Bela Negara Menurut Islam
Oleh : Budi Mulyana (*)
Berbicara mengenai bela negara, maka penting untuk memahami siapa sebenarnya musuh sejati negara, yakni yang memiliki niat jahat terhadap negeri ini. Bahkan tidak hanya niat, namun sudah terbukti melakukan tindakan-tindakan yang merugikan negeri ini seperti merampas kekayaan alam, memecah-belah persatuan masyarakat, menyebarluaskan ide-ide sesat yang menjerumuskan manusia ke dalam kehinaan. Itulah sejatinya musuh negara. Melawan semua itulah yang layak dinamai sebagai bela negara.
Kapitalisme–liberalisme adalah musuh sebenarnya di negeri ini. Ideologi ini sudah sangat nyata membawa berbagai kerusakan bagi negeri ini. Ideologi ini dikemas dengan apik oleh pengembannya, Amerika Serikat dan negara-negara Barat.
HAM (Hak Asasi Manusia), misalnya, mesti dipahami sebagai salah satu instrumen Barat dalam menyebarkan ideologi Kapitalismenya. HAM lahir dari sekularisme Barat, yang memisahkan agama dalam urusan kehidupan, yang sarat dengan ide kebebasan/liberalisme. Berkembangnya ide HAM di tengah-tengah kehidupan jelas atas kepentingan Barat. Baratlah yang selama ini paling getol mengkampanyekan HAM. Karena sarat dengan kepentingan, wajar bila kemudian Barat memiliki standar ganda terhadap persoalan HAM ini.
Ambisi negara-negara Barat untuk mengeksploitasi alam tentu tak lepas dari ideologi Kapitalisme yang mereka anut. Pandangan mereka tentang kebebasan kepemilikan dan kebebasan individu telah menjadikan masyarakat Barat tidak pernah merasa puas dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Akibatnya, mereka tidak lagi peduli dengan dampak kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh industrialisasi.
Musuh sejati Islam dan umatnya itu menggunakan berbagai strategi untuk menyebarluaskan paham sesatnya di negeri Muslim. Beberapa di antaranya adalah melakukan strategi pecah-belah, stick and carrot, penyesatan politik (isu terorisme, isu radikalisme dll) dan pencitraan negatif terhadap Islam.
Musuh Islam sering menggunakan pihak lain untuk melakukan aksi mereka di negeri-negeri Islam. Ini yang sering disebut sebagai proxy war. Mereka menggunakan boneka untuk dapat memuluskan kepentingan mereka. Para penguasa, kelompok-kelompok liberal dan LSM komprador yang hidup dari dana asing adalah boneka-boneka dari musuh-musuh Islam. Merekalah yang sejatinya menjalankan misi asing di negeri ini.
Bela Negara Menurut Islam
Membela negara merupakan fitrah yang timbul pada diri manusia. Islam sebagai agama fitrah telah menuntun sedemikian rupa bagaimana cara membela negera dengan benar. Syariah Islam telah menuntun secara praktis tatacaranya. Khilafah Islam telah menunjukkan baik secara syar’i maupun secara historis bagaimana Islam benar-benar dapat memenuhi fitrah manusia untuk membela negaranya.
1. Kewajiban Jihad fi sabilillah melawan musuh/penjajah.
Allah SWT telah memuliakan kaum Muslim dengan menjadikan mereka sebagai pengemban risalah Islam ke seluruh dunia. Allah SWT juga telah menentukan metode untuk mengemban risalah Islam itu, yaitu dengan dakwah dan jihad. Untuk itu, Allah SWT menjadikan jihad sebagai kewajiban atas mereka (Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 87; Zallum, Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm, hlm. 152).
Mempertahankan negeri ini dari serangan fisik dari musuh-musuh yang ingin menjajah negeri bukan hanya dianjurkan, bahkan diwajibkan. Islam memerintahkan kewajiban jihad fi sabilillah, kewajiban berperang, ketika negeri Islam diserang. Jihad adalah kewajiban seluruh kaum Muslim tanpa melihat apakah mereka itu sipil ataupun militer.
Dalil-dalil tentang kewajiban berjihad, yaitu berperang di jalan Allah SWT untuk meninggikan kalimat-Nya, dan keutamaannya banyak disebutkan di dalam nash syariah (Lihat, misalnya: QS al-Anfal [8]: 39; QS at-Taubah [9]: 12).
Rasulullah saw. juga pernah bersabda:
جَاهَدُوْا الْمُشْرِكِيْنَ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ أَلْسِنَتِكُمْ
Perangilah kaum musyrik dengan harta, jiwa dan lisan kalian (HR Ahmad, Nasa’i, Hakim dan Abu Dawud).
Bahkan Rasulullah saw. menjelaskan bahwa jihad merupakan puncak tertinggi Islam:
ذُرْوَةُ سَنَامِ اْلإِسْلاَمِ الْجِهَادُ فِي سَبِيْلِ اللهِ
Puncak tertinggi Islam adalah berjihad di jalan Allah (HR Ahmad).
Pada masa Rasulullah saw. mobilisasi umum dilakukan manakala peperangan memanggil kaum Muslim. Saat itu para Sahabat Rasulullah saw. turut melibatkan diri dalam pelatihan dan peperangan tersebut. Setelah pertempuran usai, mereka kembali beraktivitas sebagaimana masyarakat biasa; ada yang menjadi petani, pedagang, dan lain-lain. Begitulah yang terjadi pada masa-masa awal pembentukan Negara Islam di Madinah. Bahkan dalam Perang Khandaq (Perang Ahzab), keterlibatan seluruh warga negara, baik laki-laki maupun wanita, sangat jelas.
2. Kewajiban menjaga kesatuan negara (mencegah disintegrasi).
Khilafah adalah negara kaum Muslim di seluruh dunia. Umat Islam selama 14 abad hidup dalam satu negara yang dipimpin oleh seorang khalifah. Islam telah mengajarkan kesatuan dan persatuan di tengah-tengah kaum Muslim. Karena itu menjaga kesatuan dan persatuan ini wajib bagi mereka. Hukum ini pun termasuk perkara yang sudah ma’lûm[un] min ad-dîn bi ad-dharûrah (diketahui urgensinya dalam ajaran Islam).
Allah SWT berfirman:
وَاعْتَصِمُوْا بِحَبْلِ اللهِ وَلاَ تَفَرَّقُوْا
Berpegang teguhlah kalian semuanya pada tali (agama) Allah dan janganlah bercerai-berai (QS Ali ‘Imran [3]: 103).
Ayat ini bukan hanya berisi perintah untuk menjaga kesatuan dan persatuan, tetapi juga melarang bercerai-berai.
Menjaga kesatuan dan persatuan di sini bukan hanya terkait dengan individu, tetapi juga kesatuan dan persatuan wilayah. Ini ditegaskan oleh Nabi saw.:
إِذَا بُوْيِعَ لِخَلِيْفَتَيْنِ فَاقْتُلُوْا آخِرَ مِنْهُمَا
Jika telah dibaiat dua khalifah maka bunuhlah yang terakhir di antara keduanya (HR Muslim).
Islam tidak membiarkan potensi perbedaan dan perselisihan yang bisa menghancurkan kesatuan dan persatuan. Karena itu Islam menetapkan akidah Islam sebagai dasar negara. Dari akidah Islam inilah, UUD dan UU yang digunakan untuk menyelenggarakan negara dibangun.
3. Melindungi negara dari ide-Ide yang merusak.
Untuk melindungi negara dari ide-ide yang rusak, pendidikan menjadi pilar utama negara. Dasar yang menjadi pondasi kurikulum pendidikan di dalam negara Khilafah adalah akidah Islam. Karena itu seluruh kurikulum, materi pendidikan, metode dan seluruh proses belajar-mengajar tidak boleh bertentangan atau menyalahi dasar (akidah Islam) ini.
Secara umum, kebijakan pendidikan dalam negara Khilafah berorientasi untuk membentuk kepribadian Islam serta membekali rakyat dengan sains dan pengetahuan yang terkait dengan kehidupan. Karena itu metode pendidikannya disusun untuk bisa mewujudkan tujuan ini.
Untuk itu, negara Khilafah menetapkan hanya boleh ada satu kurikulum pendidikan yang diterapkan di wilayahnya. Negara Khilafah tidak akan mentoleransi adanya kurikulum lain, selain kurikulum negara. Meski negara Khilafah tidak melarang adanya sekolah swasta, yang didirikan oleh masyarakat, sekolah ini harus terikat dengan kurikulum negara.
Kurikulum merupakan uslûb dan khitthah hukum asalnya memang mubah. Dalam hal ini negara Khilafah boleh saja menetapkan satu kurikulum, yang dengan itu menjadi dasar dan patokan pendidikan di seluruh negara. Penetapan ini merupakan kewenangan Khalifah. Negara juga berhak melarang adanya kurikulum lain selain kurikulum yang ditetapkan oleh negara.
Khilafah akan belajar dari kesalahan Khilafah Utsmani, yang pada masanya diijinkan berdiri Universitas Kristen di Beirut. Universitas ini telah digunakan sebagai pusat gerakan separatis dan misionaris Kristen serta pusat penyebaran paham-paham yang bertentangan dengan Islam. Karena itu, sekolah, universitas atau lembaga seperti ini tidak boleh ada di dalam wilayah Khilafah.
4. Melindungi negara dari makar yang menghancurkan negara; mencegah intervensi asing dalam berbagai bentuknya.
Pada zaman Nabi Muhammad saw. sering terjadi peristiwa makar untuk menjatuhkan bahkan membunuh beliau. Peristiwa itu dengan jelas dan rinci dijelaskan Allah dalam al-Quran (Lihat, misalnya, QS al-Anfal [8]: 30).
Sejarah mengajarkan bahwa intervensi negara asing dalam tubuh Khilafah Utsmaniyah—misalnya serangan politik dan pemikiran serta kristenisasi yang dijalankan Inggris, Prancis, dan Amerika Serikat—ternyata sangat mematikan karena berujung pada kehancuran Khilafah tahun 1924. Penyebaran paham sekularisme dan nasionalisme yang kafir juga merupakan salah satu dampak intervensi asing yang jahat ini (Tha’imah, 1984; Khalidi & Farrukh, 1986).
Khilafah wajib menghadapi semua itu dengan tegas. Selain mengaktifkan jaringan intelijen negara yang didukung oleh umat, Khilafah dapat menjatuhkan sanksi ta‘zîr yang keras. Individu atau kelompok mana pun yang menjadi agen asing yang menyerukan ide kafir seperti sekularisme dan nasionalisme dapat dijatuhi hukuman mati dan setelah itu jenazahnya disalib di pinggir jalan.
5. Mensejahterakan rakyat.
Kecemburuan sosial-ekonomi dapat memicu konflik atau perselisihan sebagai akibat kebijakan memprioritaskan kelompok, golongan, suku, atau ras tertentu di atas yang lain tanpa alasan syar‘i. Khalifah a-Mu’tashim (Bani Abbasiyah), misalnya, mengistimewakan orang-orang Turki untuk menjabat posisi-posisi penting. Ini dilakukan untuk menggeser orang-orang Persia yang menjadi pejabat-pejabat administrasi pemerintahan Abbasiyah sejak Khalifah al-Makmun (Shalabi, 2004).
Mengatasi masalah ini, Khilafah wajib berbuat adil tanpa mengutamakan satu kelompok, golongan, ras, atau suku tertentu atas yang lain. Sebab, tidak ada keutamaan orang Arab atas orang non-Arab, kecuali atas dasar takwa. Dalam ketentuan mengenai pengangkatan pegawai, diberlakukan hukum ijârah (kepegawaian) yang bersifat umum dan mutlak, yaitu setiap orang yang memiliki kewarganegaraan dan memenuhi kualifikasi—laki-laki atau perempuan, Muslim atau non-Muslim—berhak menjadi pegawai pemerintah (Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, 2005).
Dalam konteks yang lebih luas, Khilafah wajib melakukan distribusi kekayaan secara adil kepada seluruh individu masyarakat. Khilafah mengambil berbagai kebijakan ekonomi dalam bidang perdagangan, jasa, pertanian, dan sebagainya agar harta tidak hanya beredar di kalangan orang-orang kaya saja (QS al-Hasyr [59]: 7).
Pemerintah Khilafah dalam sejarah ada yang berbuat zalim atau tidak adil sehingga dapat memicu munculnya konflik. Misalnya, dalam penarikan jizyah dari Ahludz Dzimmah (warga negara non-Muslim), Khalifah Umar bin al-Khaththab dalam perjalanannya ke Syam pernah melihat para pegawainya menyiksa orang-orang non-Muslim yang tidak membayar jizyah. Khalifah Walid bin Abdul Malik (Bani Umayyah) pernah merampas gereja Yohana dari tangan Nasrani, lalu dijadikan masjid. (Al-Maududi, 1993).
Solusinya, Khilafah wajib menegakkan keadilan dan menghilangkan segala bentuk kezaliman. Dalam kasus di wilayah Syam di atas, Khalifah Umar langsung mengambil tindakan dengan melarang penyiksaan atas non-Muslim itu (Abu Yusuf, Al-Kharaj, hlm. 71). Demikian juga dalam kasus perampasan masjid, ketika Umar bin Abdul Aziz menjadi khalifah, beliau mengembalikan gereja yang sudah dijadikan masjid kepada kaum Nasrani (Al-Balazhuri, Futûh al-Buldân, hlm. 132).
6. Mengkoreksi penguasa zalim.
Mengoreksi penguasa adalah fardhu kifayah (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 100; Al-Mas’ari, Muhâsabah al-Hukkâm, hlm. 3). Bahkan menurut Ibnu Taimiyah, fardhu kifayah (kewajiban bersama) ini bisa berubah menjadi fardhu ‘ain (kewajiban setiap orang), yaitu bagi orang yang mampu untuk melakukan dan mengubahnya (Ibnu Taimiyah, Al-Hisbah fi al-Islâm, hlm. 11).
Dalil kewajiban melakukan kontrol dan koreksi atas penguasa ini, di antaranya adalah hadis dari Ummu Salamah bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:
سَتَكُونُ أُمَرَاءُ فَتَعْرِفُونَ وَتُنْكِرُونَ، فَمَنْ عَرَفَ بَرِئَ، وَمَنْ أَنْكَرَ سَلِمَ، وَلكِنْ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ
Nanti akan ada para pemimpin. Kemudian kalian mengetahui dan kalian mengingkari. Siapa saja yang mengetahui (kemungkaran penguasa dan mengubahnya) maka ia bebas dari dosa. Siapa saja yang mengingkari (kemungkaran itu dengan hatinya) maka ia selamat. Namun, siapa saja yang ridha dan mengikuti (kemungkaran itu maka ia berdosa) (HR Muslim).
Memang, sabda Rasulullah saw. ini berupa kalam khabar (berita), namun maksudnya adalah kalam insyâ’ (perintah). Perintah dalam hal ini merupakan perintah yang bersifat tegas, agar melakukan muhâsabah (kontrol dan koreksi) terhadap para penguasa dan mengubah perilakunya jika mereka melanggar hak-hak rakyat, melalaikan kewajiban-kewajibannya terhadap rakyat, mengabaikan salah satu urusan rakyat, menyalahi hukum-hukum Islam, atau memutuskan hukum dengan selain wahyu yang telah Allah turunkan (Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah fi al-Hukm wa al-Idârah, hlm. 149).
Pengingkaran dan pengubahan itu harus dilakukan dengan lisan saja, bukan dengan kekerasan dan mengangkat senjata. Sebab, begitulah yang dipahami dari dalil-dalil yang menjadi dasar kewajiban melakukan kontrol dan koreksi terhadap penguasa. Apalagi terdapat hadis yang justru mengharamkan aktivitas mengangkat senjata terhadap penguasa kecuali dalam satu kondisi, yaitu ketika terjadi kekufuran secara nyata (kufr[an] bawâh[an]) yang dilakukan oleh penguasa (Mahmud, Ad-Dakwah ila al-Islâm, hlm. 60).
Perlu diingat, kewajiban mengoreksi penguasa ini sama sekali tidak bertentangan dengan kewajiban menaati penguasa (Al-Mas’ari, Muhâsabatul Hukkâm, hlm. 4). Sebab, kewajiban menaati penguasa itu hanya dalam hal yang baik saja. Karena itu jika penguasa menyimpang dari ketentuan syariah maka tidak ada ketaatan bagi dia. Justru umat bermaksiat kepada Allah jika menaati penguasa yang menyimpang. Rasulullah saw. bersabda:
لاَ طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةِ اللّهِ. إنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ
Tidak ada ketaatan apapun dalam hal bermaksiat pada Allah. Ketaatan itu hanya dalam hal yang baik saja (HR Muslim). [VM]
(*) Anggota Lajnah Siyasiyah DPP Hizbut Tahrir Indonesia, Mahasiswa Pogram Doktor Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran dan Dosen Hubungan Internasional UNIKOM Bandung.
Posting Komentar untuk "Bela Negara Menurut Islam"