Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Mengakhiri Label Negara Pengutang


Oleh : Maya ummu Azka 
(Pemerhati Masalah Sosial Ekonomi)

Indonesia berkubang dalam pusaran utang. Seakan tiada jalan lain dalam membangun negara kecuali dengan utang luar negeri. Jumlah cicilannya saja mencapai ratusan trilyun rupiah (http://nasional.kompas.com/read/2016/10/27/22034631/jk.sebut.cicilan.dan.pokok.utang.yang.harus.dibayar.di.2017.capai.rp.500.triliun)

Semenjak mengadopsi sistem ekonomi kapitalisme (diakui atau tidak), APBN Indonesia selalu mengalami defisit.  Pemerintah berdalih, penetapan defisit anggaran dapat menggerakkan ekonomi internasional dengan masuknya pinjaman dari luar negeri. Cara klasik yang dilakukan untuk menutup defisit adalah dengan melakukan utang luar negeri. (Endah Kartikasari, ST, MEi. Dalam Membangun Indonesia Tanpa Pajak dan Utang, 2010)

Jebakan utang

Abdurahman Al-Maliki dalam Politik Ekonomi Islam (2001) menyatakan utang luar negeri ibarat instrumen penjajahan. salah satu aspek buruk dari membengkaknya utang luar negeri adalah hilangnya cita-cita kemandirian sebuah bangsa. Hal ini disebabkan oleh syarat dan kondisi yang tetapkan oleh negara donor. Tak sedikit, negara donor yang ikut campur urusan pembangunan negara lain dengan dalih ‘pemilik saham’. Baik motif ekonomi maupun motif politik. 

Kemandirian politis tergadai, negara penghutang hanya akan disetir dan diintervensi oleh negara besar pemegang saham utama lembaga keuangan multilateral penyalur utang luar negeri. utang luar negeri telah digunakan negara maju untuk menjebak negara dunia ketiga agar tetap berada dalam cengkeramannya.

Di sisi lain, kemandirian ekonomi juga tergerus karena ketergantungan pada pasar luar negeri dan modal asing,  kesejahteraan rakyat merosot dan kesenjangan ekonomi pun semakin melebar. Belum lagi tergadainya kekayaan alam negara penghutang, sebagaimana yang terjadi di negara kita.

Jebakan utang semakin menjerumuskan Indonesia dengan keberadaan bunga (interest) yang merupakan produk ribawi. Dengan bunga, utang akan semakin menggunung dan mustahil untuk segera dilunasi. Rakyat Indonesia pun semakin terperosok dalam kesengsaraan. 

Pandangan Islam

Islam memandang bahwa berhutang hanya boleh dilakukan oleh negara dalam kondisi darurat menurut syari'ah. Contohnya kondisi paceklik, bencana alam, dsb.

utang itupun tidak boleh berbentuk riba. Tidak pula disertai syarat yang melanggar syari'at seperti adanya liberalisasi ekonomi, pembukaan investasi asing, dan hal-hal yang menyebabkan negara asing menguasai negara penghutang. Begitupun syara' melarang berhutang kepada negara kafir harbi fi'lan yang jelas-jelas memusuhi Islam, seperti Amerika Serikat, Inggris, dll.

Allah SWT berfirman, "Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan bagi orang kafir untuk menguasai kaum muslim." (QS. An-Nisa : 41)

Membangun Tanpa utang? Bisa!

Lantas timbul satu pertanyaan, bisakah negara kita membangun tanpa berhutang? Tentu saja bisa. Salah satunya dengan mengoptimalkan sumber pendapatan melalui kekayaan alam yang dikelola mandiri, profesional dan pro rakyat. Indonesia memiliki sumberdaya alam yang sangat berlimpah, baik itu berupa pertambangan, migas, batubara, kelautan , serta kehutanan. 

Selain itu, jenis pendapatan berikutnya adalah pemanfaatan harta milik negara dan BUMN. Harta yang terkategori milik negara adalah harta yang tidak dimiliki oleh individu dan masyarakat, contohnya gedung-gedung milik pemerintah, kendaraan dinas, dsb. Sedangkan harta BUMN adalah yang berujud badan usaha untuk produk selain kepemilikan umum, seperti Telkom dan Indosat. 

Belum lagi jika kita berbicara sumber pendapatan negara dalam sistem Islam yang juga mencakup kharaj, fa'i, ghanimah, dsb. Semua itu semakin meyakinkan kita bahwa membangun negara tanpa hutan adalah hal yang sangat mungkin.

Hanya saja yang menjadi dasar permasalahan adalah tidak mungkin menerapkan itu semua tanpa adanya perubahan mendasar. Bukankah kebijakan berhutang adalah akibat dari paradigma berpikir ekonomi kapitalis? Mau tak mau, kita harus menyingkirkan paradigma itu dalam membangun negara dan masyarakat dalam seluruh bidang kehidupan. Karena kebijakan ekonomi akan berkait erat dengan kebijakan politik, pendidikan, sosial, budaya, pertahanan-keamanan, serta kebijakan di bidang hukum. 

Konsep membangun negara tanpa utang hanya bisa dilakukan dengan mengganti sistem kenegaraan dengan sistem Islam. Tentu saja hanya negara Khilafah lah yang mau dan mampu mengakomodir itu semua. Dan dengan cara itulah kesejahteraan dan kemakmuran negara serta seluruh lapisan masyarakat akan tercapai. Dan dengan Khilafah pula, mental berhutang akan bisa ditinggalkan. Wallahu a'lam. [VM]

Posting Komentar untuk "Mengakhiri Label Negara Pengutang"

close