Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Atas Nama Demokrasi?


Oleh : Mahfud Abdullah 
(Syabab HTI Kota Kediri)

Jika sejumlah pemimpin Barat telah memuji Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar di dunia Muslim dan contoh bagaimana Islam dan demokrasi dapat dikombinasikan dengan baik, maka itu adalah kebohongan pemerintah Barat tentang demokrasi harus dibedakan dari realitas nyatanya. Pujian terhadap demokratisasi Indonesia jelas hanya propaganda ambisius dari agenda kapitalistik-sekuler mereka. Topeng manis demokrasi yang menutupi Indonesia tidak bisa menghapuskan ataupun menyembunyikan belenggu kemiskinan yang menimpa perempuan Indonesia. Wajah sebenarnya dari demokrasi adalah sistem gagal yang tidak mampu untuk memelihara urusan umat manusia secara efektif.

jika para politisi negeri ini, menginginkan demokrasi seperti yang ada saat ini, mereka seharusnya tidak hanya melihat politik yang jelas-jelas korup seperti di Indonesia, Rusia, India, Afganistan, Pakistan dan Irak. Mereka juga harus melihat praktik-praktik tersembunyi dan yang terwujud dari negara-negara kampiun demokrasi saat ini, seperti Inggris dan Amerika. Pasalnya, sebagaimana yang dikatakan Mark Twain, “Hanya pemerintah yang kaya dan aman yang mampu menjadi negara demokrasi karena demokrasi adalah jenis pemerintahan yang paling mahal dan paling jahat yang pernah terdengar di permukaan bumi”. 

Melihat fenomena hari ini, cara pemerintah dalam mengurusi rakyatnya jauh dari amanat undang undang yang katanya di junjung tinggi. Setiap prilaku masyarakat yang tidak sesuai undang undang di nilai sebagi tindakan inkonstitusional, melanggar undang undang,menyimpang..dan lain lain. 

Tapi sebaliknya pemerintah sendiri abai terhadap apa yang di namakan undang undang.Undang undang di buat untuk memenuhi pesanan,untuk memenuhi nafsu keserakahan,undang undang di buat untuk penindasan atas nama sebuah "legalisasi",seaolah olah perbuatan apapun di bolehkan yang penting atas nama undang undang. Tidak heran jika undang undang bisa pesan sesuai ke inginan" si tuan kapitalis", lalu tiba-tiba sepaket Undang-Undang pro kapitalis di terap paksakan, dan kita rasakan episode selanjutnya. Kita jadi korban. 

Lalu, fenomena mahar politik yang merupakan bagian dari politik uang (money politics) dalam sistem demokrasi merupakan persoalan sistemik yang sulit diselesaikan. “Pasalnya, sistem demokrasi yang berlaku di negeri ini berbasis sekuler dan berdasarkan suara terbanyak. Sehingga baik buruk akan mendapatkan legitimasi asal memperoleh dukungan paling banyak. jika seorang caleg yang bermodal gagasan saja tanpa di topang modal kuat akan keok. Ini bisa dipahami karena logika pesta demokrasi saat ini adalah logika suara dan kekuatan modal. Yang berkantong tebal sajalah yang akan menang.

Mungkinkah para penguasa itu totalitas melayani rakyat? Jika uang menjadi panglima. Sedangkan konsep atau ide akhirnya menjadi lips service pemanis kampanye semata. Demokrasi membonsai gagasan tapi menyuburkan politik uang. Inilah buruknya demokrasi. Jikalau ada gagasan/konsep maka itu semua adalah janji palsu. Buktinya, setelah pemilu, antara yang dilakukan dengan yang diucapkan saat kampanye seperti air dengan minyak. Tidak pernah sama. Dan itu terjadi berulang setiap pemilu.

Rejim demokrasi di negeri ini mencoba menenangkan masyarakat dengan membuat mereka resah dan menyampaikan retorika kosong yang penuh putus asa atas ketidakmampuan mereka untuk menjawab tantangan intelektual Hizbut Tahrir atas dogma modern anda seperti sekularisme, demokrasi, kapitalisme dan “nilai-nilai kebebasan” Barat. 

Walhasil, demokrasi sebagai bentuk pemerintahan yang di dalamnya banyak keputusan pemerintah atau di belakang kebijakan yang menimbulkan keputusan itu lahir dari suara terbanyak yakni dari mayoritas di pemerintahan atau di belakang kebijakan yang menimbulkan keputusan itu lahir dari suara terbanyak, yakni dari mayoritas di pemerintahan (consent of a majority of adult governed). Tataran Realitas, demokrasi dikendalikan oleh sinergi kepentingan para kapitalis dan penguasa yang memonopoli kebijakan, bukan untuk rakyat. Kembalilah ke hukum-hukum Al Qur’an dan as sunnah. [VM]

Posting Komentar untuk "Atas Nama Demokrasi?"

close