Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Mengapa Hati Kita TAK Tergugah Oleh Al-Qur'an?


Oleh: KH Hafidz Abdurrahman
(Khadim Majlis-Ma’had Syaraful Haramain)

Al-Qur’an adalah firman Allah. Ketika al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. ia bukan hanya untuk baginda, tetapi juga untuk para sahabat, kita, dan seluruh umat manusia. Al-Qur’an memang benar-benar diturunkan kepada manusia, untuk menjadi petunjuk [hudan], kabar gembira [busyra], obat [syifa’] dan sebagai bentuk kasih sayang [rahmat] Allah kepada kita.

Sayang, semuanya itu kadang tak membuat kita tersentuh, apalagi luluh, menggigil dan bersimpuh kepada-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala sampai berfirman:

لَوْ أَنْزَلْنَا هَذَا الْقُرْآنَ عَلَى جَبَلٍ لَرَأَيْتَهُ خَاشِعًا مُتَصَدِّعًا مِنْ خَشْيَةِ اللهِ، وَتِلْكَ الأَمْثَالُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ

“Andai saja Kami turunkan al-Qur’an ini kepada gunung, pasti Engkau akan melihatnya [gunung itu] tunduk dan hancur lebur, karena takut kepada Allah. Begitulah contoh-contoh itu kami gunakan untuk manusia, agar mereka berpikir.” [Q.s. al-Hasyr: 21]

Gunung saja, yang tidak diberi akal, seandainya al-Qur’an diturunkan kepadanya pasti tunduk dan hancur lebur, mengapa manusia yang diberi akal, hati dan perasaan tidak mau tunduk, menggigil dan bersimpuh? Malaikat, yang diberi akal dan perasaan pun iri kepada kita, karena al-Qur’an tidak diturunkan kepada mereka. Wajar, jika sampai mereka mencuri-curi dengar bacaan al-Qur’an yang kita baca. Maka, pantas saja jika Allah sampai menyatakan begitu rupa tentang manusia yang akal, hati dan perasaannya tak tersentuh oleh al-Qur’an, yang disebut hatinya mengeras seperti batu, bahkan lebih keras ketimbang batu.

Pertanyaannya, apa yang sebenarnya menghalangi akal, hati dan perasaan manusia tersentuh dengan al-Qur’an?

Dalam kitabnya, al-Fawaid, Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah rahimahu-Llah memberikan jawaban. Ketika kita mendengarkan al-Qur’an dibaca, maka bukalah telinga, hati dan pikiran kita, lalu simaklah baik-baik setiap kata, kalimat dan ayat yang dibaca. Hadirkanlah pikiran dan kesadaran kita, dan bayangkanlah bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala sedang berbicara dengan kita dan menyeru kita. Hadirkanlah Dzat yang Maha Berbicara itu di hadapan Anda, niscaya kita akan khusyu’, dan tak berkutik. Begitulah yang dialami sahabat Nabi Sa-Llahu ‘alaihi wa Sallam, hingga ada di antara mereka ketika dibacakan al-Qur’an, minimal hatinya bergetar, menangis, bahkan ada yang pingsan.

Begitu juga ketika kita membacanya. Hadirkanlah hati, pikiran, kesadaran dan perasaan kita, bahwa yang kita baca bukanlah ucapan manusia, tetapi firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, kekasih abadi kita. Begitulah, para sahabat dahulu memandang al-Qur’an. Al-Qur’an, menurut al-Hasan, dipandang oleh mereka layaknya surat cinta yang datang dari Sang Kekasih, Allah ‘Azza wa Jalla. Maka wajar, jika mereka pun membacanya dengan penuh cinta, di kala duduk, berbaring dan berdiri.

Dengan membuka mata, telinga, hati, pikiran dan perasaan kita, kemudian semuanya difokuskan untuk menerima dan mencerna kandungan firman-Nya, pasti hati, pikiran dan perasaan kita pun akan hanyut dalam kedahsyatan kata, kalimat dan ayat-ayat-Nya. Begitulah al-Qur’an. Allah Subhanahu wa Ta’ala pun berfirman:

إِنَّ فِي ذَلِكَ لَذِكْرَى لِمَنْ كَانَ لَهُ قَلْبٌ أَوْ أَلْقَى السَّمْعَ وَهُوَ شَهِيْدٌ

“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar menjadi peringatan bagi orang yang mempunyai hati, atau menggunakan pendengarannya, sedangkan dia menyaksikannya.” [Q.s. Qaf: 37]

Mempunyai mata dan telinga, akal, hati, pikiran dan perasaan tidak ada artinya, dan tidak akan bisa menjadikan al-Qur’an sebagai peringatan, jika semuanya itu tidak hadir dan digunakan untuk mencerna, memahami dan menghayati isinya.

Karena itu, al-Qur’an diturunkan kepada kita untuk dibaca, didengarkan bacaannya, dihapal, dipahami, dihayati dan diamalkan isinya, serta ditegakkan hukum-hukumnya. Itulah hak-hak al-Qur’an yang harus kita tunaikan. Jika tidak, kita pun akan menjadi orang-orang yang diadukan oleh Rasul kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

وَقَالَ الرَّسُوْلُ يَا رَبِّ إِنَّ قَوْمِي اتَّخَذُوْا هَذَا الْقُرْآنَ مَهْجُوْرًا

“Dan Rasul itu pun berkata, “Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku telah menjadikan al-Qur’an ini ditinggalkan.” [Q.s. al-Furqan: 30]

Meninggalkan al-Qur’an, ketika al-Qur’an tidak pernah dibaca; ketika dibaca tetapi tidak dipahami maknanya; ketika dibaca dan dipahami maknanya, tetapi tidak diamalkan isinya, dan tidak ditegakkan hukum-hukumnya. Itulah, menurut Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, makna “Ittakhadzu hadza al-Qur’an mahjura” [Mereka menjadikan al-Qur’an ini ditinggalkan].

Semoga kita tidak termasuk di antara mereka yang diadukan oleh Rasulullah Sa-Llahu ‘alaihi wa Sallam kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. [VM]

Posting Komentar untuk "Mengapa Hati Kita TAK Tergugah Oleh Al-Qur'an? "

close