Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Nasib Sertifikasi Halal di Negeri Sekuler


Oleh: Anggun Permatasari


Dari Abu Hurairah Radiyallahuanhu, ia berkata: Rasulullah Sallallahu Alayhi Wasallam bersabda: “Orang mukmin yang kuat itu lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada orang mukmin yang lemah, namun pada masing-masing (dari keduanya) ada kebaikan. (HR. Muslim) 

Dalam syariat Islam, makanan  dan minuman salah satu hal pokok karena akan sangat berpengaruh terhadap aktivitas ibadah. Islam mengatur makanan dan minuman yang boleh atau tidak boleh dikonsumsi.

Allah swt. berfirman dalam alquran Surat Al Baqarah 168: “Wahai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syetan; karena sesungguhnya syetan itu adalah musuh yang nyata bagimu”.

Namun, saat ini umat Islam harus ekstra waspada karena hukum di Indonesia tidak tegas dalam mengatur dan menjaga kehalalan makanan/minuman untuk dikonsumsi umat.

Seperti berita di laman kompas.com bertajuk: Restoran UMKM Terbebas dari Sertifikasi Halal. Bagaimana mungkin negara dengan penduduk muslim terbanyak di dunia bisa lalai terhadap kebijakan halal-haram produk makanan/minuman?

Padahal, sudah menjadi pemahaman bersama kalau makanan dan minuman yang masuk ke dalam tubuh kita nantinya akan berpengaruh terhadap watak/karakter manusia. 

Melalui Staff Bidang Hubungan Ekonomi, Politik, Hukum dan Keamanan Ellen Setiadi, pemerintah menegaskan tidak menghapuskan kewajiban produk halal. Pihaknya hanya menyederhanakan perizinan untuk mendapatkan sertifikat halal. Untuk lebih detailnya masih dibahas dengan Kementerian Agama. (CnbcCnbcIndonesia.com) 

Padahal, dari bisik-bisik yang beredar pemerintah memang tengah mengebut perumusan RUU tentang Omnibus Law dan agar segera dibahas di parlemen agar lekas berdampak positif untuk menggenjot pertumbuhan investasi.

Sudah menjadi rahasia umum di negeri yang mengadopsi sistem ekonomi kapitalis sekuler, penguasanya materialistis. Walaupun memiiki jargon dari rakyat untuk rakyat, namun kebijakan yang dibuat tidak pro rakyat. Kalaupun memberikan manfaat, hanya akan berputar pada segelintir orang atau kelompok saja.

Menteri Koperasi dan UMKM Teten Masduki menjelaskan, biaya pembuatan sertifikat halal akan lebih mahal kalau setiap produk harus bersertifikat halal. Jadi, diusulkan agar sertifikasi bukan lagi pada produk jadi, namun pada bahan bakunya.

Dengan demikian, sertifikasi tidak dibebankan kepada pelaku UMKM, namun kepada produsen bahan baku.

Jaminan halal pada UKM akan dihapus dengan alasan menggenjot produktifitas dan kemudahan. Jadi, cukup jaminan halal di tingkat produsen. Namun, mengabaikan jaminan halal di tingkat pengolahan, (produksi) dan distribusi.

Padahal, selain fisik dan jenis makanan dan minuman itu sendiri, Islam mensyariatkan tata cara pengolahan makanan tersebut agar bermanfaat (thayib) dan barokah. Bahkan, Islam mengatur sumber rezeki untuk mendapatkannya.

"Sungguh daging yang tumbuh dari barang haram tidak akan masuk surga; neraka lebih pantas untuknya.” (HR. Ahmad, al-Tirmidzi dan selainnya. Dishahihkan Syaikh Al-Albani di Silsilah Shahihah, no. 2609)

Untuk pembiayaan yang dikeluhkan pihak UMKM, harusnya negara memberikan fasilitas tersebut secara gratis baik saat pendaftaran maupun pengawasan secara berkala. Faktanya, banyak restoran yang enggan mendaftarkan produknya dengan alasan biaya yang cukup mahal.

Seperti inilah nasib jaminan halal di negeri para wali. Namun, begitu semrawutnya regulasi terkait kehalalan produk makanan/minuman sangat wajar terjadi di negeri sekuler yang memisahkan aturan Tuhan dengan kehidupan manusia. Lahirnya aturan yang ada tidak lebih karena desakan publik semata. Oleh sebab itu, aturan yang dikeluarkanpun seolah hanya untuk meredam gejolak publik. 

Daulah Islam sangat ketat mengatur dan menjaga kehalalan makanan/minuman yang akan dikonsumsi umat. Namun, hal itu tentunya tidak sejalan dengan misi negara sekuler sehingga, aturannya rawan dimanipulasi demi tercapainya kepentingan bisnis materialistik.

Padahal, sejatinya jaminan produk halal yang diatur dalam syariat Islam, ternyata bukan hanya memberi perlindungan bagi umat Islam, namun juga bermanfaat bagi masyarakat secara luas. Pasalnya produk dengan jaminan halal senantiasa mengedepankan kebersihan dan kesehatan. 

Contoh, dalam penyembelihan daging. Daging yang disembelih sesuai syariat Islam membuat darah keluar maksimal dari pembuluh darah vena yang terletak di leher sehingga daging lebih sehat dan bebas penyakit. Sedangkan, penyembelihan ala barat melalui proses pemingsanan sehingga membuat darah membeku di dalam urat-urat darah dan daging, sehingga dihasilkan daging yang tidak sehat. Yang demikian tidak layak untuk dikonsumsi oleh manusia.

Islam juga mengatur berkaitan dengan minuman. Seperti pelarangan meminum khamar atau minuman beralkohol lainnya. 

Dari Ibnu Tamiyyah dia berkata: Rasulullah tidak hanya melarang meminum minuman keras, tetapi juga segala aktivitas yang berkaitan dengan itu, mulai dari bahan baku, misal; penjualan buah untuk dijadikan minuman keras, menerima atau memberikannya sebagai hadiah, menjual serta mendistribusikannya.

Rasulullah juga tidak segan menolak undangan jamuan makan dari siapa saja yang di dalamnya menyajikan minuman keras. Pelarangan ini berlaku untuk internal komunitas Muslim dan komunitas Muslim dengan komunitas non-Muslim.

Kebijakan daulah bukan hanya berkaitan dengan status halal-haram melainkan juga mengenai sanksi terhadap pelanggarannya.

Rasulullah saw. tidak segan menghancurkan minuman keras, dan melakukan penahanan oleh petugas keamanan. Sanksi tersebut diberikan kepada mereka yang minum minuman keras.

Abu Bakar memberlakukan hukuman cambuk 40 kali untuk mereka yang kedapatan mabuk.

Hukuman cambuk sebanyak 80 kali serta penolakan kesaksian mereka yang mabuk berlaku hingga zaman kepemimpinan Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib.

Jelaslah bahwa aturan Islam yang sedemikian ketat mengatur kehalalan produk makanan/minuman semata-mata bertujuan untuk kebaikan manusia. Sejatinya, umat Islam sadar agar segera bangkit kembali kepada alquran dan assunah agar aqidah, jiwa, kemuliaan dan kehormatan terjaga. Wallahualam. []

Posting Komentar untuk "Nasib Sertifikasi Halal di Negeri Sekuler"

close