Kebijakan Khilafah dalam Urusan Pajak
Oleh: KH Hafidz Abdurrahman
Istilah pajak, dalam fikih Islam, dikenal dengan dharîbah. Al-‘Allamah Syaikh Rawwas Qal’ah Jie menyebutnya dengan, “Apa yang ditetapkan sebagai kewajiban atas harta maupun orang di luar kewajiban syara’.” [Mu’jam Lughat al-Fuqaha’, hal. 256]. Sedangkan al-‘Allamah Syaikh ‘Abdul Qadim Zallum, mendefinisikannya dengan, “harta yang diwajibkan Allah kepada kaum Muslim untuk membiayai kebutuhan dan pos yang diwajibkan kepada mereka dalam kondisi ketika tidak ada harta di Baitul Mal kaum Muslim untuk membiayainya.” [al-Amwal fi Daulati al-Khilafah, hal. 129]
Tidak Tetap
Tidak Tetap
Dalam APBN Khilafah (APBN-K), sumber pendapat tetap negara yang menjadi hak kaum Muslim dan masuk ke Baitul Mal adalah: (1) Fai’ [Anfal, Ghanimah, Khumus]; (2) Jizyah; (3) Kharaj; (4) ‘Usyur; (5) Harta milik umum yang dilindungi negara; (6) Harta haram pejabat dan pegawai negara; (7) Khumus Rikaz dan tambang; (8) Harta orang yang tidak mempunyai ahli waris; (9) Harta orang murtad. Inilah pendapatan tetap negara, ada atau tidaknya kebutuhan.
Berbeda dengan pendapatan tidak tetap. Pendapatan ini bersifat instrumental dan insidental. Bersifat instrumental, karena Islam menetapkan kepada kaum Muslim fardhu kifayah untuk memikul kewajiban pembiayaan, ketika dana tidak ada di Baitul Mal. Karena itu, ini menjadi instrumen untuk memecahkan masalah yang dihadapi negara, yang dibebankan hanya kepada umat Islam. Disebut insidental, karena tidak diambil secara tetap, bergantung kebutuhan yang dibenarkan oleh syara’ untuk mengambilnya.
Syara’ telah menetapkan sejumlah kewajiban dan pos, yang ada atau tidak adanya harta di Baitul Mal tetap harus berjalan. Jika di Baitul Mal ada harta, maka dibiayai oleh Baitul Mal. Jika tidak ada, maka kewajiban tersebut berpindah ke pundak kaum Muslim. Sebab, jika tidak, maka akan menyebabkan terjadinya dharar bagi seluruh kaum Muslim. Dalam rangka menghilangkan dharar di saat Baitul Mal tidak ada dana inilah, maka khilafah boleh menggunakan instrumen pajak. Namun, hanya bersifat insidental, sampai kewajiban dan pos tersebut bisa dibiayai, atau Baitul Mal mempunyai dana untuk mengcovernya.
Yang Wajib Dibiayai
Mengenai kewajiban dan pos yang wajib dibiayai, dengan ada atau tidak adanya dana di Baitul Mal, adalah:
- Biaya jihad: Mulai dari pembentukan pasukan yang kuat, pelatihan hingga pada level tinggi, menyiapkan persenjataan mutakhir, baik dari segi kuantitas maupun kualitas, sampai pada level yang membuat musuh takut, sehingga pasukan tersebut bisa mengalahkan musuh kita, membebaskan wilayah kita, mengenyahkan cengkaraman kaum Kafir penjajah dari negeri kaum Muslim, serta mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia. Dalam hal ini Allah berfirman: “Infiru khifaf[an] wa tsiqal[an]..” [Berangkatlah berperang, baik dengan ringan maupun berat] [TQS at-Taubah: 41]. Nabi SAW dalam kondisi sulit pun tetap memberangkatkan Jaisy Usyrah ke Tabuk. Biayanya ditanggung bersama oleh kaum Muslim.
- Biaya industri perang: Di dalamnya, termasuk industri dan pabrik yang dibutuhkan, agar bisa memproduksi alutsista yang diperlukan. Karena jihad membutuhkan pasukan. Pasukan tidak bisa berperang, jika tidak ada alat utama sistem pertahanan yang canggih dan memadai. Untuk itu, dibutuhkan industri perang. Dalam hal ini, Allah SWT berfirman: “Wa a’iddu lahum mastatha’tum min quwwat[in] wa min ribathi al-khaili turhibuna bihi ‘aduwwa-Llahi wa ‘aduwwakum, wa akharina min dunihim la ta’lamunahum, Allahu ya’lamuhum.” [Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya.] [QS al-Anfal: 60].
- Pengeluaran untuk fakir, miskin dan ibn sabil. Ini termasuk ashnaf zakat, tetapi jika di Baitul Mal, dana dari pos zakat tidak ada, maka kewajiban tersebut wajib dipikul oleh kaum Muslim, melalui instrumen pajak dan bersifat insidental.
- Pengeluaran untuk gaji tentara, pegawai negara, hakim, guru, dan semua pihak yang memberikan khidmat kepada negara untuk mengurus kemaslahatan kaum Muslim. Jika dana di Baitul Mal juga tidak ada, maka kewajiban tersebut berpindah ke pundak kaum Muslim, melalui instrumen pajak ini.
- Biaya pembangunan infrastruktur dan fasilitas umum, seperti jalan raya, sekolah, kampus, rumah sakit, masjid, saluran air, dan sebagainya, jika semuanya ini merupakan sarana dan prasarana utama. Sebab, jika tidak ada, maka akan menyebabkan terjadinya dharar kepada kaum Muslim.
- Biaya penanggulangan bencana alam, kecelakaan dan sejenisnya. Jika di Baitul Mal tidak ada dana, dan kaum Muslim tidak bahu membahu menanggulanginya, maka akan menyebabkan terjadinya dharar. Maka, instrumen pajak bisa digunakan untuk membiayai penanggulangan bencana alam, kecelakaan, dan sebagainya.
Inilah kewajiban dan pos yang wajib dibiayai oleh kaum Muslim, baik ketika ada maupun tidak ada dana di Baitul Mal. Maka, ini merupakan kewajiban dan pos yang bisa dibiayai melalui instrumen pajak, meski bersifat insidental.
Wajib Pajak
Meski beban tersebut menjadi kewajiban kaum Muslim, tetapi tidak semua kaum Muslim menjadi wajib pajak, apalagi non-Muslim. Pajak juga hanya diambil dari kaum Muslim yang mampu. Dari kelebihan, setelah dikurangi kebutuhan pokok dan sekundernya yang proporsional (ma’ruf), sesuai dengan standar hidup mereka di wilayah tersebut. Karena itu, jika ada kaum Muslim yang mempunyai kelebihan, setelah dikurangi kebutuhan pokok dan sekundernya, maka dia menjadi wajib pajak. Pajak juga wajib diambil darinya. Tetapi, jika tidak mempunyai kelebihan, maka dia tidak menjadi wajib pajak, dan pajak tidak akan diambil darinya.
Bagaimana cara menghitungnya? Pertama, pendapatannya harus dikurangi biaya untuk kebutuhan pokok dan sekunder pribadinya. Kedua, setelah itu dikurangi kebutuhan pokok dan sekunder istri dan anaknya. Ketiga, jika mempunyai orang tua, saudara, mahram yang menjadi tanggungannya, maka dikurangi biaya kebutuhan pokok dan sekunder mereka. Setelah dikurangi semuanya tadi masih ada kelebihan, maka dia menjadi wajib pajak, dan pajak pun wajib diambil darinya. Dalam hal ini, Nabi SAW bersabda, “Ibda’ bi nafsika fatashaddaqa ‘alaiha, fa in fudhula syai’[un] fa li ahlika.” (Mulailah dari dirimu, maka biayailah. Jika ada kelebihan, maka itu untuk keluargamu) [HR Muslim dari Jabir]
Karena itu, pajak di dalam Islam bukan untuk menekan pertumbuhan, bukan menghalangi orang kaya, atau menambah pendapatan negara, kecuali diambil semata untuk membiayai kebutuhan yang ditetapkan oleh syara’. Negara khilafah juga tidak akan menetapkan pajak tidak langsung, termasuk pajak pertambahan nilai, pajak barang mewah, pajak hiburan, pajak jual-beli, dan pajak macam-macam yang lain.
Selain itu, khilafah juga tidak akan menetapkan biaya apapun dalam pelayanan publik, seperti biaya kesehatan, pendidikan, dan keamanan. Semuanya diberikan dengan gratis, dan terbaik. Begitu juga negara tidak akan memungut biaya-biaya administrasi, termasuk denda layanan publik, seperti PLN, PDAM, Telkom, dan sebagainya. Termasuk, tidak memungut biaya pembuatan SIM, KTP, KK, surat-menyurat dan sebagainya. Karena semuanya itu sudah menjadi kewajiban negara kepada rakyatnya.
Bandingkan dengan negara “dracula” seperti saat ini, yang menghisap “darah” rakyatnya hingga tetes darah yang terakhir. [VM]
Sumber: Tabloid Mediaumat Edisi 164
Posting Komentar untuk "Kebijakan Khilafah dalam Urusan Pajak"