Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Posisi Umat Islam dalam Demokrasi


Oleh : Hanif Kristianto 
(Analis Politik dan Media)

Kondisi umat Islam saat ini di persimpangan jalan dalam menentukan sikap politik. Hal ini dikarenakan umat tidak memiliki gambaran sahih pada politik Islam. Kajian-kajian politik Islam masih dalam romantisme sejarah. Belum mampu dikaitkan dengan fakta kekinian. Ujungnya, umat Islam merasa mundur kena, maju kena.

Upaya penyaluran aspirasi politik umat Islam dalam sistem politik demokrasi diberikan kebebasan untuk mendirikan partai politik. Selain itu umat Islam diberikan jalan menuju parlemen dan menduduki kursi kekuasaan. Bisa berupa menjadi kepala daerah atau mentri dalam kabinet. Sayangnya, platform partai dalam perjuangan belum mampu mewujudkan syariah Islam diterapkan dalam kehidupan. Masih sebatas seruan-seruan moral untuk berpolitik secara santun dan berakhlak mulia dengan mengambil nilai-nilai Islam. Mampukah seruan moral itu terwujud dalam demokrasi?

Memahami Karakter Demokrasi

Demokrasi begitu masyhur di kalangan umat manusia pasca kediktatoran dan authoritarian suatu rezim dan usainya perang dunia kedua. Negeri-negeri umat Islam, termasuk Indonesia, pasca berlepas dari penjajah mendeklarasikan diri sebagai negara Republik. Sesungguhnya pengaruh global demokrasi dengan menggusur paham-paham lainnya, dicanangkan oleh Presiden AS Walter W. Bush (1990) dan Bill Clinton (1992) dalam pidato kampanyenya bahwa “the promotion of democracy would be top priority.” Kedua presiden AS ini menkankan kebijakan luar negerinya untuk menegakkan demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Lingkungan. Kebijakan ini disebut “3 in 1”.

Dalam pandangan Barat, demokrasi adalah suatu sistem politik yang ditandai bukan hanya pemilihan yang bebas dan jujur, tetapi juga pemisahan kekuasaan (eksekutif, legislatif, dan yudikatif), dan penyelenggaraan kekuasaan yang diatur oleh hukum, melindungi kemerdekaan berbicara, berkumpul, beragama, dan hak-hak pribadi seseorang (Hutington, 2004).

Demikian juga halnya Indonesia, sejak 1945 telah banyak melakukan praktik-praktik kenegaraan dengan berbagai macam label demokrasi. Mulai demokrasi parlementer, demokrasi liberal, demokrasi terpimpin, sampai demokrasi Pancasila, sekalipun dalam pelaksaannya kadang cenderung authoritarian, militerisme, dan liberalisme. Sesungguhnya, penerapan demokrasi di Indonesia tidak luput dari asistensi negara asalnya, yaitu Amerika Serikat.

Buktinya, puja-pujian kepada Indonesia sering dialamatkan dengan sebutan Negeri Muslim terbesar ketiga yang mampu menyandigkan ‘ISLAM DAN DEMOKRASI’. Ungkapan itu sebenarnya racun, namun ditelan mentah-mentah oleh penguasa negeri ini. Praktinya pun yang lebih diunggulkan adalah demokrasi dibandingkan Islam. Dampaknya intelektual muslim belum mampu memisahkan Islam dengan demokrasi secara jelas.

Masalah hubungan Islam dengan demokrasi oleh bebarapa intelktual muslim, dibahas dalam dua pendekatan normatif dan empiris. Pada tataran normatif, mereka mempersoalkan nilai-nilai demokrasi dari sudut pandang ajaran Islam. sementara pada tataran empiris, mereka menganalisis implementasi demokrasi dalam praktik politik dan ketatanegaraan. Belum sepenuhnya intelektual muslim menolak total demokrasi.

Beberapa alasan yang sering dikemukakan yaitu konsep syura yang lebih dekat dengan demokrasi. Ada juga yang mengkritik demokrasi pada normatif karena dipakai sebagai alat imprealisme dan kapitalisme untuk menjajah, namun masih menyeru untuk mengambilnya. Di sisi lain, berangkat dari dasar demokrasi yang bebas, islam disandingkan dengan demokrasi karena musyawarah, keadilan, persamaan, tanggung jawab pemerintah, dan kebebasan. Kondisi ini tidak saja terjadi di Indonesia, namun juga di banyak negeri kaum muslim. Pada akhirnya, mereka gagal membuka TOPENG DEMOKRASI.

Barat paham, umat Islam akan menolak mentah-mentah jika mendefiniskan DEMOKRASI SEBAGAI KEDAULATAN DALAM MEMBUAT HUKUM BERADA DI TANGAN MANUSIA. Bisa dipastikan manusia ketika membuat aturan berdasarkan selera, akan menindas dan jauh dari agama. Umat Islam sejatinya sudah memiliki panduan hukum yang lengkap dari Allah Swt. Baik-buruk dan halal-haram bersandarkan pada syara’ (hukum Allah). Oleh karenanya, BARAT mempromosikan demokrasi sebagai sistem pergantian kekuasaan dan pemilihan pemimpin. Gagasan demokratisasi akhirnya diterima begitu saja tanpa menilik dasar dan sumber demokrasi. Umat Islam pun gagal faham.

Kondisi seperti itu dapat disaksikan pada perhelatan Pilkada DKI Jakarta. Kehadiran Ahok yang garang dijadikan pemicu untuk memunculkan Gubernur Muslim. Penolakan Ahok di mana-mana dengan tagline Tolak Ahok Pemimpin Kafir dan Dzalim. Ketika Ahok berhasil maju melalui PDI-P, kelompok Islam Politik beralih dukungan kepada pasangan lain. Polarisasi dukung-mendukung tak terelakkan lagi. Kondisi seperti ini harus bisa dimaknai bahwa umat Islam berhasil dijebak dan dikandangkan oleh demokrasi. Seharusnya umat Islam secara tegas MENOLAK DEMOKRASI dan MENOLAK PEMIMPIN KAFIR.

Secerca Asa

Pilkada DKI Jakarta dengan pemain utama Ahok bisa dijadikan untuk membuka kotak pandora demokrasi. Apa sejatinya demokrasi dan siapa di balik dari kekacauan politik di negeri mayoritas muslim ini. Benar bahwa kekuasaan merupakan sarana untuk mengatur urusan rakyat. Karena itu, umat Islam yang sadar untuk menolak Pemimpin Kafir dan Dzalim harus terus melakukan penyadaran bahwa demokrasi menjadi jalan bagi kaum kafir untuk menguasai umat Islam. Ini konsekuensi logis ketika umat jauh dari politik Islam. Mereka menabuh genderang yang akhirnya umat Islam mengikutinya tanpa kesadaran politik dan ideologis.

Tugas elemen umat Islam belum usai. Perlu upaya sinergis dan solid untuk menguatkan eksistensi jati diri umat Islam dengan politiknya. Sekali-kali orang-orang kafir itu tidak akan pernah bisa menguasai umat Islam. Hal penting saat ini adalah membongkar semua konspirasi jahat di balik agenda global demokratisasi dan kapitalisasi di negeri kaum muslim. Memang selalu ada batu penghalang baik dari kalangan umat Islam yang berteman dengan orang kafir, atau bahkan mereka sendiri yang berhadapan langsung dengan umat Islam. inilah saatnya umat Islam mampu membuat garis tegas antara yang haq (Islam) dan yang batil (demokrasi). Begitu pula, dalam Islam jelas, seorang pemimpin dipilih untuk menjalankan syariah islam dalam kehidupannya. Bukan malah mengambil demokrasi sebagai sistemnya. Gelombang seruan #TolakPemimpinKafir #TolakDemokrasi #KembalikePolitikIslam harus terus diwacanakan untuk membentuk opini umum dan kesadaran umat! Posisi Umat Islam dalam demokrasi akan senantiasa terhina. Sebaliknya umat akan mulia tatkala bersanding dalam syariah. [VM]

Posting Komentar untuk "Posisi Umat Islam dalam Demokrasi"

close