Dibalik Kebangkitan Nasional: Fakta Sejarah yang Tersembunyi


20 Mei menjadi Hari Kebangkitan Nasional bagi Republik Indonesia. Hari tersebut bukan hanya sekedar hari-hari belaka, tetapi menghujam ke dalam benak masyarakat Indonesia, bahwa pada hari kelahiran Budi Utomo (BO)-lah Indonesia memiliki kesadaran untuk bangkit secara menyeluruh. Penetapan seperti ini tak semestinya dianggap enteng. Penetapan hari penting bagi negara, penetapan pahlawan-pahlawan nasional, tugu-tugu peringatan memiliki makna yang mendalam sebagai simbol-simbol negara yang memiliki makna.

Ketika berbicara mengenai hari kelahiran organisasi Budi Utomo sebagai Hari Kebangkitan Nasional, akan ada konsekuensi-konsekuensi dari ‘simbol’ tersebut. Pertanyaan-pertanyaan layak dilontarkan, seperti misalnya, apa benar kesadaran kebangkitan nasional kita berasal dari kesadaran kesukuan (Jawa)? Betulkah ikatan kesukuan lebih mendorong kebangkitan ketimbang agama? Lantas bagaimana peran nyatanya dalam kehidupan? Pertanyaan, jika tak ingin dibilang gugatan seputar penetapan Hari Kebangkitan Nasional bukanlah hal baru. Setidaknya, sejak 1956, ketika diperingati Hari Kebangkitan Indonesia, gugatan tersebut telah mengemuka.

Kesadaran kita sebagai sebuah bangsa (bukan negara-bangsa) telah lama muncul dan diakui oleh masyarakat dunia. Bukan melalui ranah-ranah politis, namun melalui para haji dan penuntut ilmu. Di Tanah Suci Mekkah, ratusan hingga ribuan orang telah pergi beribadah haji dan sebagian lainnya melanjutkan untuk menuntut ilmu disana. Setidaknya ulama-ulama nusantara, telah dikenal sebagai bangsa ‘Jawi’ oleh para masyarakat di Timur Tengah. Orang-orang Jawi ini tidak saja pengakuan terhadap orang Jawa, tetapi juga Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Sumbawa hingga Patani (Thailand) dan Mindanao (Filipina).

Eksistensi ulama-ulama nusantara ini semakin berkibar tatkala nama-nama seperti Abdusshomad Al Palimbani, Hamzah Fansuri, Yusuf Al Maqassari, Daud Fattani, Arsyad Al Banjari hingga Nawawi Al Bantani dan Syekh Ahmad Khatib Al Minangkabawi menghiasi deretan para penuntut ilmu dan ulama di tanah Suci. Bangsa ‘Jawi’, telah dikenal dan mengenali dirinya sendiri sebagai orang Jawi yang diikat oleh sebuah ikatan abadi bernama Akidah. Islam telah menjadi tali yang kokoh mengikat bangsa kita selama berabad-abad, jauh sebelum ikatan politis bernama nasionalisme hadir di tanah air.

Perlawanan terhadap penjajahan juga didorong oleh ikatan Islam. Berabad-abad ia menjadi obor yang berkobar-kobar membakar semangat jihad melawan penjajahan. Ketika diabad ke 19, Penjajah Belanda membungkam hampir seluruh perlawanan di nusantara, maka di awal abad ke 20 saluran-saluran perlawanan muncul dalam bentuk pergerakan. Penilaian seputar Kebangkitan Nasional perlu dicermati. Menimbang dan menelisik kehadiran Budi Utomo, dapat dilakukan dengan melihat tahun-tahun pertama berdirinya organisasi Budi Utomo.

Fakta Budi Utomo

Tidak banyak diungkap secara lebih lengkap  dalam buku-buku pendidikan sejarah di sekolah bahwa sebenarnya penentuan tanggal 20 Mei yang didasarkan atas peristiwa berdirinya Budi Utomo (BO) meninggalkan banyak masalah, khususnya bagi umat Islam di Indonesia. Permasalahan itu antara lain :
Budi Utomo adalah organisasi yang bersifat Jawa-Madura sentris, sama sekali bukan organisasi yang bersifat kebangsaan. Tujuan Budi Utomo didirikan adalah untuk menggalang kerjasama guna memajukan tanah dan bangsa Jawa dan Madura secara harmonis. Sistem pendidikan yang dianut dalam BO sendiri adalah adopsi pendidikan Barat. BO sendiri sangat kooperatif dengan pemerintah Kolonial, hal ini karena para pemimpinya digaji oleh pemerintah Belanda.

KH Firdaus AN (Mantan Majelis Syuro Syarikat Islam) mengungkapkan “…Budi Utomo adalah organsasi sempit, lokal dan etnis, dimana hanya orang Jawa dan Madura elit yang boleh menjadi anggotanya. Orang betawi saja tidak boleh menjadi anggotanya”. Selain itu dalam rapat-rapat perkumpulan, Budi Utomo menggunakan bahasa Belanda, bukan bahasa Indonesia. “Tidak pernah sekalipun rapat Budi Utomo membahas tentang kesadaran berbangsa dan bernegara yang merdeka. Mereka ini hanya membahas bagaimana memperbaiki taraf hidup orang-orang Jawa dan Madura di bawah pemerintahan Ratu Belanda, memperbaiki nasib golongannya sendiri”. KH Firdaus AN juga mengatakan “Budi Utomo tidak memiliki andil sedikit pun untuk perjuangan kemerdekan, karena mereka para pegawai negeri yang digaji Belanda untuk mempertahankan penjajahan yang dilakukan tuannya atas Indonesia. Dan Budi Utomo tidak pula turut serta mengantarkan bangsa ini ke pintu gerbang kemedekaan, karena telah bubar pada tahun 1935.”

Asvi Marwan Adam, sejarawan LIPI menilai penetapan tanggal lahir Budi Utomo sebagai Hari Kebangkitan Nasional tidak layak. Hal ini karena Budi Utomo tidak bisa disebut sebagai pelopor kebangkitan nasional. Menurutnya, Budi Utomo bersifat kedaerahan sempit. “Hanya meliputi Jawa dan Madura saja”. Budi Utomo yang oleh banyak orang dipercaya sebagai simbol kebangkitan nasional, pada dasarnya merupakan lembaga yang mengutamakan kebudayaan dan pendidikan, dan jarang memainkan peran politik yang aktif. Padahal politik adalah pilar utama sebuah kebangkitan.

Kecondongan, jika tak ingin disebut pemujaan, Budi Utomo pada Jawa memang akhirnya yang mengurung organisasi itu sendiri, sehingga tak berkiprah luas. Dalam Anggaran Dasar yang ditetapkan, Budi Utomo menyebutkan bahwa tujuan organisasi adalah untuk “…menggalang kerjasama guna memajukan tanah dan bangsa Jawa dan Madura secara harmonis.” Budi Utomo memang tidak pernah ‘berniat’ untuk memperluas organisasinya pada daerah lain yang bukan dibawah pengaruh kebudayaan Jawa. Meskipun sejak 1909 cabang-cabang dibuka di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Ambon, namun keanggotaan dibatasi pada personil militer yang berasal dari Jawa, atau untuk imigran Jawa yang telah bermukim di sana. Hal ini disebabkan karena dalam syarat untuk menjadi anggota Budi Utomo, disebutkan syarat keanggotaan terbatas pada pribumi Jawa dan Madura.

Sikap dan pandangan Jawa sentris ini memang membelenggu Budi Utomo. Maka tak heran hingga akhir tahun 1900-an pun  anggotanya paling banyak hanya 10 ribu orang. Salah satu faktor yang membuat orang Jawa enggan untuk bergabung dengan Budi Utomo adalah karena organisasi ini diisi oleh para priyayi. Bagi rakyat Jawa jelata ada perasaan sungkan untuk begabung dengan (Priyayi dan ningrat) Budi Utomo. Di Surakarta sendiri, Budi Utomo tidak mendapat sambutan hangat. Kecondongan Budi Utomo kepada Kesultanan Jogjakarta membuat rakyat Surakarta yang didominasi pedagang dan santri enggan merapat ke Budi Utomo.

Hal yang sama juga dikemukakan oleh peneliti Robert van Niels yang mengatakan, “Tanggal berdirinya Budi Utomo sering disebut sebagai Hari Pergerakan Nasional atau Kebangkitan Nasional. Keduanya keliru, karena Budi Utomo hanya memajukan satu kelompok saja. Sedangkan kebangkitan Indonesia sudah dari dulu terjadi…Orang-orang Budi Utomo sangat erat dengan cara berpikir barat. Bagi dunia luar, organisasi Budi Utomo menunjukkan wajah barat.”

Kenapa bukan Tanggal 16 Oktober sebagai Hari Kebangkitan Nasional ?

Tanggal 16 Oktober 1905 adalah tanggal berdirinya Sarekat Islam. SI merupakan kawah candradimuka berbagai pemikir Indonesia kelas dunia. Sebutlah H.O.S Tjokroaminoto, Agus Salim, Soekarno sampai dengan Tan Malaka, Muso dan Semaun. Tokoh-tokoh ini memiliki andil besar dalam kemerdekaan bangsa Indonesia. SI tidak membatasi keanggotaannya hanya untuk masyarakat Jawa dan Madura saja. Hal ini terlihat pada susunan para pemimpinnya, Haji Samanhudi dan HOS Tjokroaminoto berasal dari Jawa Tengah dan Timur, Agus Salim dan Abdoel Moeis dari Sumater Barat, dan AM. Sangaji dari Maluku. Tujuan SI adalah membangun persaudaraan, persahabatan dan tolong-menolong di antara muslim dan mengembangkan perekonomian rakyat. Keanggotaan SI terbuka untuk semua lapisan masyarakat muslim. Walaupun organisasi ini berlabel agama, dimana selain kaum muslimin tidak boleh menjadi anggota, bukan berarti SI tidak peka terhadap perbedaan. Alasan menggunakan label Islam, karena hanya itulah harta yang tersisa, selebihnya telah dirampas Belanda. SI berhasil membuka 181 cabang di seluruh Indonesia. Jumlah anggota kurang lebih 700.000 orang. Tahun 1919 melonjak drastis hingga mencapai 2 juta orang. Sebuah angka yang fantastis kala itu. Jika dibandingkan dengan BO pada masa keemasannya saja hanya beranggotan tak lebih dari 10.000 orang. Sejarawan Fred R. von der Mehden (1957: 34) dengan tegas mengatakan bahwa SI-lah organisasi politik nasional pertama di Indonesia.

Pada Kongres Mubaligh Islam Indonesia di Medan (1956), umat Islam mengusulkan kepada pemerintah untuk menjadikan tanggal berdirinya SDI sebagai Harkitnas berdasarkan karakter dan arah perjuangan SDI. Namun sangat disayangkan, seruan ini tidak didengar pemerintah, bahkan sampai saat ini. Pelurusan sejarah mengenai kebangkitan Indonesia nampaknya perlu dilakukan, sangat disayangkan kalau peran umat terbesar di negeri ini dihilangkan begitu saja.

Peran Besar Ulama dan Santri Untuk Kebangkitan Negeri Ini

Kiprah ulama di masyarakat cukup signifikan dan cukup sentral. Dari mulai persoalan ibadah sampai sosial. Para ulama punya peran besar dalam membawa santrinya dan juga masyarakat di sekitarnya untuk menjadi warga negara yang saleh, taat beribadah, dan berakhlak mulia. Semua itu dikerjakan sendiri oleh para Ulama dengan swadaya, baik oleh ulama sendiri dan atau bantuan dari masyarakat.  
Para ulama mencoba menggerakkan masyarakat dengan melalui waktu-waktu yang sangat menguntungkan dalam pendidikan. Beberapa organisasi yang dibentuk para ulama adalah:

1. Sarekat Islam

Para ulama mencoba mendidik masyarakat supaya motivasinya bangkit kembali dibidang ekonomi perdagangan.13 Untuk keperluan ini H. Samanhudi mendirikan Sarekat Dagang Islam (16 oktober 1905). Setahun kemudian dirubahnya menjadi Sarekat Islam.

2. Muhammadiyah 

Dutch Islamic Policy ciptaan Snouck yang mencoba menjauhkan umat Islam dari pengaruh politik, ternyata gagal. Akibat sistem politik yang diarahkan untuk mematahkan peranan umat Islam dalam bidang politik, ekonomi dan sosial, ditambah dengan dilancarkannya Politik Pengkristenan dari imperialis Belanda menyebabkan respons dari umat Islam yang berbentuk usaha perbaikan agama, ekonomi, politik dan sosial.

Di bawah situasi yang demikian, K.H. Ahmad Dahlan mengadakan perubahan sistem pendidikan bangsa Indonesia. Masa perlawanan bersenjata telah berlalu. Demikian pula sistem menyelenggarakan pendidikan dengan cara sederhana sambil berperang perlu diakhiri. Untuk merealisasikan gagasan ini diperlukan wahana, yaitu Muhammadiyah (18 November 1912) yang didirikan di Yogyakarta. Pesantren yang banyak didirikan dalam masa perang, perlu ditingkatkan dengan sistem pendidikan yang teratur. 

3. Taswirul Afkar dan Nahdlatul Ulama

Kalangan ulama Jawa Timur memandang perlu untuk meningkatkan organisasi Taswirul Afkar (1914). Dari hasil reorganisasinya dibentuklah Nahdlatul Ulama (1926). NU adalah gerakan dari ulama-ulama Islam di Indonesia yang dipelopori oleh K. H. Hasyim Asy’ari dari Jombang, Jawa Timur. Sekalipun NU mempertahankan “ortodoksi-ortodoksi” abad pertengahan, namun dalam konteks membangkitkan semangat umat Islam, gerakan ini berhasil. Melalui lembaga-lembaga pendidikan pondok pesantren, NU berhasil menanamkan semangat dan watak antikolonialisme. Dengan berpegang teguh pada ajaran Islam dan memelihara semangat ahlus sunnah wal jamaah, NU berhasil menggalang persatuan dan kesatuan umat Islam Indonesia. 

Ulama dan tokoh Islam juga berperan dalam perumusan Pancasila. Walaupun pendapat mereka tentang sila pertama yang berbunyi: “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, bertentangan dengan kalangan nasionalis, akhirnya  pada Sidang PPKI I, yaitu pada tanggal 18 Agustus 1945, 4 orang tokoh Islam, yaitu Kasman Singodimejo, Wahid Hasyim, Ki Bagus Hadikusumo, dan Teuku M. Hasan, rela mengubah tujuh kata tersebut menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Mereka menyetujui perubahan kalimat tersebut demi persatuan dan kesatuan bangsa. Inilah sifat mulianya para ulama, yang rela mengalah dan menghormati pihak yang lain.

Kepedulian santri dan ulama untuk membebaskan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda juga bisa dibuktikan pada saat para Kiai di Jawa Timur menggelorakan Perang Jihad melawan belanda. Pecahlah perang 10 November 1945 di Surabaya yang akhirnya dijadikan sebagai hari pahlawan.  Banyak para ulama dan kaum santri yang memasuki medan laga dalam peperangan melawan Belanda, dan mereka gugur dalam peperangan, mereka  mati syahid. Para Ulama, terutama Ulama NU, pada masa itu bahkan pernah mengeluarkan fatwa haram bagi seorang muslim memakai dasi dan jas, karena dianggap meniru gaya penjajah yang nota bene non  muslim. Hal itu karena kebencian yang memuncak dengan perilaku kaum penjajah. Para ulama berpijak kepada hadis bahwa “Barang siapa yang meniru niru budaya satu kaum, maka dia termasuk dalam kaum tersebut”. 

Demikianlah, betapa besar dan pentingnya peran ulama dan santri untuk kebaikan negeri ini, yang banyak tidak terekspose oleh sejarah. Mereka telah mengorbankan jiwa dan raga karena cintanya kepada bangsa dan negara.

Lantas, ketika saat ini banyak tindakan kriminalisasi terhadap para ulama dan menjatuhkan kewibawaan mereka di hadapan umatnya, hendaknya kita bisa meneladani lagi sejarah pengorbanan para ulama untuk bangsa dan negara ini. Wallahu a’lam bishowab. [VM]

Penulis : Rahmawati Ayu Kartini, S.Pd - Penulis adalah seorang pendidik, tinggal di Jember Jatim

Posting Komentar untuk "Dibalik Kebangkitan Nasional: Fakta Sejarah yang Tersembunyi"