Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kebakaran Hutan dan Persekongkolan Para Kapitalis


Oleh : Umar Syarifudin 
(praktisi politik)

Penyebab kebakaraan hutan secara garis besar dikarenakan oleh dua hal, yaitu kebakaran yang terjadi karena faktor alamiah dan kebakaran karena ulah manusia. Kebakaran yang terjadi akibat alam misalnya, karena petir, karena kemarau yang panjang, sehingga matahari akan membakar tanaman yang kering melalui hal sederhana seperti adanya percikan api karena pembiasan cahaya dari kaca/kaleng yang mengkilap. Sedangkan kebakaran oleh manusia misalnya hutan sengaja di bakar karena ingin membuka lahan.

Penyebab kebakaran di Indonsesia sudah banyak dikaji oleh para peneliti berbagai belahan dunia. Semua berkesimpulan bahwa ulah manusialah penyebab utama kebakaran hutan dan lahan. Pengelolaan lahan yang masih menjadikan api sebagai alat yang murah, mudah dan cepat menjadi inti dari penyebab kebakaran.

Dalam tinjauan medis, dampak buruk dari kebakaran hutan, asap mengandung gas dan partikel kimia yang menggangu pernapasan seperti sulfur dioksida (SO2), karbon monoksida (CO), formaldehid, akrelein, benzen, nitrogen oksida (NOx) dan ozon (O3). Material tersebut memicu dampak buruk yang nyata pada manusia khususnya manula, bayi dan pengidap penyakit paru. Meskipun tidak dipungkiri dampak tersebut bisa mengenai orang sehat jika kebakaran hutan sudah sedemikian parah.

Dalam tinjauan ekonomi, ada tiga kerugian yang bisa dihitung secara ekonomi yakni, dari deforestasi (Hilangnya sebagian atau seluruh hutan), kehilangan keanekaragaman hayati dan pelepasan emisi karbon. Belum lagi dengan dampak langsung bagi masyarakat yang tinggal di sekitar hutan, seperti langkanya cadangan air tanah serta terganggunya kesehatan karena asap kebakaran hutan.

Berdasarkan laporan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), satelit Modis mendeteksi 232 titik panas atau hotspot yang tersebar di Sumatera, pada Minggu (07/08). Dari jumlah tersebut, 53 titik di antaranya berada di Sumatera Selatan dan 45 titik di Provinsi Riau. Pada Senin (07/08), jumlah titik panas menurun menjadi 173 titik. Sebanyak 51 titik berada di Sumatera Selatan, 40 titik di Bangka dan Belitung, serta 22 titik di Riau.

Sutopo Purwo Nugroho, selaku Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), mengatakan jumlah titik panas saat ini jauh lebih sedikit dibandingkan dengan periode yang sama pada 2015 lalu. “Selama 1-7 Agustus 2015 jumlah hotspot di Indonesia mencapai 14.451 titik, namun pada periode 1-7 Agustus 2016 hanya ada 491 titik. Bahkan pada Agustus 2015 jumlahnya mencapai 14.451 titik. Penurunan jumlah hotspot saat ini disebabkan upaya pencegahan dan pemadaman karhutla yang lebih baik dibandingkan tahun 2015,” kata Sutopo.

Dia juga menyebutkan adanya anomali cuaca dan pengaruh La Nina yang menyebabkan lahan tetap basah sehingga sulit terbakar. Sebaliknya pada tahun 2015 terjadi El Nino hebat sehingga curah hujan menurun dan cuaca sangat kering serta mudah terbakar.

Berbeda dengan tahun ini, tahun 2015 ada 1.840 titik panas di Indonesia yang terdiri di Sumatra sebanyak 1.563 titik, sembilan di Riau, Jambi 131, Babel 22, Lampung 57, dan 257 di Kalimantan. Jarak pandang pendek menyebabkan penerbangan terganggu. Jarak pandang berkisar antara 500 meter hingga 1.000 meter. Kualitas udara dari indeks standard pencemar udara (ISPU) juga menunjukkan level tidak sehat hingga berbahaya. 

Cegah dari Perusakan

Kebakaran lahan dan hutan terjadi terus berulang dan makin rumit di antaranya akibat persekongkolan jahat para kapitalis dengan elit politik, politisi dan penguasa. Indikasinya, setiap kali mendekati Pilkada dan Pemilu terjadi obral penguasaan lahan. Pengusaan lahan ditengarai dijadikan cara mengumpulkan modal politik dan imbalan kepada para pendukung khususnya para cukong.

Bulan ini telah terjadi peningkatan jumlah titik api di Sumatera, tepatnya daerah provinsi Riau. Titik api disebabkan oleh adanya kebakaran hutan yang diduga sengaja dilakukan oleh oknum-oknum tertentu. Kebakaran hutan yang terjadi berdasarkan hasil laporan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional LAPAN. Pemantauan satelit Modis dengan sensor Terra Aqua dari NASA pada Minggu (03/07/2016) menemukan kurang lebih 288 titik api, dimana 245 titik terdapat di Sumatera dan 43 lainnya berada di Kalimantan. (nationalgeographic.co.id 11/7/16)

Berdasarkan berita yang dirilis mongabay.co.id (6/10) tahun lalu Walhi merilis daftar perusahaan besar di balik kebakaran hutan dan lahan. Daftar itu hasil analisis kebakaran hutan dan lahan di Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah. “Hasil analisis menunjukkan mayoritas titik api di dalam konsesi perusahaan. Di HTI 5.669 titik api, perkebunan sawit 9.168,” kata Edo Rahkman, Manajer Kampanye Walhi Nasional di Jakarta, pekan lalu.

Dia merinci daftar berbagai grup besar terlibat membakar hutan dan lahan, di Kalteng Sinar Mas tiga anak perusahaan, Wilmar 14. Di Riau, anak usaha Asia Pulp and Paper (APP) enam,  Sinar Mas (6), APRIL (6), Simederby (1), First Resources (1) dan Provident (1). Di Sumsel (8) Sinar Mas dan 11 Wilmar, (4) Sampoerna, (3) PTPN, (1) Simederby, (1) Cargil dan (3) Marubeni. Kalbar Sinar Mas (6), RGM/ APRIL (6). Di Jambi Sinar Mas (2) dan Wilmar (2).

Berdasarkan data LAPAN periode Januari-September 2015 ada 16.334 titik api, 2014 ada 36.781. Berdasarkan data NASA FIRM 2015 ada 24.086 titik api,  dan 2014 ada 2.014. Kebakaran hutan dan lahan menyebabkan warga terserang ISPA. Di Jambi ada 20.471 orang, Kalteng 15.138, Sumsel 28.000, dan Kalbar 10.010 orang.

Arie Rompas Direktur Eksekutif Walhi  Kalteng mengatakan, kebakaran karena pola penguasaan lahan korporasi terlalu luas. Dari 15,3 juta hektar luas Kalteng, 12,7 juta hektar (78%) dikuasai investasi. Baik HPH, sawit maupun pertambangan. “Kalteng memiliki lahan gambut paling luas 3,1 juta hektar. Sudah habis untuk investasi perkebunan sawit. Kesalahan pemerintah yakni pembangunan lahan gambut sejuta haktar zaman Soeharto dan membuka gambut yang menjadi titik api. Gambut itu ekosistem basah yang ketika kering mudah terbakar,” katanya.

Tahun 2015, ada 17.676 titik api di Kalteng. Kebanyakan di konsesi. Namun upaya penegakan hukum masih kurang. Baru ada 30 perusahaan disidik,  10 disegel, tetapi belum jelas tindak lanjut seperti apa. “Yang ditetapkan tersangka Mabes Polri cuma tiga. Itupun perusahaan kecil. Ini menunjukkan penegakkan hukum belum mengarah aktor besar yang mengakumulasi praktik besar pembakaran hutan.”

Dia menyebutkan,  grup besar yang seharusnya disasar dalam upaya penegakan hukum antara lain Grup Wilmar, Best Agro International, Sinar Mas, Musimas, Minamas, dan Julong Grup. Grup-grup ini, katanya,  mengakumulasi mulai pemilik lahan, membeli CPO dari perusahaan menengah dan kecil, hingga mendapatkan keuntungan dari pembakaran hutan dan lahan.

Senada diungkapkan Anton P Wijaya, Direktur Eksekutif Walhi Kalbar. Dia  mengatakan, Kalbar sebenarnya sudah habis dibagj untuk konsesi. Dari luas 14.680.700 hektar, konsesi perkebunan sawit 5.387.610,41 hektar (550 perusahaan), pertambangan 6,4 juta hektar (817 IUP), dan HTI 2,4 juta hektar (52 perusahaan). Gambut di Kalbar, 2.383.227,114 hektar, di dalamnya, perkebunan sawit 153 perusahaan seluas 860.011,81 hektar. HTI 27 perusahaan seluas 472.428,86 hektar. Total konsesi di lahan gambut 1.302.498,92 hektar.

“Sebaran Januari-September ada 7.104 titik api. Sebaran di HPH 329, HTI 1.247, sawit 2.783, tambang 2.600 dan gambut 2.994 titik api. Sejak 8 Juli-22 September, setidaknya 40 perusahaan perkebunan ini konsesi terbakar 24.529 hektar. Hasil pemantauan 1-22 September ada 739 titik api. Berada di satu HPH, tiga HTI, 11 perkebunan dan sembilan pertambangan. “Data tak kami berikan kepada kepolisian. Kami berikan kepada KLHK dengan harapan segera ditindak serius. Kami kecewa progres penegakan hukum kepolisian.”

Bencana kebakaran hutan dan lahan hanya akan bisa diakhiri secara tuntas dengan sistem Islam melalui dua pendekatan: pendekatan tasyrî’i (hukum) dan ijrâ’i (praktis). Bencana akibat kebakaran lahan dan hutan sangat sulit atau bahkan mustahil diakhiri dalam sistem kapitalis saat ini. Pasalnya, demi kepentingan ekonomi, jutaan hektar hutan dan lahan diberikan konsesinya kepada swasta. Padahal itulah yang menjadi salah satu akar masalahnya.

Sikap

Sebagai milik umum, hutan haram dikonsesikan kepada swasta baik individu maupun perusahaan. Dengan ketentuan ini, akar masalah kasus kebakaran hutan dan lahan bisa dihilangkan. Dengan begitu kebakaran hutan dan lahan bisa dicegah sepenuhnya sejak awal.

Pengelolaan hutan sebagai milik umum harus dilakukan oleh negara untuk kemaslahatan rakyat, tentu harus secara lestari. Dengan dikelola penuh oleh negara, tentu mudah menyeimbangkan antara kepentingan ekonomi, kepentingan rakyat dan kelestarian hutan. Negara juga harus mendidik dan membangun kesadaran masyarakat untuk mewujudkan kelestarian hutan dan manfaatnya untuk generasi demi generasi.

Penindakan hukum secara tegas terhadap para pelaku pembakaran dan siapa saja yang terlibat. Ini harus dilakukan secara tegas dan tanpa pilih kasih. Bukan hanya yang kecil yang ditindak, tetapi juga yang besar. Selama ini masyarakat melihat, penindakan baru menyentuh yang kecil, sementara yang besar dibiarkan.

Untuk jangka panjang harus diadakan infrastruktur untuk mencegah dan mengatasi kebakaran lahan dan hutan; baik berupa pembuatan kanal, penghutanan kembali, pembuatan sumur sumber hidran, embung, tata ruang dan lahan, termasuk mungkin pembelian pesawat water bombing yang diperlukan.

Lebih dari itu, kebakaran terjadi karena adanya UU dan peraturan yang membenarkan hal itu. Ada pula peraturan yang membenarkan pemberian konsesi sangat luas sampai ratusan ribu hektar kepada swasta. Padahal penguasaan lahan yang sangat luas itu menjadi salah satu akar masalah kebakaran hutan. Selain itu, seperti disinggung di atas, maraknya kebakaran lahan ada kaitannya dengan sistem politik demokrasi yang sarat biaya. Politisi dan penguasa di antaranya mengumpulkan dana politik dengan pemberian penguasaan lahan. Semua itu harus dicabut dan diganti. Itulah problem sistem dan peraturan perundangan, yang justru menjadi akar masalah kebakaran lahan dan kabut asap. Karena itu sistem dan peraturan itu harus dicabut dan diubah. [VM]

Posting Komentar untuk "Kebakaran Hutan dan Persekongkolan Para Kapitalis "

close