Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pendidikan yang Membentuk Kepribadian (Refleksi Hari Pendidikan Nasional)


Oleh: Adam Cholil 
(Guru di HSG Khoiru Ummah, Menganti Gresik)

Pendidikan yang berkembang di tengah masyarakat saat ini merupakan pendidikan yang jauh dari Islam. Hal ini wajar karena sistem pendidikan kita sangatlah materialistik. Orientasi pendidikan kita hanya menekankan pada aspek materi yang pada akhirnya kemudian membentuk manusia yang berkepribadian materialistis. Sistem pendidikan materialistik inilah yang mengakibatkan terjadinya kegagalan dalam melahirkan manusia shaleh yang sekaligus juga memenguasai ilmu-ilmu kehidupan (iptek). Akibatnya, banyak bermunculan para kaum terdidik yang kuat intelektualnya tapi lemah kepribadiannya. Luas ilmunya tapi kerdil akhlaknya. Ini kemudian menimbulkan problem sosial yang parah, karena kaum intelektual yang seharusnya menjadi agen perubahan ke arah perbaikan masyarakat, mereka malah justru menciptakan keburukan yang lebih hebat dan menjadi bagian problem itu sendiri.  

Korupsi, perselingkuhan, premanisme, kriminalitas dan berbagai perilaku buruk lainnya yang dilakukan oleh kaum terdidik menguatkan bahwa paradigma pendidikan kita memang buruk. Sekali lagi, bahwa semua itu akibat sistem pendidikan yang menjauhkan agama, maka terjadilah ketimpangan antara ilmu yang dimiliki dengan kepribadian. Oleh karena itu perlu adanya integrasi antara ilmu kehidupan atau iptek (yang bersifat universal dan bebas dari pengaruh peradaban tertentu), pembentukan kepribadian Islam, dan tsaqofah Islam (pengetahuan yang bersandar kepada aqidah Islam). Hal tersebut hanya terdapat dalam sistem pendidikan Islam. Karena dalam sistem pendidikan Islam tidak ada dikotomi antara ilmu agama dan umum. Bahwa seluruh ilmu pengetahuan harus didasarkan pada akidah Islam. Dengan ini semua disiplin ilmu akan memberikan pengaruh positif pada kepribadian seseorang.

Pendidikan formal saat ini yang cenderung menjauhkan agama perlu disiasati dengan cerdas. Karena saat ini kita sulit melepaskan diri secara ekstrim dari pendidikan formal. Pendidikan yang memadukan antara agama dan umum adalah solusi alternatif di tengah semakin sekulernya pendidikan kita. Sebelum sepenuhnya kita mampu mengintegrasikan ilmu umum dan agama tanpa adanya dikotomi. Sekarang sudah banyak sekolah-sekolah yang menyelenggarakan pendidikan secara terpadu. Bahkan pesantren yang dulu hanya mengajarkan ilmu agama, saat ini sudah terbuka dengan kurikulum umum. Sehingga peserta didik akan bisa mendapatkan ilmu yang integral antara ilmu kehidupan (iptek) dengan agama.

Peran Pendidikan di Luar Sekolah

Keluarga dan lingkungan adalah dua pilar di luar sekolah yang sangat penting dalam rangka mencetak generasi terdidik yang memiliki kepribadian Islam. Karena pada dua pilar inilah seseorang belajar kehidupan setelah ia keluar dari sekolah. Ia akan menyerap segala apa yang didengar, dilihat, dan dialaminya. Bahkan kedua pilar ini bisa mementahkan apa yang didapatnya di sekolah jika keduanya tidak kondusif. Maka penting diupayakan adanya sinergi antara sekolah, keluarga, dan lingkungannya. Mengingat di tengah masyarakat terjadi interaksi antar ketiganya, maka kenegatifan masing-masing itu juga memberikan pengaruh kepada unsur pelaksana pendidikan yang lain. Yakni, buruknya pendidikan anak di rumah memberi beban berat kepada sekolah dan menambah ruwetnya persoalan di tengah masyarakat seperti terjadinya tawuran, seks bebas, narkoba, premanisme dan sebagainya. Sementara, situasi masyarakat yang buruk juga membuat nilai-nilai yang mungkin sudah ditanamkan di tengah keluarga dan sekolah menjadi kurang optimum. Apalagi jika pendidikan yang diterima di sekolah juga kurang bagus, maka lengkaplah kehancuran dari ketiga pilar pedidikan tersebut.    

Di tengah buruknya pendidikan di lembaga formal dan juga lingkungan, maka, pendidikan di dalam keluarga menjadi benteng paling akhir dan paling harus mendapat perhatian. Pendidikan di tengah keluarga juga lebih mudah dilakukan karena lebih mudah mengontrol dan mengendalikannya. Tinggal keseriusan dari kedua orang tua dalam memberikan pendidikan tersebut. Yang paling penting adalah keteladanan yang konsisten dari kedua orang tua. Maka penanaman akidah dan kepribadian Islam bisa lebih difokuskan di tengah keluarga. Supaya, meskipun anak bergaul di tengah masyarakat yang tidak kondusif, dan juga mendapatkan pendidikan di sekolah yang sekular, ini bisa meminimalisir dampak negatifnya. Rasulullah saw. telah memerintahkan para orangtua untuk menekankan pendidikan akidah kepada anaknya. Padahal pendidikan saat itu semuanya dalam kontrol akidah Islam. Ibnu Abbas menuturkan bahwa Nabi saw. pernah bersabda:

«اِفْتَحُوْا صِبْيَانَكُمْ أَوَّلَ كَلِمَةٍ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ»

Ajarkan kalimat Lâ ilaha illâ Allâh kepada anak-anak kalian sebagai kalimat pertama. (HR al-Hakim).

Pendidikan ala Luqman Hakim

Sebagaimana telah disebutkan di atas, pendidikan dalam Islam dimaksudkan bukan semata menjadikan seseorang memiliki kemampuan dan keahlian dalam bidang tertentu, tetapi menjadikan seorang Muslim memiliki kepribadian Islam. Sehingga ketika, misalnya, dia menjadi seorang pejabat maupun pengusaha maka ia akan menjalani profesi tersebut dengan cara yang telah diatur oleh agamanya. Ia akan senantiasa menjadikan Islam sebagai penuntun aktifitasnya. Karena orientasi seorang muslim saat ia menjalani suatu aktifitas bukan sekedar mencari keuntungan dunia semata tetapi keridhaan Tuhannya. 

Allah swt. telah mengajari kita bagaimana seharusnya pendidikan itu dilakukan. Melalui cerita seorang manusia bernama Luqman Hakim. Dalam mendidik anaknya Luqman memfokuskannya pada dua hal;

Pertama, bidang akidah. Luqman mendidik putranya tentang pengesaan (ketauhidan) Allah swt. Ia menasihati anaknya agar tidak mempersekutukan Allah swt. Ia pun mengingatkan anaknya bahwa Allah Yang Mahatahu atas segala sesuatu, di langit maupun di bumi, akan membalas semua amal perbuatan manusia, seberat apa pun amal perbuatan itu. 

وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ (لقمان: 13)

dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar". (QS. Luqman [31]:13)

Luqman juga menasihati anaknya agar berhati-hati ketika melakukan suatu perbuatan karena semua itu akan mendapat balasan dari Allah swt.

(Luqman berkata): "Hai anakku, Sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus  lagi Maha mengetahui. (QS. Luqman [31]:16)

Kedua, berkenaan dengan pelaksanaan amal yang menjadi konsekuensi tauhid, baik menyangkut hubungan manusia dengan Sang Pencipta, dengan dirinya sendiri, maupun dengan sesama manusia. Luqman memerintahkan anaknya untuk mendirikan shalat (hubungan manusia dengan Sang Pencipta), melakukan amar makruf nahi mungkar (hubungan manusia dengan sesamanya), dan meneguhkan sifat sabar dalam jiwanya (hubungan manusia dengan dirinya sendiri).

يَا بُنَيَّ أَقِمِ الصَّلاةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الأمُورِ (لقمان: ١٧) 

Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu Termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). (QS. Luqman [31]:17)

Luqman juga mengingatkan anaknya untuk menjauhi larangan-larangan Allah Swt. Sifat sombong dan perilaku angkuh adalah di antara perbuatan yang harus dijauhi. Sebaliknya, sifat yang harus dilekatkan adalah; sederhana dalam melangkah dan merendahkan suara sebagai wujud akhlak yang baik. 

dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. (QS. Luqman [31]:18)

Jadi, akidah adalah prioritas utama dalam pendidikan. Karena akidah adalah penentu status manusia; apakah kafir atau Muslim. Maka sebelum seseorang mengenal ilmu matematika, fisika, biologi, dan ilmu-ilmu kehidupan lainnya terlebih dahulu harus dikuatkan akidahnya. Apalagi kurikulum sekarang sarat muatan sekularisme yang bisa melemahkan akidah dan menjauhkan seseorang dari agamanya. Ilmu sosiologi, misalnya, diajarkan tidak bersandar pada hadharah Islam tetapi justru mengikuti paham diluar Islam yang liberal. Dengan terintegrasinya pendidikan umum dan agama akan terbentuklah kaum terdidik yang tidak hanya sekedar menguasai ilmu kehidupan tetapi juga memiliki kepribadian Islam. Inilah yang dalam istilah Imam Al Ghazali disebut sebagai Ulama akhirat, yakni cendekiawan yang shaleh. Wallahu a'lam bisshawab.[VM]

Posting Komentar untuk "Pendidikan yang Membentuk Kepribadian (Refleksi Hari Pendidikan Nasional)"

close