca Indonesia memproklamirkan dirinya sebagai entitas bangsa yang merdeka. Lalu bentuk ancaman seperti apa yang dapat dirasakan, sementara implementasi syariahnya sendiri belum pernah ada?

Di sisi lain, sejarah justru mencatat kondisi sebaliknya. Alih-alih mengancam, penerapan syariah dan Khilafah selama kurang lebih tiga belas abad lamanya justru telah mengantarkan umat Islam dalam kehidupan yang aman, sejahtera dan penuh berkah. Sebaliknya, ancaman justru muncul dari Kapitalisme global pasca runtuhnya Khilafah sejak tahun 1924.

Islam Rahmatan lil ‘Alamin

Bagi kaum Muslim yang hidup pasca Khilafah Islamiyah hancur di Turki tahun 1924, ide-ide Barat seperti sekularisme, demokrasi dan pluralisme telah mereka terima lebih dulu sebagai kebenaran absolut secara taken for granted. Ide-ide Barat itu lalu dijadikan standar untuk menilai dan menghakimi ajaran Islam. Jika suatu ajaran Islam cocok dengan nilai-nilai peradaban Barat, bolehlah diamalkan. Namun, jika tidak cocok, ajaran Islam itu wajib diubah, diadaptasi, dimodifikasi dan bahkan dihancurkan agar sesuai dengan nilai-nilai peradaban Barat (William Montgomery Watt, Fundamentalisme Islam dan Modernitas, 1997:147-256).

Apa yang disampaikan William Montgomery Watt sangat tepat. Dengan kasatmata kita dapat menyaksikan adanya upaya dari para pembenci Islam untuk menjauhkan makna hakiki istilah-istiah dalam Islam. Yang paling sering “dibajak” adalah istilah “Islam rahmatan lil ‘alamin”. Islam rahmatan lil ‘alamin sejatinya bermakna bahwa dengan penerapan syariahnya secara kâffah akan lahir Islam yang membawa rahmat bagi alam semesta. Pengertiannya telah diseret ke arah paradigma liberal seperti anti kekerasan (jihad fi sabilillah), terbuka terhadap siapapun (inklusif), tidak memaksakan pendapat, tidak mengklaim yang paling benar, dll

Sebagai contoh, dalam beberapa kesempatan, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin selalu mengatakan bahwa Islam adalah agama yang rahmatan lil ‘alamin, yakni Islam itu toleran, cinta damai dan menolak kekerasan. Pernyataan tersebut muncul seiring dengan maraknya pengikut ISIS di Indonesia sebagai gerakan yang mengusung penegakan Khilafah dengan cara kekerasan.

Pernyataan Islam rahmatan lil ‘alamin sebagai Islam anti kekerasan telah diarahkan pada pengertian implisit bahwa Islam anti jihad fi sabilillah. Pernyataan ini merupakan counter terhadap klaim aktivitas jihad fi sabilillah yang diartikulasikan oleh sebagian gerakan Islam dalam bentuk aksi pengeboman seperti kasus Bom Thamrin dan aksi-aksi sejenis. Pernyataan ini tidak lebih dari sekadar defensive apologetic; bermaksud membela atau meluruskan makna jihad, tetapi malah mereduksi makna jihad yang sebenarnya dikenal dalam Islam namun keliru dalam implementasinya.

Pendapat senada juga dikemukakan oleh Ketua Umum Dewan Koordinasi Nasional Gerakan Pemuda Kebangkitan Bangsa (Garda Bangsa) M Hanif Dhakiri. Dia menegaskan bahwa pada dasarnya Islam adalah dien wal ummah, religion and nation (agama dan bangsa); bukan dien wal daulah, religion and state (agama dan negara). Dengan begitu, kata dia, politik Islam semestinya tidak berkepenti-ngan dengan Negara Islam, melainkan kebaikan masyarakat secara keseluruhan (rahmatan lil ‘alamin) yang pasti moderat, toleran, anti-kekerasan dan menolak ide negara Islam.

Pentolan Jaringan Islam Liberal, Ulil Abshar Abdala, juga sering “memaksakan” pendapat-pendapatnya yang menyimpang dalam menafsirkan Islam rahmatan lil ‘alamin. Kata dia, Islam rahmatan lil ‘alamin adalah Islam yang tidak memaksakan pendapat, tidak saling membenci, tidak saling memusuhi dan tidak mengklaim diri yang paling benar. Menurut dia, berbeda paham tidak harus saling benci sebagaimana tindakan kepada Syiah dan aliran-aliran sesat yang menurut dia harus diakui sebagai bagian dari umat Islam.

Memang, dalam Islam kita tidak boleh memaksakan pendapat, tidak diperkenankan mengklaim diri yang paling benar, apalagi dalam perkara-perkara yang memang boleh beda (furû’). Namun, jangan lupa bahwa Islam begitu tegas terhadap perkara yang memang mengharuskan kita untuk sama dalam bersikap seperti persatuan umat Islam, kewajiban penerapan syariah dan penegakkan Khilafah, dll.

Islam juga mengajarkan kepada kita untuk tidak saling membenci dan saling memusuhi satu sama lain, bahkan bukan hanya pada sesama Muslim, tetapi juga non-Muslim. Namun ingat, bahwa rasa suka, rasa benci, semuanya harus dalam perspektif hukum syariah. Terhadap kemungkaran dan kemaksiatan yang ada di masyarakat maka jelas kita harus benci, tidak ridha dan berusaha mencegahnya. Demikian pula sebaliknya.

Karena itu interpretasi makna Islam rahmatan lil ‘alamin seperti di atas telah keluar dari hakikat yang sebenarnya. Pemaknaan yang keliru ini justru menampilkan Islam sebagai agama yang jauh dari kesan rahmat bagi alam semesta.

Upaya Memecah-belah Umat

Perjuangan penegakan syariah dan Khilafah kian mendapat tempat di hati masyarakat. Opini syariah dan Khilafah tidak hanya berkembang di wilayah perkotaan, namun juga pedesaan. Dukungan dari masyarakat yang semakin pesat ini mengakibatkan para musuh Islam kebakaran jenggot. Berbagai upaya memecah-belah umat pun terus ditebar musuh-musuh Islam untuk membendung kesatuan umat ini.

Sebagai contoh, muncullah pemetaan kaum Muslim menjadi Muslim radikal (garis keras) dan Muslim moderat. Kelompok radikal (garis keras) adalah kaum Muslim yang memperjuangkan syariah Islam. Muslim moderat adalah kaum Muslim yang menggemborkan ide kebebasanberpendapat, beragama, berperilaku maupun kebebasan kepemilikan. Muncul pula istilah lain seperti Islam struktural vs kultural, Islam formalis vs substansialis, dan istilah-istilah lain yang memecah-belah umat Islam. Kelompok Islam yang mendukung ide Barat seperti demokrasi, HAM, pluralisme disebut moderat. Adapun yang menolak disebut radikal atau fundamentalis. Yang ingin menegakkan syariah Islam secara menyeluruh lewat negara disebut formalis. Yang menolak syariah Islam dengan cukup menerima ide-ide moralitasnya saja disebut substansialis. Dengan pemetaan ini, opini buruk perjuangan syariah Islam diharapkan merasuk ke pemikiran masyarakat.

Direktur Eksekutif Global Future Institute, Hendrajit, mengatakan bahwa Barat telah memetakan kelompok Islam dengan tujuan untuk memecah-belah umat Islam. Mereka menebar strategi sarang laba-laba dengan memetakan, mengkotak-kotakan dan memecah-belah kelompok Islam serta merencanakan konflik internal di kalangan umat Islam.

Menurut Hendrajit, komunitas internasional membagi Islam menjadi empat kelompok, yaitu fundamentalis, tradisionalis, modernis dan kelompok sekular.Pertama: Fundamentalis, yaitu kelompok masyarakat Islam yang menolak nilai-nilai demokrasi dan kebudayaan Barat kontemporer serta menyiapkan formalisasi penerapan syariah Islam. Kedua: Tradisionalis, yaitu kelompok masyarakat konservatif yang mencurigai modernitas, inovasi dan perubahan. Mereka berpegang pada substansi syariah Islam tanpa peduli formalitas diri. Ketiga:Modernis, yaitu kelompok masyarakat Islam yang modern yang ingin mereformasi Islam sesuai dengan tuntutan zaman. Keempat: Sekularis, yaitu kelompok Islam yang ingin menjadikan Islam sebagai urusan privat dan dipisah sama sekali dengan urusan negara atau politik.

Selain itu Barat juga telah menyusun cara dan strategi untuk menyudutkan kaum fundamentalis yang ingin menegakkan syariah Islam sebagai berikut:
  1. Menyimpangkan tafsir al-Quran, seperti mengharamkan poligami dalam satu sisi, namun menghalalkan perkawinan sejenis di sisi lain.
  2. Mengulang-ulang tayangan yang menampilkan umat Islam yang mengandung kekerasan di televisi, sedangkan kegiatan-kegiatan konstruktif tidak ditayangkan.
  3. Mengeroyok dan menyerang argumen narasumber fundamentalis di media dengan format dialog 3 lawan 1.
  4. Mempidana para aktivis Islam dengan tuduhan teroris.
  5. Mendorong kaum tradisionalis untuk melawan kaum fundamentalis. Di kalangan kaum tradisionalis ortodoks banyak elemen pro-demokrasi yang bisa digunakan untuk meng-counter Islam fundamentalis.
  6. Menerbitkan kritik-kritik kaum tradisionalis atas kekerasan dan ekstrimesme kaum fundamentalis.
  7. Memperlebar perbedaan antara kaum tradisionalis dan kaum fundamentalis.
  8. Mencegah aliansi kontradiksi kaum fundamentalis.
  9. Mendorong kerjasama agar kaum tradisionalis lebih dekat dengan kaum modernis. Lalu memungkinkan kaum tradisionalis dididik untuk mempersiapkan diri agar mampu berdebat dengan kaum fundamentalis. Ini karena kaum fundamentalis secara retorika dianggap lebih unggul.

Berbahaya

Sungguh akan tampak bahaya dari penyimpangan makna Islam rahmatan lil ‘alamin tersebut, diantaranya:

1. Menjauhkan umat Islam dari Islam yang sesungguhnya.

Gambaran Islam sebagai agama yang sempurna menjadi lenyap ketika Islam hanya ditampilkan sebagai agama yang mengatur urusan-urusan yang berhubungan dengan ibadah ritual semata yang mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT, sementara untuk urusan muamalah (ekonomi, pendidikan, pergaulan, pemerintahan, dll) Islam tidak tampil. Alhasil, tampaklah Islam sebagai agama yang sama sekali tidak memiliki peran sebagai problem solver terhadap problematika kehidupan yang ada di dunia. Padahal Islam mampu menyelesaikan semua problemyang ada di tengah masyarakat.

2. Memecah-belah umat Islam.

Pemetaan umat Islam menjadi radikal vs moderat, damai vs kekerasaan, global vs lokal, dll sungguh telah menyebabkan tumbuh sikap saling curiga, saling menuduh bahkan saling menyerang satu sama lain di kalangan umat Islam atas satu isu tertentu. Amar makruf nahi mungkar dari satu kelompok kepada kelompok lain dianggap sebagai sentimen gerakan, bukan lagi dianggap sebagai nasihat dan perwujudan kasih-sayang saudara sesama Muslim agar terhindar dari kemaksiatan. Perjuangan menegakkan syariah dan Khilafah dianggap sebagai tidak realistis dan tak jarang dimusuhi karena dianggap menghalangi dan menghambat perjuangan kelompok lain ketimbang bersinergi.

3. Menjauhkan umat Islam dari persatuan global.

Banyak kalangan yang merindukan perwujudan persatuan umat Islam di seluruh dunia dalam rangka membangun kekuatan agar mereka tidak terus-menerus menjadi objek kezaliman Kapitalisme global. Namun, tidak sedikit dari kalangan umat Islam yang justru menghindari pembahasan wadah yang akan mempersatukan umat Islam itu sendiri, yakni Khilafah Islamiyah. Padahal Khilafahlah institusi yang akan mempersatukan umat Islam, bukan hanya di Indonesia, tetapi juga di seluruh dunia. Karena itu umat sejatinya bersatu dan menjadikan penegakan Khilafah sebagai agenda bersama. Disisi lain umat juga mesti menyadari bahwa mereka tidak boleh berselisih satu sama lain karena sesungguhnya mereka memiliki musuh bersama (common enemy), yakni kekufuran.

4. Mengokohkan Kapitalisme.

Penyimpangan makna Islam rahmatan lil ‘alamin juga telah menjadikan Kapitalisme kian kokoh dan seolah terus menjadi pahlawan dan penyelamat bumi. Paradigma liberal seperti moderat, inklusif, damai, terbuka, dialog antaragama, mengakomodasi budaya, dll; semuanya adalah proyek-proyek kapitalis yang bermaksud semakin menyudutkan umat Islam dan mengokohkan ideologinya.

Kapitalisme: Ancaman Sejati

Tuduhan bahwa syariahdan Khilafah adalah ancaman sesungguhnya bagian dari penyesatan politik dan upaya memalingkan umat dari ancaman sebenarnya. Ideologi Kapitalisme liberal yang diusung oleh Barat inilah yang sejatinya adalah ancaman. Ancaman ini sudah kian nyata, bukan sebatas baru potensi.

Dengan ideologi Kapitalisme liberal yang dipaksakan atas negeri ini, Barat memecah-belah Indonesia. Dengan alasan HAM dan demokrasi, Timor Timur lepas dari Indonesia. Upaya yang sama juga sedang mereka lakukan terhadap Papua.

Dengan penerapan ekonomi liberal di Indonesia saat ini, kekayaan alam kita dirampok oleh negara-negara Barat. Meskipun Indonesia negeri yang kayaraya, rakyatnya hidup menderita. Semua ini dilegalkan dengan UU yang merupakan produk dari sistem politik liberal demokrasi. Lewat UU Migas, UU Kelistrikan, UU Penanaman Modal, negeri ini dirampok dan rakyat dikorbankan. Semua itu dilegalkan melalui sistem demokrasi. Lihatlah bagaimana rakusnya perusahan-perusahaan asing ini. Kontrak karya PT Freeport McMoran yang harusnya selesai 2021, lewat berbagai lobi dan tekanan politik, diperpanjang kembali hingga 2041. Padahal selama ini Pemerintah hanya memiliki 10 persen saham. Tidak hanya itu, sudah tiga tahun dividen dengan total Rp 4,5 triliun tidak dibayar oleh perusahan rakus ini.Ironisnya, melalui Direktur Jenderal Anggaran, Kemenkeu memastikan, dividen Freeport yang diproyeksikan sebesar Rp 1,5 triliun tahun lalu, tidak bisa ditagih. Begitu baiknya penguasa terhadap perusahaan asing. Bandingkan dengan sikap mereka terhadap utang pajak rakyat kecil.

Tidak hanya itu, dengan ideologi liberal yang sekarang ini diterapkan di Indonesia, generasi muda kita terancam. Indikasinya adalah meningkatnya jumlah pemakai narkoba, pelaku seks bebas dan LGBT, pelacuran, aborsi, dan kriminalitas lainnya. Semua ini akibat sistem liberal yang diterapkan di Indonesia.

Walhasil, siapa saja yang mau jujur melihat realitas ini, penerapan syariah dan Khilafah bukanlah ancaman. Syariah dan Khilafahjustru merupakan rahmat bagi alam semesta. Sebaliknya, tak terbantahkan lagi, Kapitalisme telah menjadi ancaman nyata bagi negeri ini sehingga keberadaannya harus segera diakhiri. WalLâhu ‘alam. 

(*) Dosen Telkom University Bandung – Anggota DPP HTI

Posting Komentar untuk "Syariah dan Khilafah Bukan Ancaman"