Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cina : Dari Mega Proyek Sampai Sendal Jepit


Oleh : Endah Sulistiowati, SP

Berangkat dari tahun 2002, di saat Indonesia sebagai salah satu dari negara ASEAN ikut melakukan kesepakatan kerjasama yang ditandatangi di Phnom Penh, Kamboja, 4 November 2002. Kesepakatan tersebut lebih populer dengan nama AFCTA yaitu proyek kerjasama perdagangan bebas dalam suatu kawasan negara-negara ASEAN dan Cina. Setelah pembentukan ini AFCTA menjadi kawasan perdagangan bebas terbesar sedunia dalam ukuran jumlah penduduk dan ketiga dalam ukuran volume perdagangan, setelah kawasan perekonomian Eropa dan NAFTA.

Usulan pembentukan kawasan ini dicetuskan sendiri oleh Cina pada bulan November 2000 (enam belas tahun yang lalu). Cina memprediksi akan menggeser Amerika Serikat pada posisi mitra dagang utama ketiga ASEAN, setelah Jepang dan Uni Eropa. Pada rentang waktu antara 2003 – 2008, volume perdagangannya dengan ASEAN tumbuh dari US$59,6 Milyar mejadi US$192,5 milyar, naik 3 kali lipat. Cina bahkan diprediksi menjadi negara eksporter dunia terbesar pada tahun 2010. Perjanjian AFCTA ini telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia dengan KEPPRES No. 48 tahun 2004 dan mulai diberlakukan pada tanggal 1 Januari 2010. 

Bersamaan dengan makin kuatnya posisi Cina di Indonesia, maka yang dikejarpun kian dalam. Cina tidak hanya sekedar memperluas jangkauan perekonomiannya, lebih sekedar itu. Cina ingin mengembalikan kejayaannya dengan kekuatan ekonomi dengan berusaha masuk ke semua negara dikawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Informasi yang berkembang mengungkapkan, kalangan Cina berambisi menduduki kursi tertinggi di negara ini, yaitu RI satu. Jalan itu telah dibuka oleh mereka dengan menghapuskan kata asli dalam pasal 6 UUD 1945 hasil amandemen UUD 1945. Syarat presiden yang seharusnya orang Indonesia asli, kini hanya warga negara Indonesia saja. Maka, warga keturunan pun bisa mendudukinya. Langkah ini semakin terbaca dengan berdirinya Partai Perindo yang didirikan oleh bos MNC Grup Hary Tanoesoedibyo dan semakin mantapnya langkah Ahok untuk menduduki kursi Gubernur DKI dalam Pilkada 2017. 

Masuknya investasi besar-besaran Cina ke Indonesia tak lepas dari strategi global Cina di dunia yakni Silk Road Econoic Belt (SERB) in Asia (Sabuk Ekonomi Jalur Sutra di Asia) dan Maritime Silk Road Point (MSRP) atau Titik Jalur Sutra Maritim. Negeri Tirai bambu ini membangun kembali jalur kuno perdagangan di era modern dengan Cina sebagai porosnya. Begitu pentingnya Laut Cina Selatan bagi Cina karena 70% perdagangan dunia melauli jalur ini, bahkan seperempat minyak mentah dunia pun dikirim melalui Selat Malaka, menjadikan Cina ingin menguasai kawasan Asia Pasifik secara nyata. Rencana Cina membangun Jalur Sutra Maritim ini sama persis dengan rencana Presiden Jokowi yang ingin membangun Tol Laut mulai dari Pulau Sumatra sampai Indonesia Timur sebagai jalur perdagangan laut. Secara filosofi kedua rencana ini sama. Cina pun punya doktrin kemaritiman yang dikenal dengan String of Pearl. Cina pun telah memiliki peta jalan penguasaan kawasan Asia Pasifik melalui jalur maritim.

Terlepas dari strategi Cina, mari kita tengok apa saja yang sudah diluncurkan Cina untuk Indonesia diawal dekade ini. Pertama, mega proyek kereta cepat Jakarta-Bandung yang sudah destujui Jokowi yang akan menghabiskan dana 5,5 milyar dolar (78 trilyun rupiah), dan Cina pun mensyaratkan semua material diimport dari Cina serta pengelolaan wilayah sekitar jalur kereta digarap juga oleh Cina. Demikian juga Tol Trans Sumatra, jalan tol yang dikerjakan BUMN ini pun skemanya sama, mendapat utang dari Cina. Kedua, proyek reklamasi teluk Jakarta yang sarat dengan berbagai masalah, siapa lagi yang ad dibalik reklamasi teluk Jakarta kalau bukan para cukong-cukong berduit, sebut saja bos Agung Podomoro Grup yang sekarang kasusnya sedang diusut oleh KPK, bahkan ada rumor kalau Ahok akan menjadikan Jakarta seperti Singapura, pertanyaannya mau dikemanakan lagi penduduk Jakarta yang taraf ekonominya di level menengah ke bawah, mungkinkah mereka akan bisa bertahan hidup di Jakarta. Ketiga, serbuan tenaga kerja kasar yang berasal dari Cina ke Indonesia sejak dibukanya kran AFCTA per 1 januari 2010. Mereka masuk ke Indonesia sebagai wisatawan bukan untuk bekerja,mereka masuk kepabrik-pabrik, pekerja bangunan dll, namun selama ini didiamkan oleh pihak keimigrasian. Jepang ataupun Korea tidak pernah membawa pekerja kasar dalam berinvestasi namun lain dengan Cina, bahkan sampai tataran buruh bangunan pun Cina membawa dari negaranya, sehingga menggeser peluang kerja rakyat Indonesia. Keempat runtuhnya industri-industri domestik dalam negri terutama tekstil dan alas kaki pasca diberlakukannya AFCTA. Import Indonesia dari Cina untuk barang-barang tekstil dan alas kaki mengalami kenaikan yang cukup signifikan,penyebabnya adalah harga yang murah dan lebih beragam. Hal ini mengakibatkan pasar domestik dikuasai oleh barang-barang Cina sehingga barang produksi dalam negeri tidak mampu bersaing. 

Sebagaimana yang telah dilansir oleh majalah Forbes, Desember 2015 “daftar 10 orang terkaya di Indonesia” hampir semuanya adalah para Taipan, para orang kaya yang jumlahnya hanya 0,2% dari penduduk Indonesia menguasai 74% tanah di Indonesia melalui konglomerasi baik itu real estate, pertambangan, perkebunan, HPH dan lainnya. Kerjasama yang cantik antara Cina Daratan (Negara Cina) dan Cina Perantauan (Cina Dalam Negri) akan menjadikan negara Indonesia semakin terperosok. Kekayaan alam hampir semua telah dikuasai para pemilik modal, dan kini negara Cina dengan perusahaan-perusahaannya masuk menguasai berbagai sektor ekonomi. Cina sebagai kapitalisme dari timur akan terus membebani kehidupan rakyat, sehingga tanpa disadari negara Indonesia yang kayaraya ini tidak akan mewariskan apa-apa kepada anak cucunya kecuali hutang. [VM]

Posting Komentar untuk "Cina : Dari Mega Proyek Sampai Sendal Jepit"

close