Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Renungan di Penghujung Ramadhan


Oleh : Endah Ummu Mafaza 
MHTI Kediri (Praktisi Pendidikan)

Di Indonesia komersialisasi Agama menjadi semakin kompleks. Dari tindak praktek menjual agama dengan terang-terangan, menukar sendi iman dengan kuasa, menggadai tauhid demi segenap finansial, sampai tak lupa menjual ayat suci demi status dan gengsi. Namun alangkah menariknya bahwa fenomena yang kini juga tidak kalah mengkhawatirkan sedang melenggang di bulan suci dan menjelang Idul Fitri. Momen Idul Fitri saat ini, dimanfaatkan dengan begitu semangatnya oleh berbagai stasiun TV. Artis-artis berjilbab kontan membanjiri tayangan media.

Ironi, pergeseran Ramadhan tahun ini dan sebelumnya bukan lagi kenikmatan klimaks beribadah dan penghanyatan terhadap puasa untuk meraih derajat takwa. Akan tetapi, Fenomena yang terjadi, Ramadhan dianggap sebagai bulan bisnis yang didalamnya banyak terkandung komerialisasi atas nama Ramadhan. Mari kita amati, puasa beberapa tahun terakhir ini, terjadi fenomena yang mengeluskan dada. Jika diawal-awal bulan Ramadhan, Masjid penuh dengan jama’ah yang salat isya, tarawih dan witir, hingga tak tertampung sampai ke luar halaman Masjid. Tapi, memasuki pertengahan dan akhir, lenggang. 

Kemana jama’ah tersebut? Hanya menyisakan beberapa shaf dan segeletir jamaah, bahkan tak ada pemuda sama sekali. Dulu, orang-orang sibuk beri’tikaf dan meramaikankan masjid diawal terlebih diakhir-akhir Ramadhan untuk mendapatkan rahmah, maghfiroh dan itqu min al-nar serta lailatul qadr. Tapi, sekarang orang-orang terlebih kaum muda lebih senang meramaikan mall-mall dan berbelanja di pasar, mengejar diskon belanja yang diobral setinggi-tingginya, dari pada memilih beri’tikaf di Masjid. Fenomena ini juga dimanfaatkan oleh para artis dengan berubah penampilan secara spontan dan banyak juga grup band yang berubah aliran, semua dengan alasan untuk mengejar pasaran Ramadhan.

 Ini menunjukkan bahwa betapa pergeseran nyata terjadi, bahwa bulan ramadhan tak lagi sesakral yang digaungkan para ulama di mimbar Masjid, tapi telah menjadi bulan komersial bagi sekompok muslim untuk sebuah keuntungan. Mari kita bercermin sejauh mana ibadah yang kita lakukan selama ini. Puasa bukan hanya sekedar ritual tahunan dengan segala simbol-simbol atas nama keaagamaan. Bukan juga sekedar menahan lapar dan haus, terlebih menganggap Ramadhan sebagai sarana untuk bisnis. Lebih dari itu, puasa mencoba mengajak kita mensrtukturisasi kesadaran keagamaan dari yang sifatnya personal ke kesadaran yang sifatnya sosial dengan harapan mendapatkan derajat muttaqin.

Dan bila Idul Fitri (Lebaran) datang, menjadi momen meningkatnya aktivitas konsumsi masyarakat. Apalagi biasanya menjelang Lebaran masyarakat mendapat tunjangan hari raya (THR) dari instansi tempatnya bekerja sehingga akan semakin memacu untuk menghabiskan uang tersebut dengan berbelanja. Masyarakat dengan semangat aji mumpung dan berfikir pintas: toh cuma sekali setahun menyerbu pertokoan. Otomatis hal ini membuat jumlah peredaran uang di masyarakat semakin meningkat, yang ujung-ujungnya menyebabkan laju inflasi tinggi meskipun hal ini sudah dianggap wajar.

Kebutuhan lebaran selain mempersiapkan makanan, minuman dan baju baru, juga termasuk biaya transportasi. Belum lagi jika keluarga berekreasi ke tempat-tempat wisata. Tentunya hal tersebut membutuhkan dana yang tidak sedikit, apalagi biasanya hargaharga barang kebutuhan dan biaya transportasi juga mengalami kenaikan. Jadi bisa dibayangkan berapa kali lipat kenaikan biaya konsumsi selama Lebaran.

Janji diskon dan paket murah atau cuci gudang yang diiklankan pusat-pusat perbelanjaan semakin menjerat kita untuk berperilaku konsumtif. Potongan harga dan display penawaran harga khusus selama lebaran semakin membuat kita tidak mampu menolak. Jadi sering kali kita membeli barangbarang yang ditawarkan bukan karena kebutuhan tetapi karena keinginan sesaat dan gengsi (prestise). Konsumtivisme Lebaran Konsumtivisme memiliki kata sifat konsumtif, dalam bahasa latin dengan kata dasar ’consumptus’; ’consume’ (Inggris) yang berarti sifat mengkonsumsi, memakai, menggunakan, menghabiskan sesuatu. Dalam Bahasa Inggris kata ’konsumtif’ digunakan untuk menyatakan penggunaan sesuatu secara berlebihan, pemborosan, obsesif dan rakus. ’Konsumtif’ bisa mengacu pada penggunaan waktu, uang, atau energi dengan berlebihan dan destruktif.

 Maka konsumtivisme adalah sebuah pandangan hidup, gaya hidup, ajaran, sikap atau falsafah hidup yang memakai, mengkonsumsi, menggunakan, menghabiskan sesuatu dengan berlebih-lebihan dan memboroskan sesuatu. Banyak dari kita keliru memaknai lebaran sebagai perayaan kemenangan umat muslim dengan berperilaku belanja barang-barang yang baru. Padahal seharusnya hati kitalah yang baru setelah selama sebulan penuh umat muslim melewati penyucian diri di Bulan Ramadhan. Rasulullah, Muhammad S.A.W dan para sahabat sendiri mencontohkan hidup yang sederhana dan tidak berlebih-lebihan dalam menyambut Hari Raya Idul Fitri. Bagaimana Rasulullah memberi suri tauladan dengan memperbanyak amal ibadah di bulan Ramadhan. Selain itu juga menganjurkan untuk memperbanyak sedekah, berinfak dan menunaikan zakat.

Sebagai diin yang sempurna, Islam mengatur bagaimana mengembangkan harta, sekaligus juga mengatur bagaimana cara membelanjakannya.  Islam telah menetapkan metode pembelanjaan harta sekaligus menentukan bagaimana tata  caranya.   Sistem Islam sangat  berbeda dengan sistem  kapitalisme-sekulerisme yang diterapkan saat ini, yang mengagungkan kebebasan pemilikan dan berperilaku, menjadikan manfaat sebagai asasnya.   Dalam Islam, seorang pemilik harta tidak dibiarkan bebas mengelola dan membelanjakan harta, sekalipun harta itu secara hokum, sah merupakan miliknya.  Akan tetapi Islam mengaturnya dengan rinci.

Islam telah melarang seseorang bertindak israf atau tabzir ketika membelanjakan harta, sekaligus melarang seseorang bersikap kikir atau taqtir. Perilaku konsumtif saat ini memang tengah mengancam kehidupan umat, telah menjebak umat Islam pada aktivitas mengejar kesenangan jasadi semata  yang akan mendorong seseorang pada perbuatan yang menyalahi hokum-hukum syara’ bahkan lebih jauh, akan membuat umat Islam berpaling dari tujuan hidup sebenarnya  Yakni menjaga Islam dan memperjuangkan kemuliaannya. [VM]

Posting Komentar untuk "Renungan di Penghujung Ramadhan"

close