Bahaya Isu Rasial Akan Menghancurkan Tatanan Negara, Isu Agama?
Oleh : Dhana Rosaeri
(Pengamat Politik)
Sentimen pribumi atas kaum pendatang/asing menjadi konsumsi empuk dalam perhelatan perpolitikan di Indonesia akhir-akhir ini. Tak lain, karena mulai bersinarnya karir para politisi etnis Tionghoa (China). Sebut saja Hari Tanoesoedibjo, politisi Partai Persatuan Indonesia (Perindo), kemudian Basuki Tjahaja Purnama yang dikenal dengan Ahok, Gubernur DKI Jakarta. Sebagian politisi dan umat Islam mulai menanggapi sinis dan sentimental atas tampilnya para Politisi etnis Tionghoa ini, meski tak sedikit pula yang mendukungnya. Sebagian mereka membenci politisi ini karena faktor etnis, namun sebagian yang lain karena faktor agama. Lantas, bagaimana pandangan Islam dalam melihat perbedaan ini?
"Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al Maidah : 8)
Rasialisme Dalam Kepemimpinan Islam
Sebelum penjajah Belanda datang di negeri Indonesia, persoalan rasial bukanlah persoalan besar. Di masa Kesultanan Islam di Indonesia hubungan masyarakat Indonesia dengan bangsa-bangsa besar lain di dunia terjalin dengan baik. Sebut saja hubungan Indonesia dengan bangsa Turki pada masa Khilafah Utsmani, dengan bangsa Tionghoa, Arab, Gujarat dsb.
Untuk kita (di Indonesia) yang terbiasa dengan sikap rasial/rasis ini, maka sebaiknya kita tahu bahwa rasisme adalah bagian dari politik pemerintah Kolonial belanda, yang membagi masyarakat di Indonesia menjadi 3 golongan, yaitu golongan eropa, timur asing (yang termasuk didalamnya etnis tionghoa, baik peranakan dan bukan peranakan) serta golongan bumi putera (pribumi). Politik lainnya dari kolonial Belanda adalah politik Wijkenstelsel, yaitu politik yang mengharuskan setiap suku bangsa tinggal di kampung-kampung tersendiri, agar tidak ada hubungan, kecuali perdagangan antar etnis atau suku bangsa dalam suatu kota. Bahkan hingga pendidikan pun penjajah itu memilah-milahnya, dengan memberikan sekolah yang berbeda-beda, yaitu HIS (hollandsch-Inlandsche School) untuk bumiputera/pribumi, HCS (hollandsch-Chineese School) untuk etnis tionghoa dan peranakannya, serta ELS (Europeesch Lagere School) untuk anak-anak Belanda.
Tak bisa dipungkiri, masyarakat Islam amatlah heterogen, apalagi jika nanti disatukan dalam sebuah naungan negara Khilafah yang membentang dari Asia, Afrika hingga Eropa bahkan benua Amerika, sebagaimana kejayaan Khilafah Islam yang pernah menguasai 2/3 dunia dulu. Rasa hormat kesultanan di Indonesia terhadap kepemimpinan Khalifah di Turki Utsmani tak bisa dihapuskan dari sejarah. Setiap ada pergantian sultan, mereka harus melaporkan kepada Sultan Turki Utsmani yang sedang berkuasa untuk meminta pengesahan atau legitimasi. Gelar khalifatullah menjadi simbol hubungan antara Mataram Islam dan Turki Utsmani, yang menandai perwakilan Turki Utsmani di tanah Jawa. Penerimaan bangsa Indonesia terhadap kepemimpinan Khilafah Turki Utsmani merupakan representasi dari penerapan ajaran Islam yang tak melihat perbedaan suku bangsa sebagai masalah besar, namun persoalan Akidah dan Sistem Islam lah yang menjadikan ikatan antar bangsa bahkan benua menjadi satu-satunya ikatan yang sah dan kuat mengalahkan segala perbedaan rasial yang sempit dan primitif.
Allah Swt memberikan petunjuk terhadap perbedaan Rasial ini dalam sebuah ayat : “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS Al Hujarat : 13).
Perbedaan suku bangsa, ras, warna kulit bahkan bahasa bukanlah perbedaan yang perlu dipertajam, Allah Swt berfirman : “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui.” (QS. Ar Rum : 22).
“Sesungguhnya Allah telah menghilangkan dari kalian sikap sombong jahiliyah dan bangga dengan nenek moyang, karena kalian adalah anak cucu Adam dan Adam dari tanah”. (Abu Daud)
Dalam hubungan ini, Rasulullah saw telah mengingatkan kita melalui sabdanya: “Tidak ada kelebihan orang Arab atas orang yang bukan Arab, demikian sebaliknya, dan tidak pula orang putih atas orang hitam dan sebaliknya, tetapi kelebihan yang satu dari yang lain hanya dengan taqwa” (HR. Ashhab al- Sunan). Pribadi nabi Muhammad saw dan risalah Islam yang dibawanya jelas tidak diperuntukkan hanya bagi etnik atau ras tertentu, melainkan untuk semua umat manusia (Islam for all).
Pan Arabisme Menghancurkan Khilafah Utsmaniyah
Pada tahun 1915 diproklamirkan perang terhadap Khilafah Utsmani atas nama bangsa Arab yang kemudian disebut sebagai revolusi besar Arab atau al Tsaurah al-Arobiyah Al- Kubra – dalam bahasa Arab – yang dipimpin Syarif Hussain Ibn Ali dari Makkah. Sebelumnya, di Eropa, pemuda-pemuda Arab mendirikan sebuah forum yang sebut “Young Arabic Society” atau “Arab Muda”, sebuah perkumpulan nasionalis Arab yang pada tahun 1913 menyelenggarakan Kongres Arab pertama di Paris.
Perlawanan bangsa Arab terhadap kepemimpinan bangsa Turki dalam Khilafah Islam dengan memunculkan sentimen Rasial. Sentimen ini dimunculkan dan dipropagandakan untuk memecah belah negeri-negeri Islam dalam kesatuan Khilafah. Dikotomi Pan Arabisme dan Pan Islamisme mengemuka, apakah perlu bersatu dalam Islam atau bersatu pada bangsa Arab yang unggul dibanding bangsa lain (turki).
Secara agitatif dipropagandakan bahwa Turki memikul beban berat bangsa-bangsa yang bukan bangsa Turki. Turki harus membebaskan diri dari bangsa-bangsa selain Turki. Turki harus menyusun partai-partai politik yang bekerja untuk mewujudkan nasionalisme Turki dan membebaskan Turki dari negeri-negeri selain Turki. Begitu juga di kalangan para pemuda Arab. Slogan-slogan nasionalisme Arab disebarluaskan oleh kafir penjajah, seperti, “Turki negara penjajah”, “Sekaranglah saatnya bagi bangsa Arab untuk membebaskan diri dari penjajahan Turki”, dll. Kemudian dengan slogan-slogan itu mereka membentuk partai-partai politik yang bekerja untuk mewujudkan persatuan Arab dan membebaskan Arab.
Pan-Arabisme – atau lebih tepatnya ideologi Pan-Arabisme – adalah ideologi yang dilandasi atas semangat nasionalisme Arab. Semangat ini mewacanakan persatuan bangsa Arab yang terbentang luas dari Samudra Atlantik sampai lautan Arab sebagai kesatuan yang utuh agar lebih mudah dalam perjuangan melawan Khilafah Utsmani. Dan seperti yang kita saksikan, Khilafah Utsmani pun runtuh berkeping-keping akibat rasialisme yang ditumbuhkan dalam tubuh umat Islam.
Isu Rasial Dalam Politik, Bolehkah?
Mengaitkan Islam dengan etnis Tionghoa, maka akan ditemui, bahwa, Islam telah memulai kontak resmi dengan pemerintah China (dinasti Tang) pada masa khalifah Usman Bin Affan. Jikalah memang Islam mengajarkan kebencian pada etnis tionghoa, maka mengapa pula sahabat Rasulullah, khalifah Usman Bin Affan, memulai hubungan diplomatik dengan dinasti Tang? Risalah Islam diturunkan bagi seluruh alam, termasuk suku Tionghoa.
Hanya saja, dalam sebuah Kepemimpinan maka kriteria untuk menjadi seorang Pemimpin harus memenuhi syarat legal (In’iqad), yakni Muslim (bertakwa, sholeh), Laki-laki, Baligh (dewasa), Berakal (tidak gila), Adil, Merdeka (mandiri dan tak dikontrol korporasi atau penguasa negeri lain) dan Mampu (leadership). Penilaian secara individu untuk menjadi pemimpin dalam Negara Islam harus berdasarkan 7 syarat tersebut. Ditambah lagi, bahwa dalam sistem Pemerintahan Islam, maka seorang pemimpin haruslah memiliki kapabilitas dan pemahaman yang memadai dalam konstruksi hukum dan politik yang sesuai Syariah Islam. Artinya, seandainya ada calon pemimpin semisal Ahok kemudian masuk Islam untuk memenuhi syarat legal tadi, maka harus dilihat kembali apakah sistem politik yang akan diterapkan, maka standarisasinya harus Islam dengan penerapan Syariah Islam di dalamnya. Dan yang penting lagi, ada syarat keutamaan (afdholiyah), bahwa sang calon pemimpin apakah memiliki kapabilitas (kecakapan) dalam menguasai berbagai aspek Syariah atau tidak. Masyarakat yang akan memilih dari sekian calon muslim, dari aspek kemampuan, penguasaan terhadap sumber hukum Islam, dan kecakapan lain yang harus dimiliki sebagai seorang pemimpin.
Dalam hal ini, dalam kepemimpinan Islam ada dua faktor yang menentukan, yakni Faktor Individu pemimpin, dan yang kedua adalah Faktor Sistem Kepemimpinan. Individu dan Sistem harus dalam nuansa dan perspektif Islam, sebagai satu kesatuan yang utuh dan tak terpisahkan. Individu Muslim tapi sistem sekuler dan Kapitalisme, makan juga tak boleh, apalagi sebaliknya dan tidak Islami dua-duanya. Persoalan rasial, bukanlah isu yang menarik dalam masyarakat modern dan beradab, apalagi masyarakat Islam. Sehingga penolakan terhadap seseorang bukan dialamatkan pada suku/ras, tapi pada agama, ketakwaan dan loyalitas terhadap ajaran agama yang dianutnya.
Rasulullah Saw memberikan Khotbah ketika melakukan haji yang terakhir kalinya (yang dikenal sebagai Haji Wada’), pengakuan menolak rasisme. Yang disampaikan hampir 1400 tahun sebelum Deklarasi HAM PBB pada 10 Desember1948.
Waktu itu di bukit Arafah, tepat pada hari Jumat, 9 Dzulhijjah 10 Hijriah, disaksikan ribuan jamaah haji lainnya, beliau berkata; “Wahai manusia, dengarlah baik-baik. Aku tidak tahu apakah tahun depan aku masih dapat bersama kalian. Simaklah apa yang akan kukatakan dan sampaikanlah kepada mereka yang tidak dapat hadir saat ini…Setiap manusia adalah anak Adam dan Hawa. Orang Arab tidak lebih istimewa dari orang Arab. Demikian pula orang kulit putih tidak lebih istimewa dibanding orang kulit hitam. Dan orang kulit hitam tidak lebih istimewa dibanding orang kulit merah; kecuali karena takwa dan amal salihnya. Ketahuilah bahwa setiap orang Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya. Tidak boleh ia mengambil sesuatu milik saudaranya kecuali dengan izin dan ridhanya. Jangan kalian saling menzalimi. Ingatlah satu hari nanti kalian akan bertemu Allah dan mempertanggungjawabkan semua perbuatan kalian”
“Bukanlah golongan kami orang yang berdakwah pada fanatisme (Ashobiyah), bukanlah golongan kami orang yang berperang pada fanatisme (ashobiyah), dan bukanlah golongan kami orang yang meninggal atas fanatisme (ashobiyah)”. (Abu Daud)
Pemimpin Islam Untuk Kepentingan Penerapan Syariah, Pemimpin Kafir No Way
Menjadikan pemimpin Islam dalam konteks negara, bukan semata-mata karena faktor agama individu yang dianut pemimpin tersebut, namun berkonsekuensi terhadap aspek muamalah dan negara. Politisi Muslim sejatinya harus menjadi negarawan Muslim, yang menerapkan Syariah Islam dalam setiap aspeknya baik individu, masyarakat dan bernegara. Itulah mengapa, pemimpin Kafir atau non muslim dilarang tampil memimpin komunitas muslim. Karena Muslim sendiri sudah memiliki standarisasi penerapan Ideologi yang berdasarkan ajaran Agama, mulai dari urusan pendidikan, kesehatan, perdagangan, sosial, hukum hingga politik. Tak sepatutnya, masyarakat muslim dipimpin oleh pemimpin non muslim atau bahkan muslim sekalipun yang akan menerapkan Ideologi selain Islam seperti Kapitalisme, bahkan Sosialisme. Legalisasi Miras, Prostisusi, perjudian praktek ribawi, dan kedzaliman lain tak kan lagi ada dalam kebijakan Pemimpin Muslim dalam Konstruksi Politik Islam.
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS. A’raf: 96)
Dalam hal ini jelas bahwa persoalan Pemimpin itu harus Muslim sudah jelas, namun penerapan Ideologi Islam itu juga wajib, agar dikotomi Muslim vs Kafir menjadi esensial. Sentimen terhadap pemimpin Kafir semestinya dialamatkan juga kepada pemimpin Muslim yang tak berkomitmen menerapkan Syariah Islam. Karena negeri ini pun telah dipimpin oleh pemimpin Muslim sekian lama, namun tak juga menerapkan Syariah Islam. Dampaknya kian nyata, kerusakan, kemiskinan dan kebodohan menjadi amat nampak. Dan pada akhirnya, masyarakat menjadi jenuh akan kepemimpinan seorang Muslim, dan melirik aliternatif calon pemimpin dari agama lain, yang tentu saja bertentangan dengan ajaran Islam dalam persoalan kepemimpinan. Perjuangan menolak pemimpin Kafir harus sejalan dengan perjuangan menolak Kapitalisme, dan sebaliknya mendukung perjuangan penerapan Syariah dan Khilafah.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu jadikan bapak-bapak dan saudara-saudaramu pemimpin-pemimpinmu, jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan dan siapa yang di antara kamu yang menjadikan mereka pemimpin-pemimpinmu, maka mereka itulah orang-orang yang zalim”. (QS. At Taubah :23) [VM]
Posting Komentar untuk "Bahaya Isu Rasial Akan Menghancurkan Tatanan Negara, Isu Agama?"