Mengakhiri Maraknya Kriminalitas Remaja Dengan Islam
Oleh: Puput Hariyani, S.Si*
Masih remaja jadi pelaku kriminal? Tentu tidak asing lagi ditelinga kita, pasalnya hampir setiap hari media massa memberitakannya. Kenakalan remaja saat ini semakin mengarah pada tindakan kriminal seperti pencurian, pemerkosaan, penggunaan miras dan narkoba, bahkan pembunuhan. Seperti yang baru-baru ini terjadi di Bengkulu, kisah memilukan nan tragis dialami Yuyun, gadis malang berusia 14 tahun tewas dibunuh setelah diperkosa beramai-ramai oleh 14 ABG (02/04/2016). Kapolres Rejanglebong, AKBP Dirmanto mengatakan bahwa para pelaku melakukan aksi bejatnya setelah mengkonsumsi tuak atau minuman keras (INDDIT.com, 03/05/2016). Para tersangka ini membunuh korban dengan cara menjatuhkan korban ke jurang dalam kondisi kedua tangan terikat setelah memperkosanya seperti ditulis laman harianrakyatbengkulu.com. Peristiwa ini semakin menambah panjang daftar kasus kekerasan seksual dan pembunuhan di negeri ini. Sungguh miris.
Mengapa Kejadian Serupa Terus Berulang?
Ada beberapa hal yang penting untuk dicermati terkait dengan tindak kriminal yang saat ini banyak terjadi bahkan tidak sedikit pelakunya adalah para remaja, karena kejadian ini bukan kali pertama di negeri ini bahkan bisa dibilang sudah sangat akut. Menurut para ahli, kenakalan dan kriminalitas remaja bukanlah hasil dari faktor tunggal. Kenakalan dan kriminalitas remaja dipengaruhi oleh banyak faktor yang saling mempengaruhi, baik faktor internal maupun eksternal.
Faktor pertama, faktor internal berasal dari individu pelakunya. Yaitu, ketakwaan individu lemah, sikap dan mentalnya sudah rusak, misalnya tidak takut dosa, meremehkan nyawa manusia, kehilangan kontrol diri. Kontrol diri yang lemah terjadi karena lemahnya keimanan dan akidah sehingga lebih dikuasai oleh hawa nafsu dan bisikan setan. Disamping juga karena kurangnya pemahaman tentang mana perbuatan yang baik dan mana yang buruk beserta konsekuensinya di dunia apalagi di akhirat. Atau kalaupun punya pengetahuan tentang baik dan buruk, sekedar pengetahuan tanpa diyakini dan menjadi pemahaman, disamping tidak dibiasakan sejak dini menjadikannya sebagai pedoman. Sementara konsep diri yang salah, muncul karena remaja itu tidak paham jati dirinya, orientasi hidupnya dan tidak punya pandangan hidup yang jelas.
Faktor kedua, faktor eksternal, yakni faktor keluarga terutama orang tua, lingkungan, pendidikan, tayangan yang bersifat merusak, dan penerapan sistem oleh Negara. Keluarga adalah madrasah pertama bagi seorang anak, anak ibarat kertas putih sementara orang tua yang akan melukis diatas kertas putih corak perilaku dan kepribadian anaknya. Namun sayangnya, hari ini para keluarga sudah mulai luntur menanamkan akidah yang kuat pada diri anak, pola komunikasi yang diwarnai bentakan, mereka tidak lagi menjadi contoh dan teladan. Sehingga anak mencari pelampiasan diluar rumah yaitu lingkungan. Celakanya, lingkungan remaja tidak kondusif bagi pembentukan perilaku dan kepribadian yang baik baginya. Pengaruh lingkungan dan teman ini sangat besar. Bahkan Rasul saw pernah berpesan bahwa “seseorang itu bersama (dipengaruhi) agama (perilaku dan kebiasaan) temannya“. Diperparah dengan tayangan media yang tidak mendidik semakin menginspirasi anak untuk berprilaku bejat seperti tayangan dan konten kekerasan, pergaulan bebas, dsb, atas nama kekebasan tidak boleh dibendung. Penelitian menunjukkan paparan media dengan konten pornografi seperti gambar atau film dewasa di internet dapat mempengaruhi prilaku seksual para remaja (Kompas.com, 08/05/2013). Belum lagi pendidikan yang sangat mahal menjadi sulit diakses bagi kalangan menengah ke bawah akhirnya mereka putus sekolah. Setelah itu, anak terjun menjadi pekerja informal bahkan anak jalanan yang rawan dengan kenakalan dan kriminalitas. Jika pun bisa mengakses pendidikan, harus diakui bahwa pendidikan yang ada lebih hanya sekedar transfer pengetahuan dan nihil aspek pembentukan kepribadian Islami. Kalaupun pendidikan agama diajarkan, toh hanya dua jam/minggu dan hanya berupa transfer pengetahuan, tidak sampai menjadi pemahaman apalagi menjadikannya pedoman sehari-hari. Padahal pemerintah juga telah memasukkan pendidikan berkarakter dalam kurikulum pendidikan. Maksud dari pendidikan berkarakter atau pendidikan moral (moral education) dalam konteks sekarang diharapkan sangat relevan untuk mengatasi krisis moral yang sedang melanda di negara kita, namun itu semua tidak memberikan efek signifikan sebaliknya semakin marak kenakalan dan kriminalitas di kalangan remaja. Itu artinya kita harus jujur mengakui, bahwa ada sesuatu yang tidak tepat dalam sistem pendidikan kita yang ber-asaskan sekulerisme yaitu pemisahan aspek agama dari kehidupan. Dan mirisnya lagi penegakan hukum oleh Negara sangat lemah. Misalnya, hukum yang bisa direkayasa atau dibeli, hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas, atau hukuman ringan yang tidak menimbulkan efek jera bagi para pelaku kriminal. Pembunuh paling dikenai pasal 338 KUHP dengan ancaman penjara maksimal 15 tahun. Kalaupun diadili hakimnya bisa disuap agar vonis lebih ringan. Kalau dipenjara petugasnya bisa disuap supaya mendapat fasilitas, seperti ruang penjara ber-AC, ruang khusus untuk bercinta, boleh membawa HP, dan sebagainya. Jadi, apa yang perlu ditakutkan? Kalaupun ada wacana hukuman kebiri juga menimbulkan pro dan kontra dari berbagai pihak. Menurut Sosiolog Imam B. Prasodjo, hukuman kebiri tak memberikan efek Jera. Menurut Imam, solusi paling efektif adalah membangun kesigapan sosial dimana masyarakat harus waspada mengawasi gejala-gejala yang muncul. Argumen lain dari pihak yang kontra adalah karena hukum kebiri dianggap berpotensi melanggar HAM, seperti pendapat Desmond J. Mahesa dari Fraksi Gerindra DPR RI. Semua faktor di atas pada akhirnya sangat dipengaruhi oleh sistem yang diterapkan negara yaitu sistem sekulerisme-kapitalisme dan itulah sesungguhnya faktor mendasar dari berbagai kriminalitas remaja. Jika faktor mendasar yang menjadi pangkal kerusakan ini tidak dicabut maka mustahil berbagai persoalan akan sirna.
Islam Diterapkan, Berbuah Rahmat Bagi Seluruh Alam
Islam adalah agama yang sempurna. “…Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu…”(TQS. Al-Maidah: 03). Islam memiliki solusi tuntas atas segala permasalahan yang dihadapi manusia. Termasuk problem kenakalan dan kriminalitas remaja yang hanya bisa diatasi secara terpadu dari segala aspek kehidupan dengan penerapan syariah Islam secara utuh dan total. Dengan demikian maka kerahmatan Islam akan terwujud. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al Anbiya: 107.
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam
Dalam pandangan Islam, harus ada kesinergisan antara peran keluarga, pendidikan, lingkungan masyarakat-tayangan media, dan peran Negara termasuk di dalamnya adalah sistem sanksi yang tegas bagi para pelaku kejahatan. Islam memerintahkan orang tua untuk mendidik anak dan membentenginya dari api neraka. Dan itu artinya membentengi anak dari kenakalan dan kriminalitas remaja. Allah SWT berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارً
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka… (At-Tahrim: 06)
Negara harus menyediakan pendidikan untuk seluruh rakyat tanpa kecuali baik kaya maupun miskin secara terbuka, bebas biaya dan dijalankan berdasarkan sistem pendidikan yang menitikberatkan pada pembentukan kepribadian Islami dengan asas akidah Islam dan pemberian bekal untuk mengaruhi kehidupan. Pendidikan membentuk kepribadian Islami itu bukan hanya dilakukan melalui jenjang sekolah formal tetapi juga memanfaatkan semua sarana pendidikan yang ada termasuk masjid-masjid yang tersebar di seluruh negeri. Maka tidak heran sistem pendidikan Islam (dalam Khilafah Islamiyah) berhasil mencetak para ilmuwan yang fakih fiddin, menguasai ilmu agama dan teknologi seperti Al Qurthubi, As Syathibi, dalam bidang kedokteran seperti Ibnu Sina, Ar Razi, Ali At Thabari, Al Majusi, dalam bidang kimia seperti Jabir bin Hayyan dan lainnya. Masyarakat dalam sistem Islam akan menjadi kontrol sosial sehingga akan saling menjaga antar anggota masyarakat. Negara pun akan memastikan media yang berkembang tidak menyalahi Islam. Negara akan menghentikan segala bentuk tayangan yang merusak warga negara.
Jika dengan semua itu masih ada kriminalitas remaja, maka benteng terakhir adalah penerapan sistem sanksi dan pidana (‘uqubat) Islam. Berbeda dengan sistem sekulerisme saat ini, dalam pandangan Islam kebiri hukumnya haram. “Para ulama telah sepakat bahwa kebiri pada manusia itu diharamkan dan tidak boleh.” (‘Adil Mathrudi, Al Ahkam Al Fiqhiyyah Al Muta’alliqah bi Al Syahwat, hlm. 88). Syariah Islam menetapkan hukuman bagi pelaku zina adalah dirajam jika sudah menikah atau dicambuk 100 kali jika belum menikah. Hukum-hukum ‘uqubat Islam selain berfungsi sebagai penebus (jawabir) dosa, juga sebagai pencegah (zawajir) yang bisa memberikan efek jera yang membuat siapapun berpikir ribuan kali untuk berani melakukan kejahatan. Wallahu’alam bi ash-showab. [VM]
*) Aktivis MHTI, Staf Pengajar di SMK Kesehatan Mitra Persada Nusantara Jember
Posting Komentar untuk "Mengakhiri Maraknya Kriminalitas Remaja Dengan Islam"