Makna Di balik Rencana Pembubaran HTI
(Pengamat Gerakan Sosial)
Berawal dari statement Kepala Banser Ketua Umum Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor H Yaqut Cholil Qoumas pada tanggal 16 April 2016 dalam forum pertemuan sosialisasi Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI di gedung NU, Rembang itu maka bergulirlah anarkisme main hakim sendiri disertai pemaksaan kehendak dilakukan oleh organ di bawah naungan NU itu kepada ormas lain bernama HTI. Dalam kasus penyelenggaraan kegiatan Muktamar Tokoh Umat 1437 H di beberapa tempat seluruh Indonesia. Atas nama mengamankan pilar negara Pancasila dan NKRI, Banser seolah tampil menjadi representasi negara yang paling memiliki otoritas untuk menetapkan siapa (kelompok mana) yang sesuai tidak melanggar. Dan siapa yang berkhianat atau mau merubah Pancasila dan NKRI. Sekalipun dengan dalih bahwa langkah yang dilakukan sudah prosedural. Sementara di sisi lain aparat kepolisian menggunakan tuntutan dari salah satu organ di bawah NU GP Ansor (Banser) itu sebagai pembenaran. Meski belum ada keputusan resmi dari pemerintah berkaitan dengan aktifitas HTI yang telah terdaftar dalam Kemenkum HAM sebagai ormas ini. Dimana dalam kurun waktu belasan tahun kegiatan HTI telah meraih simpati dan kecintaan masyarakat Indonesia dengan aksi tertib, elegan, intelektual, dialogis, dan pemikiran. Walaupun pada akhirnya disikapi dengan pendekatan kekuasaan sebagaimana pola yang selalu dipakai oleh pengambil kebijakan di negeri ini terhadap kasus-kasus dugaan terorisme. Meski sebenarnya langkah Banser itu bertentangan dengan pasal 107b KUHP (UU No 27 tahun 1999). Ironisnya kejadian itu di tengah belum usainya kasus Siyono yang menjadi titik tolak menguak gunung es problem penindakan hukum oleh Densus 88 hingga mendorong desakan perlunya audit terhadap lembaga ini. Bahkan kemungkinan pembubarannya. Namun kasus Siyono akhirnya diputuskan hanya dalam bentuk pelanggaran kode etik saja. Masyarakat Indonesia kemudian dipertontonkan lagi dengan suguhan kezaliman pemerintah dengan memanfaatkan salah satu organ di bawah NU itu terhadap rakyatnya. Semakin melengkapi penanganan terorisme tidak lagi menonjolkan cara–cara law of enforcement (penegakkan hukum) sesuai dengan prinsip criminal justice system melainkan menggunakan sistem peperangan. Yang telah menghasilkan terduga teroris disudahi tanpa melalui proses hukum. Catatan Komnas HAM terdapat sejumlah 121 orang telah meninggal tanpa sebab yang jelas buah hasil arogansi negara dengan menggunakan kekuatan kekuasaan melalui salah satu organnya. Secara khusus advokasi opini yang menguatkan dan membenarkan sikap Banser pun dilakukan oleh media-media mainstream seperti Tempo dan Detik.com. Seperti sedang memperlihatkan gabungan kekuatan. Antara organ di bawah NU bernama Banser, aparat kepolisian dan konglomerasi media. Tidak ada toleransi. Tidak ada kompromi. Dan tidak ada dialog. Siapapun yang diduga menjadi penghalang atas aktivitas main hakim sendiri dan pemaksaan kehendak ini akan dilibas. Bahkan Hajah Faida, Bupati Jember pun tidak luput dari pusaran arus main hakim sendiri ini. Faida diklaim diduga melindungi HTI. Meski sebenarnya yang disampaikannya proporsional dalam timbangan hukum, "Setahu saya HTI itu merupakan ormas yang legal dan punya izin dari Menkum HAM. Jadi, sesuai undang-undang, organisasi ini memiliki hak yang sama dengan ormas lain untuk melakukan aktifitas. Saya tentu saja tidaK punya kewenangan untuk melarang," tukasnya. Faida kemudian menyarankan GP Ansor dan Banser mengajukan tuntutan tersebut ke Kemenkumham. "Sebab itu memang sudah menjadi kewenangan pemerintah pusat," katanya. Bupati Jember itupun kemudian menghadapi interpelasi oleh 3 Fraksi. FKB, F Gerindra dan Fraksi Amanat Pembangunan. Luar biasa tidak cukup menggunakan kekuatan fisik sebagaimana disampaikan oleh Gus Tutut, sapaan H Yaqut Cholil Qoumas yang berulangkali menyampaikan di beberapa forum akan mengerahkan seluruh Banser berjumlah jutaan. Melainkan menggunakan desakan dan tekanan politik. Bahkan tidak cukup itu saja melainkan menggunakan cara mirip seperti sebuah operasi jebakan. Seperti dipertontonkan oleh Kapolres Jember, Sabilul Alif yang diberitakan pada awalnya bentrok dengan Banser karena membubarkan paksa acara HTI. Namun berujung diperiksanya panitia acara HTI di Jember karena dianggap menyalahi kesepakatan dan menjadi pemicu bentrok. Tidak sia-sia hubungan kemitraan yang lama dibangun selama ini dalam kerangka deradikalisasi terhadap paham radikalisme dan terorisme antara NU dan BNPT. Atas nama Bela Bangsa dan Bela Negara. Pantaslah meluncur banyak apresiasi terhadap NU di bawah kepemimpinan Prof Dr Said Aqil Siradj yang telah berhasil menampilkan Islam secara damai. Baik apresiasi yang datang dari Jokowi maupun pimpinan negara berbagai negara. Khususnya Amerika maupun Eropa. Bukan hanya apresiasi namun juga kucuran dana segar. NU akan mendapatkan dana tidak terbatas dari World Bank.
Inilah keberhasilan NU di bawah pimpinan Kang Said berhasil mengkampanyekan Islam damai untuk melapangkan jalannya investasi dari luar negeri atas nama pembangunan infrastruktur dan pertumbuhan ekonomi. Hal yang sangat bertolak belakang dengan prinsip perjuangan bersikap keras terhadap penjajahan NU jaman dulu. Dalam kerangka itu, nampaknya pemerintah RI di bawah kepemimpinan Jokowi tidak membutuhkan kritik atas berbagai kebijakan terutama masuknya investasi Asing-Aseng yang menunjukkan kecenderungan meningkat. Penyikapan terhadap penanganan dugaan terorisme dan radikalisme yang dianggap penghalang dalam pembangunan. Hal ini nampak pula ditunjukkan Jokowi dalam bentuk dukungannya terhadap Serbia (Negara pembantai dan pemerkosa besar-besaran negara Muslim Bosnia dan Kosovo), dengan tidak mau mengakui Bosnia dan Kosovo.
Dalam pandangan penguasa negeri ini, kritik atas berbagai kebijakan itu hanya akan membuat mundurnya strategi Rantai Pasokan Global yang tertuang dalam kebijakan MP3EI (Master Plan Percepatan Perluasan Ekonomi Indonesia). Dimana Indonesia ditempatkan sebagai koridor ekonomi negara penyangga bahan mentah dan bahan tambang bagi kepentingan global. Sebuah kondisi yang memunculkan realita Quo Vadis NKRI antara lain :
1) Warga asing dari 169 negara bebas visa masuk ke Indonesia
2) Warga asing boleh memiliki properti di Indonesia
3) Pihak asing boleh kuasai 100 % industri gula dan karet di Indonesia
4) Asing boleh kuasai 100 % saham restoran dan perusahaan jalan
5) Asing boleh kuasai 85 % saham modal ventura
6) Asing bisa kuasai 100 % saham di pembangkit listrik
7) Asing boleh kuasai 100 % usaha bioskop di Indonesia
Terdapat sejumlah total 35 jenis usaha yang boleh dikuasai asing :
Dalam kerangka pemikiran itu bisalah dipahami bahwa skenario rencana pembubaran HTI bukanlah hanya bernuansa lokal nasional. Bukan pula soal klaim bertentangan dengan Pancasila dan NKRI sebagai pembenaran saja. Tetapi sesungguhnya sangat berkaitan dengan kepentingan global yang mengggunakan tangan-tangan pengambil kebijakan, salah satu ormas berikut organ underbow melalui para petingginya yang oportunis, media mainstream, dan perangkat penegak hukum polri untuk menjaga keseimbangan formulasi antara radikalisme, pembangunan infrastruktur dan pertumbuhan ekonomi. Mengingat HTI lah selama ini terdepan menyorot kebijakan pro asing-aseng yang mengancam dan mencengkeram kepentingan eksistensi NKRI. Alhasil rencana pembubaran HTI akan menjadi momentum pertaruhan masa depan gerakan islam secara menyeluruh dalam konstelasi percaturan politik global melalui pintu Indonesia dengan geopolitik strategisnya. Apakah tetap bisa dipertahankan Indonesia sebagai medan pergolakan pemikiran dan politik. Ataukah menjadi medan pergolakan yang mendorong terjadinya revolusi sosial atau revolusi fisik. Terlihat begitu manifestnya persaingan berbagai kekuatan politik berbasis ideologi di negeri ini. Antara kekuatan kapitalis liberal, komunis sosialis dan islam yang masih disibukkan dengan perdebatan strategi dan adu domba. Apakah ini semua sudah disadari oleh para pemimpin di negeri ini. Wallahu a’lam bis showab. [VM]
Posting Komentar untuk "Makna Di balik Rencana Pembubaran HTI"