Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Demokrasi dan ‘Isuk dele Sore Tempe’


Oleh : Umar Syarifudin 
(Direktur Pusat Kajian Data dan Analisis)

Jare wong Jowo Isuk dele sore tempe (pagi kedelai, sore tempe). Hari ini galang kongsi, besok cerai. Hari ini partai Inu mantap dukung si Anu, besok bisa berubah omongan bela si Onu. Hari ini teriak si anu koruptor dan tidak pro rakyat, mungkin esoknya bisa berubah bahwa si Anu layak memimpin Indonesia ataupun memimpin daerah Anu.  Tidak ada kawan abadi, yang ada adalah progres untung rugi. Fenomena sikap politik istiqomah dengan ketidak konsistenan dibela dengan slengekan ‘biasa aja kalee namanya jugak politik’.  Di masyarakat tumbuh persepsi ‘hari ini getol jadi aktivis kritis, ntar jadi investasi politik di kemudian hari loh’. Ataupun persepsi publik yang terbangun tak ada politisi yang benar-benar tulus, yang ada ya nafsu kekuasaan. Termasuk peribahasa berkembang di tengah-tengah masyarakat ‘gaji di pelupuk mata tidak tampak, proyek di seberang tampak’. Makin tingginya apatisme masyarakat akibat praktik politik demokrasi adalah fakta yang perlu dicermati. 

Menyorot terjadinya politik transaksional antara partai pengusung dengan kandidat kepala daerah, munculnya fenomena uang mahar dan kompromi pencalonan kepala daerah dengan wakilnya yang berbeda partai demi mencukupi syarat dukungan. Fenomena modus disharmoni antara kepala daerah dengan wakilnya menjelang pemilihan masa jabatan kedua. Masing-masing mau maju lagi secara terpisah. Perilaku oportunisme partai-partai, baik dengan motivasi uang maupun motivasi ikut menjadi pemenang tanpa kerja keras. Kalau satu pasang calon menghimpun banyak partai pendukung, akan terbangun kesan bahwa calon lain pasti akan kalah, sehingga partai-partai yang tersisa tidak berani mengajukan calon. Logikanya, “buat apa maju kalau sudah tahu akan kalah.” Pragmatisme seperti ini lumrah mengingat biaya Pilkada yang mahal selain mungkin harga diri seseorang yang semula mau dicalonkan dipertaruhkan. Kasarnya, “malu menjadi pihak yang kalah telak. Ini wajah politik demokrasi. 

Fenomena gampangnya pecah kongsi di dalam praktik politik demokrasi menunjukkan beberapa hal: pertama, belum terjadi dan mungkin tidak akan terjadi, perubahan paradigma politik yang hanya berputar pada masalah kekuasaan. Hal itu terlihat jelas dari pecah kongsinya Kepala Daerah dan wakilnya yang kemudian saling berhadap-hadapan di Pemilu Kada berikutnya. Juga tampak pada fakta dimana terjadi pertukaran posisi, yang semula menjadi Kepala Daerah namun karena sudah dua periode sehingga tidak bisa mencalonkan lagi, maka ia tetap maju dalam Pemilu Kada namun berubah posisi menjadi calon wakil kepada daerah. Jika dia tidak maju maka isterinya, anaknya atau kerabatnya yang lain maju menggantikan posisinya. Dominannya nafsu kekuasaan itu juga tampak dari majunya Wakil Kepala Daerah incumbent dalam Pemilukada berhadap-hadapan dengan kepala daerah incumbent. Untuk itu pasangan mereka pun harus pecah kongsi. Jadi tampak jelas dominannya nafsu kekuasaan dalam proses tersebut. Koalisi yang kita saksikan sekarang sejatinya adalah bagian dari politik yang berujung pada politik dagang sapi atau yang bisa disebut juga sebagai politik transaksional.

Kedua, fakta ini makin menegaskan bahwa di dalam politik ala demokrasi itu paradigma politiknya adalah “tidak ada kawan dan lawan yang abadi, yang ada adalah kepentingan abadi”. Siapa menjadi kawan dan siapa menjadi lawan ditentukan oleh ada tidaknya pertemuan kepentingan. Jika kepentingan bisa bertemu maka saat ini menjadi kawan. Sebaliknya jika kepentingan tidak bisa bertemu atau bahkan berhadap-hadapan maka saat itu menjadi lawan satu sama lain.

Ketiga, fakta ini menunjukkan bahwa dalam politik yang ada saat ini pragmatisme menjadi ideologi para politisi. Tolok ukur yang dipakai adalah manfaat. Itu artinya apapun akan dilakukan yang penting bisa merealisasi manfaat atau bisa mendatangkan keuntungan bagi para politisi. Jika pragmatisme itu menjadi ideologi penguasa, akibatnya kekuasaan yang ada di tangannya tidak dijadikan jalan pengabdian untuk kemaslahatan rakyat, tetapi justru digunakan untuk merealisasi kepentingannya sendiri, kelompok, donatur dan pemodalnya juga partainya. Rakyat dan kepentingan rakyat pada akhirnya hanya dijadikan alat, kedok dan justifikasi untuk membuat program, kegiatan dan kebijakan yang pada hakikatnya lebih untuk kepentingannya sendiri, pemodal, kelompok dan partainya.

Sekali lagi, faktanya adalah ‘high cost of politics’ dalam demokrasi untuk ikut serta dalam Pileg maupun Pilpres. Di sinilah peranan para pengusaha atau para pemodal. Merekalah yang akan men-support para kontestan Pemilu dalam demokrasi tersebut, tentu dengan bersandar pada prinsip ‘no free lunch” atau tidak ada makan siang yang gratis. Saat menang, partai-partai tersebut nantinya akan membuat kebijakan yang pro terhadap para pemodal sebagai bentuk “balas budi” saat Pileg atau Pilpres. Karena itu tidak aneh jika setiap kebijakan yang diambil oleh penguasa di negeri ini hanya akan memberikan keuntungan kepada pihak swasta dan pihak asing sebagai pemodal.

Ringkasnya, sistem demokrasi sangat sulit atau bahkan hampir mustahil menghasilkan Kepala Daerah pelayan rakyat. Hasilnya hanya Kepala Daerah pelayan kapitalis yang mengutamakan kepentingan pemilik modal. Krisis politik yang terus terjadi dalam sistem demokrasi seperti yang terjadi selama ini seharusnya makin menyadarkan kita untuk mengenal watak asli demokrasi yang memiliki cacat bawaan. Wajar jika di tengah masyarakat bergelora kerinduan dengan penerapan sistem Islam yang pro rakyat. [VM]

Posting Komentar untuk "Demokrasi dan ‘Isuk dele Sore Tempe’"

close