Ilusi Kesetaraan Keluarga (Telaah Kritis Laporan UN Women)
Oleh : Yulita Andriani
(Ibu dan Daiyyah di Kota Samarinda)
Pendahuluan
25 Juni 2019, UN Women Rilis Laporan tentang Keluarga dan Kesetaraan, yang isinya menyikapi ketidak setaraan dan kekerasan gender dalam keluarga. UN Women mengeluarkan laporan Progress of the World’s Women 2019: Families in a Changing World. Laporan ini merupakan penilaian luas terhadap realitas keluarga saat ini, dengan mempertimbangkan transformasi ekonomi, demografis, politik dan sosial.
Laporan tersebut menjadi penting mengingat tanggal 15 Mei diperingati sebagai hari Keluarga Internasional atau Family Day. Dan menjadi relevan lagi karena memang realitas keluarga saat ini mengalami perubahan. Perubahan pada keluarga tentu adalah buah dari berbagai situasi dan kondisi yang ada pada dunia saat ini. Mengingat Keluarga adalah wadah penting bagi anggota keluarga dan juga peran penting dalam membentuk wajah masyarakatnya, maka menjadi penting bagi kita mencermati arah perubahan keluarga yang terjadi.
PBB mengatakan hak-hak perempuan telah meningkat pesat dalam beberapa dekade terakhir ini, tetapi ketidaksetaraan dan kekerasan gender dalam keluarga masih saja ada. Laporan itu mengatakan tiga juta perempuan tinggal di tempat-tempat di mana perkosaan dalam perkawinan tidak dianggap sebagai kejahatan. Satu dari lima negara memiliki hukum waris yang berbeda bagi laki-laki dan perempuan. Sementara di 19 negara, perempuan diharuskan patuh pada suami. "Sekitar sepertiga perempuan yang menikah di negara-negara berkembang dilaporkan hanya memiliki sedikit suara atau bahkan tidak sama sekali tentang layanan kesehatan bagi mereka sendiri, tambah laporan itu. Dalam penjelasan singkat pada pers, Selasa (25/6), Direktur Eksekutif UN Women Phumzile Mlambo-Ngcuka mengatakan kepada wartawan bahwa "Keluarga dalam semua keragaman mereka, dapat menjadi pendorong fisik kesetaraan gender hanya jika pengambil keputusan mengeluarkan kebijakan yang berakar pada realitas tentang bagaimana orang hidup hari ini, di mana hak-hak perempuan menjadi intinya. Laporan itu mencatat kemajuan dalam banyak hal. Disampaikan bahwa usia perempuan untuk menikah sudah meningkat, sementara angka kelahiran sudah turun. Ini membuat jumlah perempuan yang melanjutkan pendidikan di sekolah meningkat, sehingga memiliki peluang yang lebih baik di pasar tenaga kerja, dan mampu menopang diri mereka sendiri secara finansial untuk jangka waktu yang lebih lama pula," ujar Shahra Razavi, Kepala Riset dan Data di UN Women. Laporan itu juga mengatakan bahwa keluarga gay menjadi semakin banyak†di dunia. Soal lapangan kerja, laporan ini menyoroti sejumlah perbedaan, di mana perempuan yang sudah menikah kurang berpartisipasi secara signifikan dalam angkatan kerja. Laporan itu menuduh bahwa perbedaan ini karena perempuan harus melakukan pekerjaan rumah tangga dan layanan tidak berbayar lainnya tiga kali lebih besar dibanding laki-laki karena tidak adanya layanan perawatan yang UN Women juga menyampaikan delapan agenda kebijakan yang mencakup hukum non-diskriminatif, layanan publik yang dapat diakses, jalur bagi perempuan untuk dapat memiliki penghasilan sendiri. Menurut UN Women, sebagian besar negara dapat memberlakukan kebijakan yang direkomendasikan ini bagi kurang dari lima persen PDB nasional. Laporan itu menyerukan kepada para pembuat kebijakan, aktivis dan semua lapisan masyarakat untuk merombak keluarga menjadi tempat kesetaraan dan keadilan, demikian laporan yang dikeluarkan pada Selasa itu (https://elshinta.com/news-mitra/87212/2019/06/27/signup).
Jika disimpulkan, perhatian UN Women terhadap Perempuan dan Keluarga memfokuskan pada ketidaksetaraan dan kekerasan gender, seperti:
- Tiga juta perempuan tinggal di tempat-tempat di mana perkosaan dalam perkawinan tidak dianggap sebagai kejahatan.
- Satu dari lima negara memiliki hukum waris yang berbeda bagi laki-laki dan perempuan.
- Di 19 negara, perempuan diharuskan patuh pada suami. "Sekitar sepertiga perempuan yang menikah di negara-negara berkembang dilaporkan hanya memiliki sedikit suara atau bahkan tidak sama sekali tentang layanan kesehatan bagi mereka sendiri.
- Soal lapangan kerja, laporan ini menyoroti sejumlah perbedaan, di mana perempuan yang sudah menikah kurang berpartisipasi secara signifikan dalam angkatan kerja, karena perempuan harus melakukan pekerjaan rumah tangga dan layanan tidak berbayar lainnya tiga kali lebih besar dibanding laki-laki karena tidak adanya layanan perawatan publik yang dapat diakses, jalur bagi perempuan untuk dapat memiliki penghasilan sendiri.
Namun, ada 'kemajuan-kemajuan' menurut laporan UN Women selama beberapa dekade, diantaranya:
- Usia perempuan untuk menikah sudah meningkat, sementara angka kelahiran sudah turun.
- Jumlah perempuan yang melanjutkan pendidikan di sekolah meningkat, sehingga memiliki peluang yang lebih baik di pasar tenaga kerja, dan mampu menopang diri mereka sendiri secara finansial untuk jangka waktu yang lebih lama.
- Keluarga gay menjadi semakin banyak di dunia.
Kemudian UN Women menyerukan untuk sebagian besar negara agar memberlakukan kebijakan yang mencakup hukum non-diskriminatif, layanan publik yang dapat diakses, jalur bagi perempuan untuk dapat memiliki penghasilan sendiri, bagi negara yang PDB Nasional-nya kurang dari lima persen,dengan 'merombak keluarga' menjadi tempat kesetaraan dan keadilan.
Perkawinan dan menjadi ibu terus ‘menjatuhkan hukuman’ pada penghasilan perempuan, sehingga penghasilan mereka lebih rendah dibandingkan perempuan tanpa anak, bahkan di antara pekerja dengan kualifikasi, pengalaman, jam kerja, dan pekerjaan yang sebanding.
Sementara itu, semakin banyak perempuan yang memikul tanggung jawab finansial dan perawatan untuk anak-anak mereka, kadang-kadang tanpa kehadiran laki-laki ‘Revolusi gender’, membuat perempuan telah mengambil pekerjaan (yang dibayar) sambil terus memikul bagian terbesar dari perawatan anggota keluarganya (yang tidak dibayar) dan pekerjaan rumah tangga. Sehingga mereka kekurangan waktu untuk merawat dirinya. Hak-hak perempuan juga tidak dilindungi ketika keluarga dipaksa terpisah karena migrasi. Dengan berbagai kondisi tersebut, maka bayangkan bagaimana gambaran sebuah keluarga yang bekerja untuk perempuan atau a family that works for women, yang dapat memenuhi hak-hak perempuan.
Para pegiat gender, menganggap keluarga telah lama menjadi ruang yang sangat paradoks bagi perempuan. Mereka dapat membawa cinta dan kehidupan tetapi juga perjuangan, ketidaksetaraan dan, seringkali, kekerasan. Salah satu buktinya adalah Studi Global PBB tentang Pembunuhan. Studi pada 2012, mencatat 47% dari semua perempuan yang menjadi korban pembunuhan dibunuh oleh pasangan intim atau anggota keluarga, dibandingkan hanya 6% pembunuhan yang terjadi pada laki-laki.
Bukti lainnya menunjukkan bahwa pendapatan dan sumber daya keluarga tidak selalu dikumpulkan atau dibagi secara merata dalam keluarga, sehingga justru meningkatkan ketimpangan gender dalam rumah tangga. Laki-laki di negara maju dan berkembang lebih berpeluang menggunakan pendapatan keluarga untuk pengeluaran pribadi dan memiliki lebih banyak waktu luang dibandingkan perempuan.
Melihat fakta tersebut, maka dibutuhkan upaya untuk membentuk keluarga yang bekerja untuk perempuan. PBB mengklaim, keluarga yang bekerja untuk perempuan adalah keluarga di mana keputusan dibuat secara demokratis. Yakni, sumber daya didistribusikan secara merata dan pekerjaan perawatan berbayar dan tidak berbayar dibagi secara adil antara pria dan perempuan. Sebuah keluarga yang bekerja untuk perempuan, pada akhirnya bekerja lebih baik untuk semua anggotanya, dan dapat membuka jalan bagi masyarakat yang lebih berkelanjutan, inklusif dan demokratis.
Dalam hukum internasional, perlindungan keluarga terkait erat dengan prinsip kesetaraan dan non-diskriminasi, yang berarti bahwa semua anggota keluarga harus menikmati kebebasan dan hak yang sama tanpa memandang jenis kelamin atau usia. Ketika realitas sosial berubah, berbagai persepsi juga berkembang.
Definisi keluarga memang telah bergeser. Brasil, Finlandia dan Spanyol mengakui keluarga dengan orang tua sesama jenis. Ada pula negara yang menawarkan perlindungan hukum untuk anak yang lahir di luar nikah dan untuk orang tua tunggal. Pergeseran cepat seperti itu, dianggap dapat merubah struktur keluarga baru, dan mengancam kepercayaan, nilai-nilai agama atau norma sosial. Namun yang lebih penting bagi PBB adalah membantu keluarga menjadi lebih setara gender. Agar memberi peluang bagi kebijakan yang memberdayakan perempuan dan anak perempuan.
Keluarga yang ingin dibentuk pada masa datang adalah keluarga yang bekerja untuk perempuan. Maka pantaslah bila Hari Keluarga –baik nasional maupun internasional- menjadi momentum bagi pegiat gender untuk membentuk keluarga sebagai agen kesetaraan gender. Bahkan cuitan UNWomen dalam akun-nya @UN_Women menuliskan “15 May is International #DayOfFamilies! Today’s families shape tomorrow’s societies. Let it be an empowered generation!”
Ilusi Kesetaraan Gender
Kampanye “Generation Equality: Realizing women’s rights for an equal future”, yang dilaksanakan tahun ini, adalah langkah inovasi UN Women melengkapi berbagai inisiatif dan program sebelumnya, seperti HeForShe, Planet 50×50 by 2030, Impact 10x10x10, Step it Up, dan sebagainya. Selain berbagai inisiatif tersebut, penanaman ide tersebut sejak dini di dalam keluarga juga mulai dikampanyekan.
Sesungguhnya sudah banyak cara dilakukan oleh UN Women, bahkan berkolaborasi dengan PBB melalui MDGs dan SDGs. Namun ternyata kesetaraan gender belum terwujud juga di dunia, bahkan setelah hampir 25 tahun diadopsinya BPfA.
Pada pertemuan Menteri Negara-negara G7 tentang kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan di Paris tanggal 9-10 Mei lalu, Direktur Eksekutif UN Women mengatakan “No country in the world has achieved gender equality. No country. And this is nearly 25 years after the adoption of the Beijing Declaration and Platform for Action.” Dan bahkan disebutkannya bahwa seharusnya kesetaraan gender sudah diraih pada tahun 2000.
Karena itu, sungguh mengherankan, jika dunia masih berharap kesetaraan gender akan menjadi solusi atas berbagai masalah yang dihadapi perempuan di dunia. Sesungguhnya kesetaraan gender bukanlah solusi, bahkan mustahil terwujud. Dan kalaupun terwujud, maka akan mengakibatkan banyak kerusakan dalam keluarga dan masyarakat.
Kesetaraan gender sesungguhnya bertentangan dengan fitrah manusia. Allah telah menetapkan peran yang berbeda antara laki-laki dan perempuan untuk saling melengkapi dan bukan merendahkan perempuan. Oleh karena itu memaksa untuk mewujudkan kesetaraan dalam kehidupan justru akan merusak keseimbangan alam.
Dengan demikian, memeringati hari keluarga dengan meningkatkan perjuangan untuk mewujudkan kesetaraan gender dan menjadikan rumah sebagai garda terdepan untuk menanamkan kesetaraan gender justru akan 'menghancurkan peradaban manusia' .
Pandangan Islam terhadap Peran Perempuan dan Keluarga
Fungsi keluarga sebagai penjaga agama (Islam) justru akan tercerabut ketika keluarga menanamkan kesetaraan gender sejak dini dan menjadi agen yang mempercepat terwujudnya kesetaraan gender di dunia.
Apalagi dengan membahas tentang pemberdayaan perempuan yang hanya berujung pada peningkatan pendapatan perempuan. Perempuan hanya dianggap berharga, bila semua jerih payahnya diukur dengan rupiah, sekalipun perawatan terhadap anggota keluarganya yang disebut Barat sebagai ‘pekerjaan tak berbayar.’ Demikian keji kapitalisme itu. Padahal, berbagai masalah yang terjadi pada perempuan di seluruh penjuru dunia, sesungguhnya adalah buah dari sistem kapitalisme. Kapitalisme menempatkan perempuan hanya sebagai mesin ekonomi perusahaan mereka.
Sesungguhnya Islam sangat memuliakan perempuan. Allah SWT menetapkan berbagai aturan yang menjaga kemuliaan manusia, baik laki-laki maupun perempuan. Perbedaan ketetapan Allah atas laki-laki dan perempuan bukanlah berarti meninggikan laki-laki dan merendahkan perempuan. Karena sesungguhnya laki-laki dan perempuan sama kedudukannya di hadapan Allah SWT, yang membedakannya adalah ketakwaannya. Dengan landasan iman, maka setiap muslim paham benar ketetapan Allah adalah yang terbaik dan untuk kebaikan manusia, sehingga mereka ridha akan semua hukum Allah.
Secara umum Islam memposisikan laki-laki berbeda dengan perempuan dan keduanya saling berpasangan yang saling melengkapi. Al-Qur’an memberikan ungkapan dengan indah:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقۡنَٰكُم مِّن ذَكَرٖ وَأُنثَىٰ وَجَعَلۡنَٰكُمۡ شُعُوبٗا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓاْۚ إِنَّ أَكۡرَمَكُمۡ عِندَ ٱللَّهِ أَتۡقَىٰكُمۡۚ
“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. al-Hujurat: 13)
Dalam ayat lain Allah bersumpah:
وَمَا خَلَقَ ٱلذَّكَرَ وَٱلۡأُنثَىٰٓ
dan (demi) penciptaan laki-laki dan perempuan (QS. Al-lail: 3)
Kemudian Allah Swt menegaskan bahwa laki-laki berbeda dengan perempuan:
وَلَيۡسَ ٱلذَّكَرُ كَٱلۡأُنثَىٰ
Dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan (QS. Ali Imran: 36)
Allah Swt juga menegaskan bahwa laki-laki dan perempuan adalah saling berpasangan:
وَأَنَّهُۥ خَلَقَ ٱلزَّوۡجَيۡنِ ٱلذَّكَرَ وَٱلۡأُنثَىٰ
Dan bahwasanya Dialah yang menciptakan berpasang-pasangan pria dan wanita (QS. Al-Najm: 45)
Bahkan dalam relasi suami istri antara laki-laki dan perempuan saling melengkapi. Dengan demikian, konsep laki-laki sebagai suami dan perempuan sebagai istri dalam perspektif al-Qur’an adalah kodrati, bukan konstruksi sosial. Al-Qur’an menuturkan dengan bahasa kiasan yang indah dan sopan:
أُحِلَّ لَكُمۡ لَيۡلَةَ ٱلصِّيَامِ ٱلرَّفَثُ إِلَىٰ نِسَآئِكُمۡۚ هُنَّ لِبَاسٞ لَّكُمۡ وَأَنتُمۡ لِبَاسٞ لَّهُنَّۗ
Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. (QS. Al-Baqarah: 187)
Islam memprioritaskan pemeliharaan terhadap perempuan sejak kelahirannya, sehingga hal itu membawa pengasuhan yang baik dan memelihara pintu bagi orang tuanya untuk memasuki Jannah, seperti yang diriwayatkan oleh Abdullah ibn Abbas, semoga Allah merahmati mereka berdua, berkata: Rasululah SAW bersabda:
“Siapa pun yang memiliki seorang anak perempuan yang lahir untuknya dan dia tidak menguburkannya atau menghinanya, dan tidak memanjakan anak laki-lakinya melebihi anak perempuannya, Allah akan mengizinkan dia untuk memasuki Jannah karena anak perempuannya. “(HR. Ahmad, dikoreksi oleh Al-Hakim).
Jika anak perempuan itu tumbuh dewasa, dia dijaga dan dirawat oleh pengasuhan penjaganya; ayah bersikap protektif, dan dia melindunginya dari bahaya. Jika dia menikah, dia dihargai dan dihormati dan suaminya harus memperlakukannya dengan baik, bersikap baik padanya, dan bersikap lembut padanya. Allah SWT berkata:
“Dan hiduplah bersama mereka dalam kebaikan.” [An-Nisa: 19], dan Rasulullah Saw menasehati semua kebaikan bagi mereka ketika Rasulullah Saw mengatakan: “Bertindak baiklah terhadap perempuan” (HR. Ibn Majah).
Nabi Saw juga menyerukan para suami untuk bersikap ofensif terhadap istri mereka, dan mengabaikan kekurangannya, dan untuk menghargai kebajikannya sehingga hidup menjadi lebih baik:
“Seorang mukmin tidak boleh membenci perempuan mukminah (istrinya), jika ia tidak menyukai darinya salah satu perilakunya, maka dia menyukai darinya perilakunya yang lain” (HR. Muslim).
Islam melarang seksualisasi perempuan dan memerangi pandangan tentang perempuan sebagai inferior seolah-olah dia hanya sebuah tubuh dan komoditas, dan dilarang untuk menganggap perempuan sebagai objek seksual yang tersedia; melainkan, dia harus dilindungi dari degradasi dan penghinaan ini. Oleh karena itu, perlu untuk mewajibkan para perempuan atas pakaian Syariah, melarang pemakaian make-up di depan pria asing.
Inilah yang diterapkan dalam keluarga Muslim, maka Islam menjadikannya sebagai benteng penjaga syariat Allah. Keluarga lah institusi pertama yang menanamkan keimanan dan keterikatan kepada aturan Allah. Keluarga lah yang akan melahirkan generasi terbaik yang siap membela tegaknya syariat Allah. Oleh karena itu masyarakat dan negara pun harus dapat berfungsi sebagai penjaga keluarga, dengan menjadikan Islam sebagai landasannya. Karena itu, keluarga akan terjaga bila negara menerapkan aturan Islam secara kaffah.[vm]
Posting Komentar untuk "Ilusi Kesetaraan Keluarga (Telaah Kritis Laporan UN Women) "