Menakar urgensi Revolusi Industri 4.0 Bagi Kemaslahatan Umat
Oleh : Nelly, M.Pd (Aktivis Peduli Negeri, Penulis, Pemerhati Problem Sosial Kemasyrakatan)
Revolusi Industri 4.0 telah dicanangkan sebagai agenda dunia pada Forum Ekonomi Dunia 2016, sehingga hal ini menjadi arus besar dihampir semua negeri-negeri Muslim. Saat ini Indonesiapun sudah berada pada tahap awal revolusi industri yang telah dimulai dengan merubah cara hidup, cara bekerja, dan cara kita berhubungan satu sama lain.
Sejauh ini telah terjadi beberapa kali revolusi industri dalam sejarah umat manusia, dimulai dari revolusi industri 1.0 yang berkembang pada pertengahan abad 18 dimana kemunculan mesin uap menggantikan hewan pada saat itu membuat perubahan yang sangat drastis terutama bagi perekonomian dunia. Dilanjutkan dengan revolusi industri 2.0 yang ditandai dengan kemunculan pembangkit tenaga listrik dan motor pembakaran dalam (combustionchamber).
Penemuan ini memicu kemunculan pesawat telepon, mobil, pesawat terbang, dan lainya yang mengubah wajah dunia secara signifikan. Medio 80-an hingga awal 2000-an menjadi penanda munculnya revolusi industri ketiga, hingga saat ini memasuki revolusi industri 4.0 dimana internet perkembangan IT bahkan kecerdasan buatan menjadi suatu hal yang bukan lagi impian semata.
Jika kita saksikan sekilas dengan adanya revolusi industri 4.0 ini banyak harapan adanya peluang efisiensi dan produktivitas yang akan membuka pasar baru dan pertumbuhan ekonomi. Namun disisi yang lain banyak kalangan berpendapat bahwa revolusi ini akan mendatangkan kerisauan tersendiri bagi masyarakat (komunitas), dimana tantangannya adalah bagaimana menyerap dan menampung modernitas baru dengan tetap memeluk nilai-nilai luhur yang mereka miliki.
Karena berbagai akibat dari digitalisasi maka muncul darurat ‘me-centered’ (mementingkan diri sendiri) dalam masyarakat. Revolusi industri tidak hanya merubah apa yang kita lakukan, tapi juga merubah identitas kita pada berbagai aspek, yaitu tingkah laku, privasi, kepemilikan, konsumsi, waktu bekerja, waktu istirahat, gaya hidup, dan juga revolusi industri menimbulkan tantangan khususnya gangguan terhadap tenaga kerja, (dikutip pada laman unja.ac.id).
Ini artinya kedepan jika revolusi industri ini telah pemerintah jalankan akan menambah kerusakan disisi sosial masyarakat, kemudian dalam aspek ketenagakerjaan secara otomatis gelombang PHK dan pengangguran akan semakin meningkat diakibatkan pemangkasan tenaga kerja oleh perusahaan. Maka disinilah perlu kita cermati dan telaah bersama bahwa dengan adanya digitalisasi ini bukanya akan membawa kemaslahatan bagi umat justru akan membawa dampak negatif.
Menarik untuk menyimak laporan hasil riset yang dipublikasikan akhir bulan September tahun 2019 lalu oleh McKinsey Global Institute yang bertajuk “Otomasi dan Masa Depan Pekerjaan di Indonesia, Pekerjaan yang Hilang, Muncul dan Berubah.” Laporan riset itu memaparkan dua skenario tentang masa depan Indonesia seiring dengan kian berimbasnya otomasi pada lanskap pekerjaan, yakni skenario suram sekaligus cerah.
Prediksi Indonesia di tahun 2030 telah memasuki era otomasi 16 persen aktivitas pekerjaan yang berimbas pada hilangnya pekerjaan bagi sekitar 23 juta pekerja. Ini terjadi disaat Indonesia masih menurut prediksi McKinsey Global Institute dengan tingkat pertumbuhan ekonominya yang paling stabil di dunia akan menjadi negara dengan kekuatan ekonomi nomor tujuh di dunia. Bandingkan angka ini dengan jumlah pengangguran di tahun 2019, (data BPS) yang hampir menyentuh angka 7 juta orang. Maka, membengkaknya jumlah pekerja yang akan kehilangan pekerjaannya ditahun 2030 sebagai dampak otomasi diberbagai sektor akan menjadi ancaman serius bagi stabilitas politik, ekonomi dan sosial di negeri ini.
Dampak dari era disrupsi inipun sudah mulai dirasakan sebagian tenaga kerja kita, dilansir dari berita mediaindonesia.com bahwa PT Indosat Tbk mengakui telah melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) kepada 677 karyawannya pada Jumat (14/2) yang lalu. Perusahaan menyebut PHK tersebut merupakan langkah dari upaya transformasi perusahaan untuk bertahan di era disrupsi "Kami percaya langkah ini akan meningkatkan kinerja Indosat, membantu kami untuk tetap kompetitif di tengah tantangan disrupsi, mengoptimalkan layanan kami, dan menghadirkan pengalaman yang lebih baik bagi pelanggan.
Sementara dari laman berita yang dilansir kumparan.com Platform iklan baris OLX Indonesia jadi perhatian netizen Twitter pada Selasa, 4 Februari 2020 yang lalu. Startup yang berdiri sejak 2005 ini diduga melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap sejumlah pegawainya. Dari laman wartabromo.com PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) massal yang melanda ratusan karyawan PT. Karyadibya Mahardika (KDM) Kabupaten Pasuruan cukup mengejutkan. Apalagi, itu terjadi tak lama setelah akuisisi perusahaan Jepang, Japan Tobacco, sekitar 800 lebih karyawan di-PHK oleh manajemen perusahaan. Selain poduksi yang menurun, besaran UMK yang dirasa terlalu tinggi disebut-sebut sebagai alasannya.
PHK massal sebenarnya sudah diprediksi sebagai dampak era disrupsi dan tren digitalisasi namun pemerintah tidak antisipatif terhadap ini. Lagi-lagi rakyat hanya menjadi korban rezim yang latah mengadopsi tren global, ini sekali lagi menegaskan lemahnya kedaulatan politik dan ekonomi negara menghadapi tekanan dan kepentingan negara-negara barat.
Kitapun harus memahami bersama bahwa semua yang datang dari barat itu bukan semuanya sesuatu yang baik dan tidak harus kemudian kita adopsi. Apalagi semua kemajuan teknologi saat ini dikendalikan penuh oleh asing yang driver utamanya adalah prinsip kapitalistik yakni KBE (knowledge-based economy). Dalam sistem kapitalis saat ini yang menguasai dunia, orientasi kehidupan hanyalah dilihat dari bagaimana meraih keuntungan sebesar-besarnya dunia Islam hari ini hanya dijadikan objek dan pasar kepentingan barat. Riset-riset perguruan tinggi di negeri Muslim diadakan untuk melayani kepentingan industri asing yang notabene dimiliki oleh kaum kapitalis.
Harusnya pemerintah mengkaji kembali segala kebijakan yang akan diterapkan, pemerintah harusnya lebih mementingkan kemaslahatan umat bukan malah kepentingan asing yang didahulukan. Karena tugas penguasa adalah sebagai pelayan dan pengurus rakyatnya. Akan tetapi negeri ini masih mengadopsi sistem kapitalis sekuler dalam tata kelola negara, maka segala aturan tentunya hanya akan menuruti pada kepentingan para pemilik modal (kapitalis).
Lantas bagaimana seharusnya kita merespon setiap kemajuan teknologi yang bersal dari barat? Untuk menjawab ini maka hendaknya kita kembali menengok bagaimana sistem yang benar yang berasal dari Allah SWT yaitu sistem Islam khilafah sebagai sebuah sistem kehidupan merespon tren global sejenis ini dan bagaimana potensi Sumber Daya Manusianya justru menjadi modal sehingga Negara bisa lebih maju.
Paradigma negara dalam Islam adalah untuk melindungi dan memelihara jiwa, akal, agama, nasab, harta, kemuliaan, keamanan dan negara. Karena itu, seluruh politik pendidikan dan perindustrian akan disinergikan untuk mewujudkan sistem pendidikan yang visioner sejak dari level dasar, menengah sampai pendidikan tinggi dimana falsafah dan tradisi keilmuannya bersumber hanya dari Aqidah Islam, sehingga lahir generasi berkualitas yang bermental pemimpin dan berintegritas Mukmin, dengan berbagai keahlian dan bidang kepakaran.
Salah satu unsur kejayaan peradaban Islam adalah sains dan teknologi. Bidang ini mengalami beberapa fase, mulai dari kemunculannya, penyebaran, kemajuan, hingga kemunduran. Untuk menunjukkan kemajuan sains dan teknologi Islam pada masa keemasannya, cukuplah kiranya menyebut nama-nama, seperti Jabir bin Hayyan, al-Kindi, al-Khawarizmi, ar-Razi, al-Farabi, at-Tabari, al-Biruni, Ibnu Sina, dan Umar Khayyam.
Tak seorang pun, baik di Timur ataupun di Barat, yang meragukan kualitas keilmuan mereka. Lantas, apa faktor-faktor yang menunjang kemajuan sains dan teknologi Islam pada masa lalu itu? Dalam pendahuluan buku Teknologi dalam Sejarah Islam, Ahmad Y Al-Hassan dan Donald R Hill mengutarakan tujuh faktor kemajuan sains dan teknologi Islam. Ketujuh faktor itu adalah agama Islam, pemerintah yang berpihak pada ilmu pengetahuan, bahasa Arab, pendidikan, penghormatan kepada ilmuwan, maraknya penelitian, dan perdagangan internasional.
Pertama adalah agama Islam. Menurut Al-Hassan dan Hill, agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW ini memberikan dorongan yang sangat kuat kepada umatnya untuk melakukan pencapaian-pencapaian di bidang sains dan teknologi. Alquran memerintahkan umat Islam agar menggunakan akalnya dalam mengamati hakikat alam semesta. Perintah semacam itu di antaranya termaktub dalam surah Arrum [30] ayat 22; Albaqarah [2] ayat 164; Ali Imran [3] ayat 190-191; Yunus [10] ayat 5; dan al-An'am [6] ayat 97. Firman Allah SWT juga sering disertai pertanyaan afala ta'qilun dan afala tatafakkarun (tidakkah kamu sekalian berpikir).
Di samping itu, Islam telah menyatukan seluruh umatnya yang menyebar dari Cina hingga Samudra Atlantik di bawah pengaruh satu bahasa dan ilmu pengetahuan. Dengan demikian, semua orang bebas mengembara ke berbagai kota pusat ilmu pengetahuan, seperti Baghdad, Kairo, Cordoba, dan lain-lain, untuk belajar.
Kedua, pemerintah yang berpihak pada ilmu pengetahuan. Howard R Turner dalam Sains Islam yang Mengagumkan mengatakan bahwa pencapaian di bidang sains dan teknologi sudah menjadi ciri-ciri umum semua dinasti Islam, baik itu dinasti kecil maupun besar. Hampir di setiap kota Islam, ketika itu, terdapat gerakan Arabisasi dan penerjemahan. Di samping itu, juga didirikan akademi-akademi, observatorium, dan perpustakaan.
Ketiga, bahasa Arab. Sejak awal pemerintahan Dinasti Umayyah, ilmu pengetahuan dari Yunani dan India diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Menurut Al-Hassan dan Hill, para sultan ketika itu sepenuhnya menyadari bahwa tidak mungkin ilmu pengetahuan berkembang di dunia Islam jika ilmu-ilmu tersebut tertulis dalam bahasa non-Arab.
Melalui aktivitas terjemahan itu, ilmu pengetahuan menyebar tidak hanya di kalangan penguasa dan intelektual, tetapi juga di masyarakat awam. Melalui penerjemahan itu pula, muncul banyak istilah sains dan teknologi yang baru dari bahasa Arab. Bahkan, bahasa ini dapat dipakai untuk mengekspresikan istilah-istilah ilmu pengetahuan yang paling rumit sekalipun.
Keempat, pendidikan. Untuk memacu laju perkembangan ilmu pengetahuan itu, para khalifah mendirikan sekolah-sekolah, lembaga pendidikan tinggi, observatorium, dan perpustakaan. Perpustakaan yang sangat terkenal pada masa Dinasti Abbasiyah bernama Bayt Al-Hikmah (Rumah Kearifan).
Perpustakaan ini, seperti dicatat banyak sejarawan Islam, memberikan sumbangan yang penting dalam penerjemahan karya-karya ilmuwan dari Yunani dan India ke dalam bahasa Arab. Salah seorang penerjemah buku-buku matematika dari Yunani adalah Tsabit bin Qurrah (836-901).
Kelima, penghormatan kepada ilmuwan. Al-Hassan dan Hill mencatat bahwa para ilmuwan pada era keemasan Islam mendapatkan perhatian yang besar dari kerajaan. Para ilmuwan masa itu dipenuhi kebutuhan finansialnya, bahkan diberi uang pensiun. Kebijakan ini diambil supaya mereka bisa mencurahkan waktu sepenuhnya untuk kegiatan mengajar, membimbing murid, menulis, dan meneliti.
Keenam, maraknya penelitian. Kerajaan mendorong para ilmuwan untuk melakukan penelitian di berbagai bidang. Salah satu contohnya adalah riset ilmu matematika oleh al-Khawarizmi. Sang ilmuwan telah menghasilkan konsep-konsep matematika yang begitu populer dan masih tetap digunakan hingga sekarang. Angka nol yang ada saat ini kita kenal merupakan hasil penemuannya. Angka ini dibawa ke Eropa oleh Leonardo Fibonanci dalam karyanya Liber Abaci.
Ketujuh, perdagangan internasional. Perdagangan internasional menjadi sarana komunikasi yang efektif antarperadaban dan mempercepat proses kemajuan teknologi. Misalnya, karena maraknya kegiatan dagang antara bangsa Arab dengan bangsa-bangsa lain di dunia, ditemukanlah teknologi navigasi. Al-Hassan dan Hill menggarisbawahi bahwa kemajuan sains dan teknologi umat Islam pada masa itu ditentukan oleh stabilitas politik dan ekonomi. Tak mengherankan bila dengan ketujuh faktor itu, dunia Islam menjadi magnet bagi Barat untuk menggali berbagai ilmu pengetahuan dalam Islam. Mulai dari pertanian, perkebunan, kedokteran, perbintangan, kesehatan, kedokteran, matematika, fisika, dan lain sebagainya.
Maka membangun kembali kejayaan Islam saat ini sangat memungkinkan dilakukan oleh dunia Islam apabila mereka bersatu sebagai sebuah peradaban menjadi “kekuatan baru” di kancah perpolitikan dunia. Sebab, negeri-negeri kaum muslimin mempunyai kekuatan SDM dan SDA yang sangat besar, yang apabila disatukan dalam naungan Khilafah tidak ada satu Negara atau bangsapun yang bisa menandinginya.
Kemajuan sains dan teknologi di abad dan jaman keemasan Islam dulu akan kita peroleh kembali. Hal ini serta merta akan menjawab ketergantungan Umat Islam pada teknologi dari negara-negara Barat. Memiliki negara yang maju, visi-misi yang jelas, berdaulat, mampu menjadi mercusuar dan kiblat dunia tentu hanya akan ita raih jika negara ini mau kembali pada tata aturan Islam dalam mengelola negara. Sebagaimana dahulu kanjeng Nabi contohkan. []
Posting Komentar untuk "Menakar urgensi Revolusi Industri 4.0 Bagi Kemaslahatan Umat"