Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Ganyang Korupsi Seakar-Akarnya


Oleh : Zakariya 
(LS DPD HTI Jombang)

Membahas tentang korupsi seolah tak pernah akan ada habisnya. Persoalan ini telah menjadi penyakit kronis di negeri ini. "Pemberantasan korupsi hampir berjalan di tempat," kata Wakil Ketua MPR Mahyudin saat menjadi pembicara dalam sosialisasi Empat Pilar MPR dalam rangka memperingati hari anti korupsi sedunia dengan tema "Komitmen Pemimpin dalam Pemberantasan Korupsi" di Aula Kantor Walikota Balikpapan, Kalimantan Timur, Senin malam (21/11/2016). Sosialisasi ini merupakan kerjasama MPR dengan Forum Masyarakat Anti Korupsi (Formak) Kaltim. (liputan6.com 22/11/2016).

Realita yang terjadi menunjukkan bahwa tindakan korupsi di negeri ini begitu besar. Berdasarkan penanganan korupsi oleh aparat penegak hukum, ICW mencatat Kejaksaan menangani sebanyak 369 atau 67,4 persen kasus korupsi dengan total nilai kerugian Rp1,2 triliun, Kepolisian menangani 151 kasus atau 27 persen dengan nilai kerugian negara Rp1,1 triliun serta KPK menangani sebanyak 30 atau sekitar lima persen kasus dengan nilai kerugian negara Rp722,6 miliar. (antaranews.com 24/2/2016).

Bahkan Wakil Direktur Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri Kombes Pol Erwanto Kurniadi menyanggah data yang dipaparkan ICW dan menyebutkan jumlah kasus korupsi yang ditangani Polri lebih banyak dari data tersebut. "Sepanjang 2015 sebanyak 927 perkara sudah masuk ke P21, dengan kerugian negara lebih dari Rp437 miliar," kata dia. (antaranews.com 24/2/2016). Sungguh suatu fakta yang mencengangkan.

Mahalnya Demokrasi Melahirkan para Koruptor

Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI) mengungkapkan bahwa seorang calon anggota legislatif DPR wajarnya mengeluarkan rata-rata dana sebesar Rp1,18 miliar. Uang sebanyak itu terhitung cukup bagi peserta pemilu untuk mendapatkan kursi legislatif. Dalam rinciannya, LPEM menyebutkan bahwa rentang biaya calon legislatif kurang dari Rp787 juta terhitung sedikit, Rp787 juta – Rp1,18 miliar optimal, Rp1,18 miliar – Rp4,6 miliar wajar, Rp4,6 miliar – Rp9,3 miliar tidak wajar, dan lebih dari Rp9,3 miliar tidak wajar. Sementara untuk calon legislatif DPRD dengan dana kurang dari Rp320 juta terbilang kurang, Rp320 juta – Rp481 juta optimal, Rp481 juta – Rp1,55 miliar wajar, Rp1,55 miliar – Rp3 miliar tidak wajar, dan lebih dari Rp3 miliar terhitung tidak wajar. Hasil penelitian LPEM terkait dana kewajaran kampanye merujuk pada pendapatan yang akan diperoleh anggota DPR selama lima tahun, yaitu Rp5,3 miliar – Rp5,4 miliar. Sedangkan pendapatan seorang anggota DPRD provinsi sebesar Rp1,6 miliar – Rp1,8 miliar. (selasar.com 21/3/2014).

"Kalau dua partai dukung kamu, semua minta digerakkan mesin partainya, bisa-bisa Rp 100 miliar enggak cukup lho mencalonkan jadi gubernur DKI," kata Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok di Balai Kota, Jakarta, Kamis (10/3/2016). (tribunnews.com 11/3/2016).

Lalu berapa kisaran gaji yang diterima sebagai gubernur?. Seperti dilansir situs resmi milik Ahok yang beralamat di ahok.org, Senin (16/3/2015), Ahok belum mengunggah besaran gaji gubernur. Yang terpampang adalah gaji lama. Sebagai perbandingan. Gaji gubernur pada 2013 adalah setelah dikurangi pajak sebesar Rp 3.448.500, angka itu terdiri dari gaji pokok Rp 3 juta, tunjangan istri Rp 300 ribu, tunjangan anak Rp 60 ribu dan tunjangan beras Rp 270 ribu. Sedangkan, Ahok saat menjadi wakil gubernur DKI menerima gaji setelah pajak sebesar Rp 2.810.100. Sama halnya dengan gubernur, angka itu terdiri dari gaji pokok Rp 2,4 juta, tunjangan istri Rp 240 ribu, tunjangan anak Rp 48 ribu dan tunjangan beras Rp 270 ribu. Selain gaji, Gubernur dan Wagub juga menerima tunjangan jabatan. Setelah dikurangi pajak. Gubernur menerima tunjangan sebesar Rp 5.130.000 dan Wagub sebesar Rp 4.104.000 setelah dikurangi pajak. (merdeka.com 16/3/2015).

Pertanyaannya, darimana para calon penguasa mendapatkan dana sebesar itu? Tentu jawabannya dari para pemilik modal. Bisa jadi calon penguasa itu adalah pemilik modal besar artinya ia mengeluarkan dana dari kantong pribadinya, atau jika ia bukan pengusaha maka dia akan pinjam modal ke para pemilik modal besar. Apakah para pengusaha besar itu akan "ikhlas" menyumbangkan dana sebesar itu tanpa dikembalikan? Tentu saja tidak. Lalu darimana calon penguasa mengembalikan dana sebesar itu? Jika dilihat dari gaji yang akan diterimanya tentu dana sebesar itu tidak mungkin kembali. Lalu darimana? Apalagi jika tidak melalui korupsi. Ini berarti selama negeri ini masih menerapkan sistem demokrasi jangan harap korupsi akan berhenti. Mustahil!

Syariah Islam Memberantas Korupsi

Syariah islam merupakan hukum Allah. Apabila diterapkan secara komprehensif pasti akan memberikan kemaslahatan bagi umat manusia. Syariah islam merupakan hukum yang bukan berasal dari selera para politikus ataupun para kapitalis, namun berasal dari Al Quran dan As Sunnah.

Syariah islam dengan tegas menindak segala tindakan korupsi dan mengkategorikannya sebagai ghulul; harta yang diperoleh secara curang, dan pelakunya akan mendapat azab pedih di akhirat. Allah SWT berfirman:

Siapa saja yang berbuat curang pada Hari Kiamat akan datang membawa hasil kecurangannya (QS Ali Imran [3]: 161).

Buraidah menuturkan bahwa Nabi saw. pernah bersabda:

Siapa saja yang kami pekerjakan untuk mengerjakan tugas tertentu dan telah kami beri gaji tertentu maka apa yang ia ambil selain (gaji) itu adalah ghulûl (HR Abu Dawud, al-Hakim, al-Baihaqi dan Ibn Khuzaimah).

Selain itu pemilihan penguasa di dalam islam hanya dalam pemilihan seorang khalifah saja. Itupun dibatasi kekosongan jabatan khilafah hanya diperbolehkan selama 3 hari 2 malam. Tentu selama tenggang waktu tsb calon khalifah tidak akan mampu berkampanye hingga menghabiskan dana besar dan sangat terbatas oleh waktu jika hendak meyakinkan kepada rakyat bahwa ia layak menjadi seorang khalifah kecuali orang-orang yang kesehariannya senantiasa terbukti mengurusi urusan umat. Kemudian jabatan penguasa lain seperti wali (setingkat gubernur) atau amil (setingkat walikota/bupati) dipilih melalui penunjukan dari khalifah sehingga tidak perlu ada kampanye. Dari konsep ini saja telah mencegah terjadinya proses korupsi.

Untuk mencegah dari godaan suap dan korupsi, syariah menetapkan bahwa gaji/kompensasi yang diberikan kepada para pegawai dan tunjangan kepada penguasa harus mencukupi. Gaji harus diberikan sesuai dengan nilai manfaat yang diberikan kepada negara. Selain gaji, mereka juga akan diberikan fasiitas rumah, kendaraan dan fasilitas lainnya. Rasul saw. bersabda:

Siapa saja yang mengerjakan pekerjaan untuk kami dan belum beristri, hendaklah mencari isteri; atau ia tidak punya pembantu, hendaklah mengambil pembantu; atau ia belum punya rumah hendaklah mengambil rumah atau belum punya kendaraan, hendaklah mengambil kendaraan. Siapa saja yang mengambil selain itu telah berbuat ghulûl atau mencuri (HR Ahmad)

Selain itu, sebagai warga negara, mereka juga akan mendapatkan jaminan pemenuhan kebutuhan pokok; pelayanan kesehatan, pendidikan dan jaminan keamanan secara gratis; dan semua pelayanan yang diterima rakyat pada umumnya. Sementara itu, untuk penegak hukum, Islam telah menetapkan standar gaji yang tinggi agar tidak tergoda untuk melakukan korupsi.

Jika ada yang masih nekad melakukan tindakan korupsi maka akan dijatuhi hukuman ta'zir dimana hukumannya diserahkan kepada ijtihad Khalifah atau qâdhi. Hukumannya bisa dalam bentuk hukum cambuk, penjara, denda atau diambil hartanya, diumumkan ke masyarakat dan sebagainya. Dalam hal ini, Khalifah Umar bin Abdul Aziz pernah menetapkan sanksi atas pelaku korupsi dengan dicambuk dan ditahan dalam waktu lama (Ibn Abi Syaibah, Mushannaf Ibn Abi Syaibah, V/528; Mushannaf Abd ar-Razaq, X/209).

Namun, syariah islam tidak akan bisa diterapkan secara komprehensif apabila tidak ada insitusi/negara yang menerapkannya, itulah Daulah Khilafah Rasyidah 'ala Minhaj an Nubuwwah. [VM]

Posting Komentar untuk "Ganyang Korupsi Seakar-Akarnya"

close