Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Neo-Liberalisme Melemahkan Progres Ekonomi Indonesia


Oleh : Umar Syarifudin (Syabab HTI)

Menarik untuk dicermati, Andre Gunder Frank dalam bukunya bertajuk Capitalism and Underdevelopmen in Latin America yang diterbitkan pertama kali pada tahun 1967. Buku Frank berbicara tentang aspek politik dari hubungan negara-negara kapitalis dan negara satelit, yakni hubungan politis (dan ekonomi) antara modal asing dengan klas-klas yang berkuasa di negara satelit.

Dalam rangka mencari keuntungan yang sebesar-besarnya, kaum borjuasi di negara-negara kapitalis bekerjasama dengan pejabat pemerintah di negara-negara satelit dan kaum borjuasi yang dominan di negara satelit. Tuan tanah dan kaum pedagang adalah contoh kelas borjuasi di negara satelit. Sebagai akibat kerjasama antar modal asing dan pemerintah setempat ini, muncul kebijakan-kebijakan pemerintah yang menguntungkan modal asing dan borjuasi lokal, dengan mengorbankan kepentingan rakyat banyak negara tersebut. Kegiatan ekonomi praktis merupakan kegiatan ekonomi modal asing yang berlokasi di negara satelit. 

Fungsi kaum borjuasi lokal adalah sebagai mitra yunior yang dipakai sebagai payung politik dan pemberi kemudahan bagi beroperasinya kepentingan modal asing tersebut melalui kebijakan pemerintah yang dikeluarkan. Kebijakan pemerintah yang didukung oleh borjuasi lokal ini adalah kebijakan yang menghasilkan keterbelakangan karena kemakmuran bagi rakyat jelata dinomorduakan. 

Pada teori Frank, jelas ada tiga komponen utama: yakni (1) modal asing, (2) pemerintah lokal di negara-negara satelit, dan (3) kaum borjuasinya. Pembangunan praktis hanya terjadi di kalangan mereka. Sedangkan rakyat banyak, yang menjadi tenaga upahan, dirugikan. Maka, ciri-ciri dari perkembangan kapitalisme satelit menurut Frank adalah: (1) kehidupan ekonomi yang tergantung, (2) terjadinya kerjasama antara modal asing dengan klas-klas yang berkuasa di negara-negara satelit, yakni para penjabat pemerintah, klas tuan tanah dan klas pedagang, dan (3) terjadinya ketimpangan antara yang kaya (klas yang dominan yang melakukan eksploitasi) dan yang miskin (rakyat jelata yang dieksploitasi) di negara-negara satelit. 

Dalam keadaan seperti itu, menggalakkan pembangunan dengan memperkuat borjuasi di negara-negara staelit merupakan usaha yang sia-sia. Sebab, borjuasi tersebut merupakan borjuasi yang tergantung pada modal asing. Akumulasi modal yang terjadi akan diserap keluar oleh kekuatan modal asing, tidak dikonsumsikan atau diinvestasikan di dalam negeri itu sendiri. Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi yang terjadi di negara-negara satelit hanya akan menguntungkan kepemilikan modal asing dan kepentingan pribadi dari kaum borjuasi lokal. Keuntungan ini tidak akan menetes ke bawah, seperti yang diperkirakan oleh teori trickle effect down atau teori penetesan ke bawah. 

Teori pertumbuhan ekonomi yang dikemukakan oleh WW Rostow merupakan garda depan dari linear stage of growth theory. Pada dekade 1950-1960, teori Rostow banyak mempengaruhi pandangan dan persepsi para ahli ekonomi mengenai strategi pembangunan yang harus dilakukan. Tahapan-tahapan pertumbuhan dan perkembangan ekonomi suatu negara menurut WW Rostow ada lima tahap 1) tahap perekonomian tradisional; 2) prakondisi tinggal landas; 3) tinggal landas; 4) menuju kedewasaan; dan 5) tahap konsumsi massa tinggi. 

Fungsi kaum borjuasi lokal sebagai mitra yunior yang dipakai sebagai payung politik dan pemberi kemudahan bagi beroperasinya kepentingan modal asing adalah inang sari kelahiran Kapitalisme Kroni atau kerap disebut sebagai Kapitalisme Semu. Mengapa semu? Kaum borjuasi lokal itu tidak benar-benar memiliki akumulasi modal sendiri melainkan bergantung pada modal asing, tidak benar-benar mampu menjadi kapitalis murni akibat centang perenang dalam bisnis, dan tidak sepenuhnya canggih dalam inovasi dan kompetisi akibat sangat bergantung pada nepotisme dengan birokrasi.

Studi kasus di Indonesia, setkab.go.id merilis data kemenangan korporasi itu terealisir dalam 18 kesepakatan bisnis bernilai 20,075 miliar dollar AS atau kurang lebih Rp 273 triliun! Nilai itu setara 2,5 kali lipat dari total investasi AS di Indonesia dalam kurun waktu lima tahun terakhir.  Kesepakatan-kesepakatan tersebut bernilai strategis karena mayoritas berkaitan dengan hajat hidup orang banyak.  Seperti kesepakatan jual beli gas alam cair (LNG) antara Pertamina dan Corpus Christie Liquefaction, PLN Gorontalo dengan General Electric,  PT PLN (Persero) dengan Caterpillar untuk proyek pembangkit tenaga hibrid dan  microgrid di 500 pulau,  Universitas Udayana dengan Skychaser Energy untuk konservasi air, PT Kereta Api Indonesia dengan General Electric untuk perawatan 50 lokomotif selama 8 tahun, antara Perum Peruri dengan Crane Currency untuk pembangunan pabrik pengaman uang kertas dan sebagainya.  Begitu banyak kesepakatan itu hingga perlu dibagi menjadi beberapa grup.

Tidak hanya kesepakatan tentang pelayanan kepentingan umum, bahkan perusahaan gaya hidup juga melancarkan ekspansi bisnis. Phillip Morris menerbitkan saham baru Sampoerna untuk perluasan pabrik, perkantoran dan investasi;  Coca Cola melakukan perluasan, penambahan produksi, pergudangan, distribusi, dan infrastruktur minuman ringan, juga Master card yang bekerja sama dengan BNI syariah  untuk peluncuran kartu debit haji dan umroh.

Progres Ekonomi Indonesia di 2016

Berikut indikator-indikator ekonomi yang diterbitkan 24 Mei 2016 oleh lembaga Riset ekonomi "Focus Economics" (FE) yang berpusat di Barcelona, (Gran via 657, Barcelona 08 010), Spanyol yang mempunyai reputasi yang solid baik di kalangan pemerintah. Lembaga keuangan dan Perusahaan multinasional FE mempunyai Spesialisasi pada "consensus economic forecast", analisis ekonomi dan perdagangan komoditas, mencakup 127 negara di dunia.

Berikut 19 indikator ekonomi penting Indonesia dari 2014 sampai akhir 2015:

1. penduduk = 251 juta jiwa menjadi 255 juta jiwa 
2. pendapatan per orang = usd 3,541 menjadi usd 3,379
3. pertumbuhan ekonomi = 5 % menjadi 4,8 % 
4. pengangguran tenaga kerja = 3,9 % menjadi 6,2 %
5. tingkat konsumsi (variasi tahunan) = 5,2 % menjadi 5,0 %
6. nilai rupiah per usd = rp 12,385 menjadi rp 13,788
7. ekspor = usd 176 milyar menjadi usd 150 milyar
8. impor = usd 178 milyar menjadi usd 143 milyar
9. neraca dagang = minus usd 2,5 menjadi usd 7,6 milyar 
10. neraca berjalan (% dari pdb ) = - 3,1 menjadi - 2,1 %
11. utang luar negeri (% dari pdb) = 33 % menjadi 36 %
12. utang publik (% dari pdb) = 24,3 % menjadi 27,5 %
13. pasar modal (variasi tahunan) = 22,3 % menjadi minus 12,1 %
14. cadangan devisa = usd 112 milyar menjadi usd 106 milyar
15. neraca fiskal (% dari pdb) minus 2,1 % menjadi minus 1,9 %
16. industri manufaktur = 4,6 % menjadi 4,2 %
17. penjualan eceran (retail) = 14,5 % menjadi 13,3 %
18. inflasi (cpi) barang & jasa konsumsi) 8,4 % menjadi 3,4 %
19. inflasi (wpi) (barang grosir)= 9,3 % menjadi 4,4 %

Dari 19 indikator ekonomi di atas sudah cukup untuk menyimpulkan progres ekonomi 2014-2015 bahwa ekonomi Indonesia makin lemah, pertumbuhan turun, utang luar negeri meningkat, pendapatan rata-rata penduduk turun. Dan aktivitas Industri, Perdagangan (ekspor & impor), penjualan eceran dan grosir menyusut dengan akibat penganguran tenaga kerja meningkat.

Dampak merosotnya pertumbuhan ekonomi di 2015 masih berlanjut pada pertumbuhan ekonomi di kuartal 1 (Januari sampai Maret ) 2016 yang hanya tercapai 4,9 % dari target di atas 5,1 %. Dalam indikator neraca perdagangan terlihat data kenaikan surplus dagang yang tajam tetapi itu karena impor lebih cepat turunnya dari ekspor. Nilai Impor & ekspor 2015 lebih rendah dari tahun 2014. Demikian juga inflasi berdasarkan Indeks Harga Barang & Jasa Konsumen (Consumer Price Index = CPI) dan berdasarkan Index Harga Barang Grosir (Wholesale Price Index = WPI) turun tajam bukan karena kebijakan pengedalian harga tetapi lebih karena daya beli kosumen dan pedagang makin rendah mengakibatkan konsumsi turun tajam.Kita harapkan 2016 bisa lebih baik.

Semua kesepakatan itu searah dengan reformasi ekonomi dalam negeri yang dilakukan pemerintahan Jokowi. Paket-paket kebijakan ekonomi yang dikeluarkan sejak awal September memang dimaksudkan untuk mendorong investasi.  Suntikan modal dari PMA (Penanaman Modal Asing) diyakini Kapitalisme akan menggerakkan perekonomian nasional.  Rezim ini menunjukkan keseriusannya untuk menjalani peran neoliberalismenya dengan memberikan banyak kemudahan bagi korporasi.

Sebelumnya, Poltracking Indonesia pada (19/4/15) melalui situs www.poltracking.com merilis hasil surveinya yang menunjukkan sebanyak 66,6% publik tidak puas terhadap kinerja bidang ekonomi Jokowi-JK dan 48,5% tidak puas terhadap kinerja bidang pemerintahan Jokowi-JK.

Kesejahteraan dan kemakmuran hanya menjadi milik korporasi penanam modal.  Kapitalisme hanya melahirkan kesenjangan ekonomi dan sosial antara pebisnis dan rakyat jelata, karena pekerjaan kapitalis hanya menguras SDA dan SDM.  Di lain pihak, negara tidak memberikan akses yang memadai, hingga rakyat tidak pernah mampu berkompetisi dengan SDM impor.  Walhasil, mayoritas rakyat hanya bisa menjadi buruh atau mengais keuntungan dari pekerjaan informal yang tumbuh bersamaan dengan proses industrialisasi.  Kesejahteraan makin jauh dari harapan.

Dengan demikian membuktikan, sekali lagi, bahwa kapitalisme adalah ideologi yang rusak, sistem ekonomi yang gagal, solusinya berbahaya dan hasilnya menyebabkan kerusakan, ia tidak mampu mengobati penyakit, yang dilakukannya hanya meredamnya, sehingga berbagai masalah akan tetap terjadi, dan penyakit akan menjadi kronis.

Masalah seperti ini melekat dalam sistem ekonomi kapitalis. Semua upaya mereka untuk keluar dari krisis sudah ditakdirkan untuk gagal, karena mereka mendasarkan pada sistem cacat yang sama. Mereka gagal, atau bahkan menghindari untuk memeriksa alasan terjadinya krisis dan terfokus pada gejala sebaliknya.

Krisis saat ini dan pencarian solusi tidak hanya harus berakhir dengan ekonomi alternatif. Karena ekonomi adalah faktor yang paling penting dalam ideologi kapitalistik, krisis dan kekurangan bahkan harus mendorong orang-orang di barat untuk mempertimbangkan kembali seluruh dasar pandangan mereka pada kehidupan. Islam datang sebagai rahmat bagi umat manusia; bukan sebagai filsafat atau metafisika, tapi satu solusi praktis sebagai akibat dari aqidah dan sistem Islam, yang dapat diuji dan dirasakan oleh semua manusia. [VM]

Posting Komentar untuk "Neo-Liberalisme Melemahkan Progres Ekonomi Indonesia "

close