Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Dalam Jerat Narkoba


Oleh : Lilis Holisah, S.Pd.I 
(DPD I Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia Provinsi Banten)

Fenomena artis tersandung narkoba bukan hal baru. Sudah dimaklumi khalayak, dunia artis sangat dekat dengan dunia gemerlap, termasuk dalam obat-obatan. Pada Minggu (28/8/2016) pukul 23.00 WIB polisi menangkap Ketua Umum Persatuan Artis Film Indonesia (Parfi), Aa Gatot Brajamusti, beserta Dewi Aminah –Isteri Gatot- saat pesta sabu-sabu di hotel di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB). Selain Gatot dan interinya, polisi juga mengamankan penyanyi yang juga sekaligus murid Gatot, Reza Artamevia karena berada di hotel yang sama. Dan setelah dilakukan pemeriksaan, ternyata Reza positif memakai narkoba. Meski sempat dinyatakan negatif pada pemeriksaan ulang di Jakarta, namun pada pemeriksaan ketiga di Bali, Reza akhirnya dinyatakan positif menggunakan narkoba.

Polisi menggeledah kediaman Gatot di Pondok Pinang, Kebayoran Lama Jakarta Selatan setelah penangkapan terhadap Gatot. Kadiv Humas Polri, Irjen Boy Rafli Amar mengatakan Tim Satgasus Merah Putih di bawah pimpinan AKBP Hengky Haryadi dan AKBP Heri Herryawan bersama 20 orang anggota melakukann pengeledahan terhadap rumah tersangka dan menemukan barang bukti penyalahgunaan psikotropika jenis sabu. Ada 30 jarum suntik, sembilan buah bong sebagai alat hisap sabu, tujuh buah cangklong sebagai alat hisap sabu, 39 buah korek dan satu bungkus pisikotropika jenis sabu yang diperkirakan berat 10 gram. 

Demikianlah, sebelum Reza Artamevia, sederetan artis lain juga pernah terjerat narkoba. Roger Danuarta, Raffi Ahmad, Anwar Fuady, Ria Irawan, Roy Marten, Sheila Marcia, Jennifer Dunn, Achmad Albar, Sammy Kerispatih, Yoyo Padi, Iyut Bing Slamet, Fariz RM, Gary Iskak, Revaldo, Andika Kangen Band, Doyok, adalah deretan artis yang pernah tertangkap dan mendekam di penjara. Sementara sangat besar kemungkinan, artis-artis lainnya juga menjadi pengguna, hanya saja belum terbukti.

Narkoba bukan hanya dekat dengan kalangan artis namun juga merambah ke semua kalangan. Tak bisa dipungkiri jika ada yang mengatakan bahwa Indonesia darurat narkoba. Bahkan pejabat yang seharusnya menjadi teladan bagi rakyat pun menjadi budak narkoba. Bupati Ogan Ilir Ahmad Wazir Nofiadi (AWN) ditangkap karena kasus narkoba Maret 2016 lalu. 

Sungguh mengerikan, artis yang dalam keseharian nampak sehat dan selalu ceria ternyata adalah pecandu narkoba. Padahal kehidupan artis banyak disorot media. Yang artinya, ketika kehidupan artis disorot ke ruang publik, pada saat itu juga sesungguhnya telah terjadi pengarusopinian gaya hidup bebas. Bebas melakukan apa saja asal tidak merugikan orang lain, tidak mengganggu orang lain. Padahal senyatanya dengan publikasi terus menerus yang dilakukan media, sesungguhnya telah terjadi serangan opini yang begitu dahsyat. Alih-alih ingin memberantas narkoba, yang terjadi justru menumbuhkan sel-sel pecandu baru, karena melihat gaya hidup artis idolanya. Bisa jadi fans artis tersebut penasaran sehingga mencoba-coba. Terlebih ketika ada kesempatan. Dan kesempatan untuk mencicipi narkoba terbuka luas. 

Pemberantasan Narkoba di Indonesia saat ini laksana menegakkan ‘benang basah’, sangat sulit sekali. Karena, ketika ditemukan kasus kakap peredaran dan jaringan narkoba, tidak lama berselang ditemukan lagi peredaran dan jaringan narkoba yang lebih besar lagi. Dan anehnya, itu bukan dilakukan oleh orang yang sama; seolah-olah aparat penegak hukum berkejar-kejaran dengan jaringan narkoba yang berbentuk ‘sel-sel’ yang senantiasa tumbuh kembali dan cepat berkembang. Tidak ada matinya.

Namun, di sisi lain, hingga saat ini, sanksi yang diberikan kepada pengedar dan pemakai narkoba masih terbilang ringan; belum sampai memberikan hukuman yang menimbulkan efek jera. Bahkan hampir sebagian besar nama yang pernah dipenjara karena kasus narkoba secara berulang keluar masuk penjara dengan kasus serupa. Kalaupun dihukum dan dimasukkan ke dalam penjara, selepas dari penjara bukannya insyaf, tetapi justru ‘naik statusnya’. Yang dulunya pengguna menjadi pengedar kelas teri. Yang dulunya pengedar kelas teri menjadi pengedar kelas kakap. Demikian seterusnya. 

Terlebih lagi, sebagaimana yang diungkapkan BNN, pengguna yang melaporkan diri ke BNN untuk direhabilitasi tidak akan terkena jerat hukum karena dilindungi Undang-Undang. Terlihat ketidak totalan dalam pemberantasan narkoba. Solusi yang ditawarkan adalah upaya rehabilitasi pecandu, karena para pecandu hanya dianggap sebagai korban, bukan penjahat. Artinya bahwa, kemungkinan pecandu bisa naik tingkat menjadi pengedar sangat besar, karena pecandu hanya dijadikan sebagai korban, yang hanya perlu direhabilitasi, tidak diberikan hukuman yang membuat efek jera. Inilah salah satu yang membuat persoalan narkoba tidak pernah selesai. 

Sangat bisa dipahami kenapa hukuman yang diterapkan kepada para penjahat narkoba tidak menimbulkan efek jera atau sangat ringan. Karena aturan yang diterapkan di negeri ini adalah lahir dari kecerdasan akal manusia yang sangat terbatas, yang sangat lemah untuk memahami perkara yang terbaik bagi kehidupannya. Aturan yang diterapkan di negeri ini adalah aturan yang dibuat oleh manusia, yang sangat boleh jadi di dalamnya terdapat tarik ulur kepentingan, penuh dengan lobi-lobi dari para pemilik kepentingan tersebut. Maka, alhasil persoalan narkoba sepertinya akan menjadi persoalan yang akan terus membelit negeri ini, jika aturannya masih sama.

Demokrasi adalah sistem yang diterapkan di negeri ini. Dimana demokrasi menjamin kebebasan individu. Individu bebas menentukan kesukaannya sendiri tanpa memperhitungkan halal haram. 

Indonesia sebagai negeri muslim terbesar di dunia semestinya tidak lagi mengandalkan sebuah sistem rusak dan merusak buatan manusia, seperti halnya demokrasi. Sebagai negeri muslim, Indonesia semestinya menyandarkan kehidupan berbangsa dan bernegara hanya kepada Pencipta saja. Menyerahkan kehidupan diatur hanya dengan aturan yang datang dari Pencipta yang mengetahui kelemahan, kekurangan dan keterbatasan manusia. Karena menyandarkan kepada demokrasi bukan hanya telah nyata kerusakannya, namun juga demokrasi bertentangan dengan Islam dalam segala hal hingga dalam masalah aqidah, karena demokrasi dibangun diatas asas atau aqidah sekulerisme yang bertentangan dengan aqidah Islam.

Aqidah demokrasi adalah sekulerisme, sebuah paham yang memisahkan agama dari negara, yang artinya memisahkan aturan Syariat Islam dari pengaturan urusan masyarakat. Kehidupan berbangsa dan bernegara dalam demokrasi harus steril dari aturan Pencipta. Manusia dijadikan ‘Tuhan’ mengalahkan Tuhan Pencipta alam semesta, manusia dan kehidupan yaitu Allah SWT.

Urusan masyarakat dalam sistem demokrasi diatur dengan hukum dan perundang-undangan yang dibuat oleh manusia dengan mengikuti kecenderungan hawa nafsu. Seharusnya sebagai muslim, kita tak memerlukan demokrasi karena aturan Allah telah ada sejak dahulu kala yang telah Allah turunkan untuk mengatur kehidupan umat manusia seluruhnya, bukan hanya muslim. Dan kita tak perlu membela demokrasi yang rusak dan merusak, yang telah nyata pertentangannya dengan Islam. Maka seharusnya kita campakkan demokrasi, dan menggantinya dengan sebuah sistem terbaik yang datangnya dari Allah SWT yaitu sistem Islam.

Maka, tugas umat Islam adalah bersegera meruntuhkan bangunan sistem demokrasi dan menggantinya dengan sistem Islam. Sistem Islam yang diterapkan dalam sebuah negara yang disebut dengan negara Khilafah akan menjaga akal umat manusia dengan adanya keharaman konsumsi narkoba, peredaran narkoba, pembuatan narkoba. Selain itu negara Khilafah akan memberikan sanksi yang tegas kepada siapa saja yang melanggar aturan. [VM]

Posting Komentar untuk "Dalam Jerat Narkoba"

close