Tuluskah Kita Mencintai Nabi SAW?
Oleh: Arief B. Iskandar
(Khadimul Ma'had an-Nahdhah al-Islamiyah)
Di dalam Kitab Shahih al-Bukhari disebutkan suatu riwayat demikian:
Suatu hari, Senin, Tsuwaibah datang kepada tuannya, Abu Lahab. Ia menyampaikan kabar tentang kelahiran bayi mungil bernama Muhammad, keponakan barunya. Mendengar itu Abu Lahab pun bersukacita. Ia kegirangan seraya meneriakkan kata-kata pujian sepanjang jalan.
Sebagai bentuk luapan kegembiraan, Abu Lahab segera mengundang para tetangga dan kerabat dekatnya untuk merayakan kelahiran keponakan tercintanya ini: bayi laki-laki yang mungil, lucu dan sempurna.
Sebagai penanda sukacitanya, ia pun berkata kepada budaknya, Tsuwaibah, di hadapan khalayak ramai yang mendatangi undangan perayaan kelahiran keponakannya itu, “Tsuwaibah, sebagai tanda syukurku atas kelahiran keponakanku (Muhammad), anak dari saudara laki-lakiku, Abdullah, maka kamu menjadi manusia merdeka mulai hari ini!”
Sayang, siapapun tahu, kelak Abu Lahab--yang notabene paman Nabi Muhammad saw. ini—justru tampil menjadi salah satu musuh utama beliau. Ia mengingkari risalah kenabian beliau sekaligus menentang al-Quran yang beliau bawa. Karena itu sosoknya lalu dikecam dalam satu surat tersendiri dalam al-Quran, yakni Surat Al-Masad.
Namun demikian, karena ekspresi kegembiraannya menyambut kelahiran Muhammad, Abu Lahab mendapatkan keringanan siksaan, yakni pada setiap hari Senin.
Imam al-Hafizh as-Suyuthi berkata dalam Al-Hawy (I/196-197), “Saya melihat Imamul Qurra`, Al-Hafizh Syamsuddin Ibnul Jauzi, berkata dalam kitab beliau yang berjudul, ‘Urf at-Ta’rif bi al-Mawlid asy-Syarif, dengan teks sebagai berikut:
Telah diperlihatkan Abu Lahab setelah meninggalnya di dalam mimpi. Dikatakan kepada dia, “Bagaimana keadaanmu?” Dia menjawab, “(Aku) di dalam neraka. Hanya saja, diringankan atas diriku siksaan setiap malam Senin. Hal ini karena aku memerdekakan Tsuwaibah ketika dia menyampaikan kabar gembira kepadaku tentang kelahiran Muhammad dan karena Tsuwaibah telah menyusuinya.”
As-Suyuthi berkata, “Jika Abu Lahab yang kafir ini, yang telah dicela oleh al-Quran, diringankan siksaannya dengan sebab kegembiraannya karena kelahiran Nabi Muhammad saw., maka bagaimana lagi keadaan seorang Muslim dari kalangan umat beliau yang bertauhid, yang gembira dengan kelahiran beliau dan mengerahkan seluruh kemampuannya dalam mencintai beliau?! Saya bersumpah, tidak ada balasan dari Allah Yang Maha Pemurah kecuali Dia akan memasukkannya ke dalam surga.”
Riwayat tentang Abu Lahab ini pun dicantumkan di dalam Kitab Al-Barjanji yang terkenal (Lihat jjuga: Syaikh Muhammad bin Alwi al-Maliki, Hawla al-Ihtifal bi al-Mawlid, hlm.8).
Riwayat ini kemudian dijadikan sebagai salah satu 'dalil' oleh sebagian ulama tentang keabsahan merayakan Peringatan Maulid Nabi Muhammad saw.
Tentu menarik jika riwayat ini dikaitkan dengan realitas umat Islam hari ini. Banyak dari umat ini yang begitu antusias dengan Perayaan Kelahiran Nabi Muhammad saw. Namun, saat yang sama, sebagian dari mereka—khususnya para penguasanya—sering tak berbeda sikapnya dengan Abu Lahab. Mereka mengabaikan al-Quran yang dibawa oleh Nabi saw., mencampakkan dan menolak hukum-hukumnya dengan berbagai alasan. Bahkan menentang sebagian ajaran dan syariahnya.
Padahal bukankah demi al-Quran, syariah dan hukum-hukumnya, Nabi Muhammad saw. dilahirkan dan diutus?
Jika demikian, sekali lagi kita layak bertanya kepada diri sendiri: Tuluskah kita mencintai Rasulullah saw.?
Di sisi lain, kita berduka sekaligus murka saat al-Quran yang dibawa oleh Rasulullah saw. dinistakan.
Namun, apakah kita juga berduka dan murka saat al-Quran sekian lama dicampakkan? Saat syariahnya sekian lama tak dipedulikan? Juga saat hukum-hukumnya sekian lama tak diterapkan?
Padahal bukankah demi al-Quran, syariah dan hukum-hukumnya, Nabi Muhammad saw. rela mengorbankan harta, keluarga, bahkan jiwanya?
Jika demikian, kita pun layak bertanya kepada diri sendiri: Tuluskah ekspresi kesedihan dan kemarahan kita saat al-Quran dinistakan?
Faktanya, kita pun mungkin telah mengecewakan beliau. Bahkan kita mungkin telah benar-benar menyakiti perasaan beliau hingga beliau mengadu kepada Allah SWT:
وَقَالَ الرَّسُولُ يٰرَبِّ إِنَّ قَوْمِى اتَّخَذُوا هٰذَا الْقُرْءَانَ مَهْجُورًا
Rasul (Muhammad) berkata, "Tuhanku, sesungguhnya kaumku telah menjadikan al-Quran ini sebagai perkara yang diabaikan.” (TQS al-Furqan [25]: 30).
Ayat di atas menceritakan pengaduan Rasulullah saw. kepada Allah SWT tentang sikap dan perilaku kaumnya terhadap al-Quran. Sebagian mufassir menjelaskan, jika Rasul telah mengadukan kaumnya kepada Allah SWT, maka Allah SWT menghalalkan azab atas mereka.
Kendati ayat ini berkenaan dengan orang-orang musyrik dan ketidakimanan mereka terhadap al-Quran, susunan ayat ini juga mengancam orang yang berpaling dari al-Quran secara umum, baik yang tidak mengamalkannya maupun yang tidak mengambil adabnya (Al-Qasimi, Mahâsin at-Tawîl, VII/426)
Banyak sikap dan perilaku yang oleh para mufasir dikategori hajr al-Qurân (meninggalkan atau mengabaikan al-Quran). Di antaranya adalah menolak untuk mengimani dan membenarkan a-Quran; tidak mentadaburi dan memahami al-Quran; tidak mengamalkan dan mematuhi perintah dan larangan al-Quran; berpaling dari al-Quran, kemudian berpaling pada selainnya (Ibn Katsir, Tafsîr al-Qurân al-Azhîm, III/335).
Bahkan boleh jadi, saat kita jauh lebih sering membuka HP daripada membuka dan membaca mushaf al-Quran, sesungguhnya kita pun telah mengabaikan al-Quran. NastaghfirulLah al-'Azhim.
Wa ma tawfiqi illa bilLah. [www.visimuslim.org]
Posting Komentar untuk "Tuluskah Kita Mencintai Nabi SAW?"