Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Tulang Tergores Pedang Untuk Gubernur Tukang Gusur


Oleh : Dhana Rosaeri
(Pengamat Politik)

Penggusuran dan konflik agraria di Indonesia telah mencapai eskalasi yang mengkhawatirkan. Tercatat 1.085.817 Kepala Keluarga (KK) telah menjadi korban konflik Agraria sepanjang tahun 2004-2015 dengan luasan 6.942.381 hektar, sebagaimana ulasan dalam catatan akhir tahun Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA). KPA menyajikan data bahwa dalam setahun (2015) telah terjadi konflik agraria sebanyak 252 kali, dengan luas wilayah konflik lebih kurang 400.430 hektar, dan melibatkan 108.714 KK di tahun 2015.

Tahun 2015 area konflik agraria terdiri dari sektor perkebunan seluas 302.526 hektar, sektor kehutanan seluas 52.176 hektar, pertambangan 21.127 hektar, pesisir-kelautan 11.231 hektar, infrastruktur 10.603 hektar, sektor lain-lain seluas 1.827 hektar, dan sektor pertanian 940 hektar.

Laporan dari Komnas HAM RI tahun 2013 menunjukkan bahwa laporan yang masuk lebih pada persoalan konflik agraria dan sumber daya alam. Setiap tahun tak kurang 6000 kasus yang masuk ke Komnas HAM, dan lebih dari separuhnya adalah kasus berbasis tanah dan sumber daya alam (SDA).

Faktanya bahwa, kekayaan alam, aset nasional, dan sumber penghidupan rakyat hanya dimiliki oleh segelintir penguasa modal (baik pribumi maupun asing). Menurut data Badan Pertanahan Nasional (BPN, 2010), kurang lebih 56% aset nasional dikuasai hanya 0,2 persen dari penduduk Indonesia. Bahkan laporan Bank Dunia pada 15 Desember 2015, menyebutkan bahwa sebanyak 74 persen tanah di Indonesia dikuasai oleh 0,2 persen penduduk. Sebagai contoh, perusahaan perkebunan kelapa sawit Sinar Mas memiliki aset tanah seluas 5 juta hektar.

Program pembangunan, kebijakan dan segala peraturan perundang-undangan yang berlaku di negeri ini sulit dikesampingkan dari kepentingan politik ekonomi Kapitalisme Dunia. Konsep Ekonomi yang menganut Trickle Down Effect, semakin menunjukkan bahwa Indonesia menganut sistem Ekonomi Neoliberal dengan meng-Kapitalisasi pengelolaan sebuah area atau wilayah. Kepentingan pengusaha-konglomerat asing/pribumi maupun Trans Nastional Corporation bisa menguasai konsesi pertambangan, kelautan, kepulauan (pulau kecil), pesisir pantai, dan area strategis ekonomis yang lain. Mereka bisa menyingkirkan atau menggusur penduduk setempat dengan berbagai cara demi kepentingan korporasi mereka tanpa memperhatikan aspek kemanusiaan, hak asasi rakyat untuk mendapatkan sandang, pangan dan papan yang layak.

Penggusuran Tak Boleh Semena-Mena

Penggusuran boleh dilakukan dengan tujuan dan kepentingan publik yang lebih luas, dan jika tak ada alternatif pilihan lokasi yang lebih baik. Korban penggusuran pun harus mendapat kompensasi dan perhatian yang serius dari Pemerintah agar tak lagi terlantar dan tertindas, serta mendapat tempat pengganti yang sepadan. Pelajaran penting dari kepemimpinan Islam di masa Khilafah terjadi pada masa Khalifah Umar bin al Khattab, dan kisah ini terjadi di wilayah Mesir yang dipimpin oleh Gubernur Amr bin Ash.

Sejak menjabat gubernur, Amr bin Ash tidak lagi pergi ke medan tempur. Dia lebih sering tinggal di istana. Di depan istananya yang mewah itu ada sebidang tanah yang luas dan sebuah gubuk reyot milik seorang Yahudi tua.

“Alangkah indahnya bila di atas tanah itu berdiri sebuah mesjid,” gumam sang gubernur.

Singkat kata, Yahudi tua itu pun dipanggil menghadap sang gubernur untuk bernegosiasi. Amr bin Ash sangat kesal karena si kakek itu menolak untuk menjual tanah dan gubuknya meskipun telah ditawar lima belas kali lipat dari harga pasaran.

“Baiklah bila itu keputusanmu. Saya harap Anda tidak menyesal!” ancam sang gubernur.

Sepeninggal Yahudi tua itu, Amr bin Ash memerintahkan bawahannya untuk menyiapkan surat pembongkaran. Sementara si kakek tidak bisa berbuat apa-apa selain menangis. Dalam keputusannya terbetiklah niat untuk mengadukan kesewenang- wenangan gubernur Mesir itu pada Khalifah Umar bin Khattab.

“Ada perlu apa kakek, jauh-jauh dari Mesir datang ke sini?” tanya Umar bin Khattab. Setelah mengatur detak jantungnya karena berhadapan dengan seorang khalifah yang tinggi besar dan full wibawa, si kakek itu mengadukan kasusnya. Padahal penampilan khalifah Umar amat sederhana untuk ukuran pemimpin yang memiliki kekuasaan begitu luas. Dia ceritakan pula bagaimana perjuangannya untuk memiliki rumah itu.

 Merah padam wajah Umar begitu mendengar penuturan orang tua itu.

“Masya Allah, kurang ajar sekali Amr!” kecam Umar.

“Sungguh Tuan, saya tidak mengada-ada,” si kakek itu semakin gemetar dan kebingungan. Dan ia semakin bingung ketika Umar memintanya mengambil sepotong tulang, lalu menggores tulang itu dengan pedangnya.

“Berikan tulang ini pada gubernurku, saudara Amr bin Ash di Mesir,” kata sang Khalifah, Al Faruq, Umar bin Khattab.

Si Yahudi itu semakin kebingungan, “Tuan, apakah Tuan tidak sedang mempermainkan saya!” ujar Yahudi itu pelan.

Dia cemas dan mulai berpikir yang tidak-tidak. Jangan-jangan Khalifah dan Gubernur setali tiga uang, pikirnya. Di manapun, mereka yang mayoritas dan memegang kendali pasti akan menindas kelompok minoritas, begitu pikir si kakek. Bisa jadi dirinya malah akan ditangkap dan dituduh subversif.

Yahudi itu semakin tidak mengerti ketika bertemu kembali dengan Gubernur Amr bin Ash. “Bongkar masjid itu!” teriak Amr bin Ash gemetar. Wajahnya pucat dilanda ketakutan yang amat sangat. Yahudi itu berlari keluar menuju gubuk reyotnya untuk membuktikan kesungguhan perintah gubernur. Benar saja, sejumlah orang sudah bersiap-siap menghancurkan masjid megah yang sudah hampir jadi itu.

“Tunggu!” teriak sang kakek.

“Ada perlu apalagi, Tuan?” tanya Amr bin Ash yang berubah sikap menjadi lembut dan penuh hormat. Dengan masih terengah-engah, Yahudi itu berkata, “Maaf, Tuan. Jangan dibongkar dulu masjid itu. Izinkanlah saya menanyakan perkara pelik yang mengusik rasa penasaran saya.”

“Perkara yang mana?” tanya gubernur tidak mengerti.

“Apa sebabnya Tuan begitu ketakutan dan menyuruh untuk merobohkan masjid yang dibangun dengan biaya raksasa, hanya lantaran menerima sepotong tulang dari Khalifah Umar?”

Gubernur Amr bin Ash berkata pelan,”Wahai Kakek Yahudi. Ketahuilah, tulang itu adalah tulang biasa, malah baunya busuk. Tetapi karena dikirimkan Khalifah, tulang itu menjadi peringatan yang amat tajam dan tegas dengan dituliskannya huruf alif yang dipalang di tengah-tengahnya.”

“Maksudnya?” tanya si kakek makin keheranan.

“Tulang itu berisi ancaman Khalifah: Amr bin Ash, ingatlah kamu. Siapapun engkau sekarang, betapapun tingginya pangkat dan kekuasaanmu, suatu saat nanti kamu pasti akan berubah menjadi tulang yang busuk. Karena itu, bertindak adillah kamu seperti huruf alif yang lurus, adil di atas dan di bawah, Sebab, jika engkau tidak bertindak lurus, kupalang di tengah-tengahmu, kutebas batang lehermu.”

Benar sekali, Islam harus membawa keadilan bagi siapapun tanpa kecuali, terhadap etnis dan agama apapun. Allah berfirman dalam Al Qur’an : “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al Maidah : 8). Itulah wujud nyata Islam rahmatan lil alamin.

Penggusuran Paksa Yang Dibolehkan

Transaksi ekonomi antara Pemerintah dan pemilik tanah/rakyat harus saling ridho. Mereka harus bersepakat dalam harga (price) aset tanah yang akan digusur. Namun, secara sosiologi, terkadang rakyat yang akan digusur akan mempertahankan asetnya dengan berbagai alasan, baik waris, historis, mata pencaharian, dsb. Dalam keadaan tertentu, jual beli yang tidak sah akan mungkin terjadi dan bisa menjadi dibolehkan, namun dengan syarat sbb:

Seperti hakim yang menjual paksa sisa harta orang yang jatuh pailit untuk menutupi hutangnya atau ia menjual barang agunan untuk menutupi hutang pemilik barang yang telah jatuh tempo.

Juga boleh, jika orang dipaksa oleh pemerintah menjual tanah atau rumahnya karena terkena proyek pembuatan jalan raya atau perluasan fasilitas umum, seperti masjid, hospital, taman kota, stasiun, terminal bis dll. (Lihat: Naz’ul milkiyyah al khassah, Fahd al umary)

Hal ini didasarkam atas kebijakan Umar Bin Khattab yang menggusur rumah-rumah yang berada disekitar Masjidil Haram dan memberikan ganti rugi. Namun pada saat itu ada beberapa orang menolak penggusuran, maka umar menggusur paksa serta meletakkan uang ganti rugi di dalam Ka’bah (Atsar ini diriwayatkan oleh Al Baihaqi)

Ustman Bin Affan juga mengikuti langkah umar r.a ini. seperti yang diriwayatkan oleh Azraqy dalam bukunya Akbar Makkah:

Dimasa Khalifah Ustman bin Affan, jumlah kaum muslimin yang berziarah ke Mekkah terus bertambah, maka beliau memperluas masjidil haram. Beliau membeli rumah-rumah disekitarnya.
Sebagian orang enggan menjualnya, lalu Khalifah Ustman membongkar paksa rumah mereka. Namun para pemilik rumah menghalanginya.

Maka Utsman memanggil mereka seraya berkata,”Kalian berani menghadang kebijakanku karena kalian tahu akan kesantunanku. Padahal dahulu Umar membongkar rumah disekitar Masjidil Haram dan tidak seorangpun yang menghalanginya.” Lalu Utsman memenjarakan mereka selama beberapa hari. (lihat : Akbar Makkah, Azraqy). Kebijakan kedua orang khalifah ini tidak ditentang para sahabat, dengan demikian ini bisa dianggap sebagai Ijma’.

Hal ini juga didukung oleh Majma’ Al Fiqh Al Islami (Divisi Fikih OKI) dengan nomor keputusan 29, 4/4 tahun 1988, dengan menambahkan beberapa persyaratan. Bunyi keputusan tsb:

Setelah menelaah penelitian-penelitian yang diajukan oleh para pakar fikih tentang hukum penggusuran secara paksa demi kepentingan umum yang membolehkan hal tersebut berdasarkan dalil dari hadis dan perbuatan para sahabat (Umar dan Utsman) serta kebijakan pemimpin selanjutnya, maka diputuskan :

Tidak boleh melakukan penggusuran paksa untuk kepentingan umum kecuai dengan memperhatikan hal-hal berikut:
  1. Pemilik tanah dan rumah yang digusur paksa harus mendapatkan ganti rugi yang adil, ditentukan oleh pihak ketiga yang berpengalaman, dan harganya tidak boleh dibawah harga pasar serta dibayar sesegera mungkin.
  2. Pihak yang menggusur hanyalah pemerintah setempat atau instansi yang ditunjuk oleh pemerintah.
  3. Tujuan penggusuran untuk kepentingan umum yang sifatnya menyangkut kebutuhan mendesak untuk orang banyak. Seperti masjid, jalan dan jembatan.
  4. Tujuan penggusuran bukan untuk investasi pemerintah atau pribadi/swasta

Jika salah satu persyaratan diatas dilanggar maka status penggusurannya termasuk kezaliman dan merampas hak rakyat yang dilarang Allah dan RasulNya.

Dari Rakyat, Mandat Rakyat, Gusur Rakyat

Dalam Demokrasi, segala peraturan perundang-undangan akan dilegislasi seusai dengan kepentingan wakil rakyat. Sayangnya, independensi wakil rakyat tidaklah murni atas kepentingan rakyat, apalagi mewakili kepentingan agama. Kepentingan para pemodal atau Kapitalis raksasa yang selalu mewarnai terbentuknya Undang-Undang ini. Berawal dari Konsepsi Ekonomi Kapitalisme itulah, maka rakyat kecil selalu dijadikan korban. Undang-undang dimaksud diantaranya UU No 41/1999 tentang Kehutanan, UU No 18/2003 tentang Perkebunan, Undang-Undang No 7/2004 Sumber Daya Air, UU No 4/2009 tentang Mineral dan Batubara, UU No 25/2007 tentang Penanaman Modal, UU Holtikultura, UU Lahan Abadi Pertanian, UU Migas, dan UU Pengadaan Tanah yang baru disahkan pada Desember 2011.

Tak ayal, atas nama amanat Undang-Undang, maka penguasaan Konglomerasi atas aset publik (kepemilikan umum) menjadi semakin luas aksesnya. Dan sayangnya, rakyat lah yang memilih para wakilnya untuk melegislasi Undang-Undang itu semua. Kesadaran politik rakyat atas politik Demokrasi yang menipu dan memanfaatkan rakyat sebagai konstituen, tentu harus terus dibangun. Bahwa Politik Ekonomi Islam lah yang menjamin rakyat atas akses kepemilikan individu terhadap tanah (papan), dan mendapatkan manfaat atas pengelolaan Kepemilikan Umum oleh negara, bukan Konglomerat atau Korporasi. [VM]

Posting Komentar untuk "Tulang Tergores Pedang Untuk Gubernur Tukang Gusur"

close