Menyoal Hulu Kejahatan Seksual
Oleh : Umar Syarifudin
(Lajnah Siyasiyah DPD HTI Kota Kediri)
Masih segar diingatan beberapa waktu lalu kita mendengar berita soal kematian Yuyun(14), gadis asal Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu yang diperkosa oleh 14 ABG. Tak lama setelah Yuyun, sebuah berita lama namun kini booming lagi datang dari Kediri, Jawa Timur kasus Sony Sandra (SS).
Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa menyebut, konten video porno menjadi salah satu penyebab tingginya angka kejahatan seksual terhadap anak di Indonesia. Setidaknya, ada tiga faktor yang menurutnya menjadi pemicu kejahatan seksual. Khofifah mengatakan, sebanyak 65 hingga 75 persen anak yang berhadapan dengan hukum (ABH) dan dibina di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) terlibat dalam kejahatan seksual karena menonton video porno.
Definisi film porno adalah gambar bergerak yang bertujuan untuk membangkitkan nafsu seksual penontonnya yang umumnya menampilkan adegan aktivitas seksual. Film porno secara umum dibagi dua kategori, softcore dan hardcore. Softcore adalah yang tidak menampilkan adegan seksual secara vulgar (misal penetrasi), sedang hardcore menampilkan secara vulgar. Film porno dijualbelikan dan disewakan dalam bentuk DVD, dipertunjukkan lewat internet, atau saluran TV khusus, layanan bayar tiap nonton (pay-per-view) lewat kabel dan satelit, juga lewat bioskop dewasa. (en.wikipedia.org).
Meski 750 ribu konten porno di dunia internet telah ditutup oleh Kementerian Komunikasi dan Informasi, namun konten-konten serupa juga terus bermunculan. "Betapa canggihnya revolusi IT yang harus diketahui seluruh keluarga, anak, guru. Harus ada edukasi. Internet bisa bikin pintar tapi juga celaka," ujarnya.
Khofifah pun menegaskan, harus ada penanganan serius atas kejahatan seksual di tanah air. Berbagai hal harus dilakukan semua pihak, bukan hanya pemerintah, mulai dari pencegahan, penindakan dan penegakan hukum terhadap pelaku kejahatan seksual.
Fenomena maraknya kejahatan seksual jelas bukan merupakan fenomena tunggal, sehingga diselesaikan hanya dengan menindak pelaku kejahatannya, tanpa memperhatikan faktor lain yang menjadi akar masalahnya. Namun, fenomena ini merupakan dampak dari sistem kehidupan yang diterapkan saat ini, baik di Barat maupun di negeri-negeri kaum Muslim. Sistem Kapitalisme, dengan azas manfaatnya (naf’iyyah), telah melahirkan kebebasan bertingkah laku (hurriyyah syakhshiyyah), kebebasan berekspresi (hurriyah ta’bîr), kebebasan beragama (hurriyah tadayyun), kebebasan memiliki (huriyyah tamalluk) di tengah-tengah masyarakat. Inilah sistem yang paling bertanggungjawab terhadap lahir dan berkembangnya fenomena saat ini.
Kejahatan seksual (jarîmah jinsiyyah) ini pada dasarnya dipicu oleh hasrat dan dorongan seks (dawâfi’ jinsiyyah) yang membuncah. Hasrat dan dorongan seks ini lahir dari naluri seksual (gharizatu an-nau’) yang ada pada diri manusia. Naluri ini sebenarnya merupakan fitrah dalam diri manusia, yang bisa terangsang lalu menuntut dipenuhi. Rangsangan muncul karena dua faktor: Pertama, pemikiran (al-fikr), termasuk fantasi (al-wahm) dan khayalan (at-takhayyul); Kedua, fakta (lawan jenis) bagi masing-masing pria dan wanita.
Maraknya perempuan yang berpakaian minim, dan mengumbar aurat, bukan hanya rambut dan leher, tetapi belahan dada, bahkan tidak jarang hingga buah dada, diikuti dengan perut dan pusarnya, hingga paha sampai betis dan tumitnya, semuanya itu merupakan fakta yang bisa merangsang lawan jenisnya, yaitu kaum pria. Ditambah maraknya gambar, film, tayangan dan jejaring sosial yang menayangkan adegan seks. Semuanya ini tentu menjadi pemicu lahirnya rangsangan seks yang begitu kuat. Rangsangan ini kemudian diikuti fantasi seks hingga mendorong tindakan. Tindakan ini bisa menjerumuskan pelakunya dalam kejahatan seks, mulai dari pelecehan hingga perkosaan.
Harus diakui, ini merupakan dampak dari sistem sosial Kapitalis (an-nidhâm al-ijtimâ’î ar-ra’samâlî), yang membuka kebebasan bertingkah laku (hurriyah syakhshiyyah), dimana hubungan antara pria dan wanita begitu bebas, hingga tanpa batas. Hubungan bebas pria dan wanita tanpa batas ini melengkapi komoditas, fakta dan fantasi seks yang ada. Bagi orang-orang yang berduit mungkin bisa memenuhinya dengan kencan semalam, tetapi bagi yang tidak, maka tindakan yang bisa dilakukan akan memangsa korban yang lemah. Terjadilah tindak perkosaan (jarîmah ightishâb) itu.
Ada beberapa pihak yang dianggap bertanggung jawab dalam maraknya kasus kekerasan seksual yang menimpa anak-anak. Pertama, keluarga. Keluarga dianggap lalai dalam menjalankan fungsi pendidikan terutama pendidikan seks terhadap anak sehingga memudahkan pelaku untuk melakukan perbuatan bejatnya.
Kedua adalah lingkungan. Lingkungan masyarakat yang permisif, tak acuh, membuat pelaku kejahatan bebas melakukan aksinya. Bagaimana mungkin di toilet TK bisa terjadi perbuatan keji pada seorang anak tanpa ketahuan? Apakah guru tidak melihat perubahan sikap anak ketika masuk kembali ke kelas? Lingkungan juga seringkali memberikan pengaruh buruk, yang melahirkan para pelaku kejahatan.
Ketiga adalah negara. Pembahasan peran negara umumnya hanya sebatas sebagai pemberi sanksi. Sanksi kejahatan seksual terhadap anak yang hanya maksimal 15 tahun penjara dianggap terlalu ringan.
Hukum merupakan hasil penerapan demokrasi, yang penyusunannya diserahkan kepada pikiran dan akal manusia yang sifatnya terbatas. Rasa iba manusia membuat hukum rajam, hukuman qishash, atau hukuman di hadapan khalayak ditolak. Prinsip HAM lebih dikedepankan daripada hukum Allah. Pelaku kejahatan hanya dihukum penjara sementara waktu. Akibatnya hukum menjadi mandul, tidak memiliki efek pencegahan, bahkan tidak membuat jera pelaku.
Dengan demikian, kasus kekerasan seksual pada anak, pada dasarnya penyebabnya adalah penerapan sistem yang rusak, sistem yang hanya melahirkan kerusakan dan kebobrokan di semua lini kehidupan. Mencoba menyelesaikan masalah ini hanya dari satu sisi, misalnya pendidikan seks pada anak semenjak dini, atau memperberat hukuman terhadap pelaku, tidak akan cukup. [VM]
Posting Komentar untuk "Menyoal Hulu Kejahatan Seksual"