Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kartu Pra Kerja, Bukti Gagal Fokus Penanganan Corona



Oleh: Ragil Rahayu, SE

Kalangan milenial menyerbu pendaftaran kartu Pra Kerja. Dari 5 juta-an pendaftar, 200 ribu orang sudah resmi menjadi pemegang kartu Pra Kerja gelombang 1. Dalam program ini, peserta akan mendapat insentif sebesar Rp3.550.000. Terdiri dari bantuan pelatihan sebesar Rp1 juta, insentif pascapelatihan sebesar Rp600 ribu per bulan selama 4 bulan, serta insentif survei bekerja sebesar Rp50 ribu setiap kali survei selama 3 kali survei atau sejumlah Rp150 ribu.

Pelatihan Unfaedah

Kartu Pra Kerja dinilai banyak pihak tidak efektif mengatasi dampak ekonomi wabah corona. Rakyat banyak yang di-PHK. Mencari pekerjaan di masa seperti ini sangatlah musykil karena ekonomi sedang lesu. Justru yang terjadi, banyak usaha yang tutup. Pelatihan kerja online yang didanai dari kartu pra kerja tak dibutuhkan masyarakat alias unfaedah. 

Rakyat lebih membutuhkan bantuan tunai. Karena perut yang lapar butuh makan. Pemerintah menyuruh rakyat di rumah saja, untuk social distancing. Namun, di sisi lain rakyat disuruh ikut pelatihan kerja, untuk selanjutnya mencari kerja. Kedua kebijakan ini kontradiktif. Yang benar, rakyat disuruh di rumah atau disuruh kerja? Sungguh paradoks. 

Kebijakan akan sinkron jika rakyat disuruh di rumah saja, lalu pemerintah memberi bantuan tunai untuk dibelikan sembako. Sembakonya harus beli di pedagang kecil sehingga ekonomi bergerak. Kebijakan ini juga mendukung upaya penghentian penyebaran virus corona. Karena rakyat kecil tak perlu terjun ke jalan, mempertaruhkan nyawa demi sesuap nasi. 

Kartu Pra Kerja juga dinilai merugikan negara. Pemegang kartu diharuskan mengikuti pelatihan online yang diadakan start up. Dana akhirnya mengalir ke dompet start up seperti Ruangguru, MauBelajarApa, Pintaria, Sekolah.mu, Pijar Mahir, Bukalapak, Tokopedia, dan OVO. Para kapitalis inilah yang diuntungkan dari program kartu Pra Kerja. Kebijakan negara dibuat untuk menguntungkan para kapitalis, bukan menyejahterakan rakyat. Rakyat hanya dijadikan alasan untuk mengucurkan uang negara bagi para kapitalis. 

Perusahaan startup menawarkan pelatihan dengan harga mahal. Berdasarkan penelusuran CNNIndonesia.com, Ruangguru, menawarkan 19 paket kelas online dengan harga Rp1 juta per paket dengan jumlah 5-6 kelas. Sedangkan Pintaria menawarkan 26 kelas dengan harga tertinggi Rp700 ribu untuk kelas pengelola acara profesional. Padahal materi pelatihan yang mereka berikan bisa didapatkan di youtube secara gratis. 

Program kartu Pra Kerja menunjukkan bahwa pemerintah gagal fokus dalam penanganan wabah corona. Seharusnya pemerintah fokus menghentikan penyebaran virus corona. Yaitu dengan melakukan lockdown. Semua rakyat harus di dalam rumah, tidak boleh ada yang jeluar untuk bekerja ataupun sekolah. Hanya profesi tertentu seperti paramedis, polisi, damkar, dll yang bekerja. Selama lockdown, negara memberi bantuan pangan pada warga negara. Sehingga mereka bisa di rumah saja dengan tenang. 

Kebijakan pemerintah yang kontraproduktif ini akan mempersulit penyelesaian wabah corona. Rakyat masih berseliweran di jalan karena butuh bekerja demi mengganjal perut. Sementara pemberian sembako tidak berdampak luas. Pekerja harian tetap harus mengadu nyawa setiap hari. Hingga muncul pemikiran: Di luar rumah mati karena corona, di dalam rumah mati karena kelaparan. Lebih baik mati di luar rumah dalam kondisi berjuang demi keluarga. Sungguh miris! 

Jika pemikiran seperti ini meluas, makin sulit bagi kita untuk menghentikan penyebaran corona. Perlu waktu lebih panjang dan dana lebih besar lagi hingga wabah ini berakhir. Selama itu, korban akan makin banyak berjatuhan. Korban itu bisa jadi  diri kita sendiri. Tentu kita tak menginginkan hal tersebut terjadi. Wabah harus segera dihentikan. Untuk itu butuh kebijakan yang sinkron dan kepemimpinan yang kuat. Hal ini hanya ada dalam sistem Islam. 

Kebijakan Khilafah: Sinkron dan Efektif 

Saat wabah, khilafah memberlakukan lockdown dan social distancing sekaligus. Lockdown, maksudnya mengarantina sebuah wilayah yang menjadi pusat wabah. Penduduk yang di luar tak boleh masuk, penduduk yang di dalam tak boleh keluar. Petugas ditempatkan di perbatasan untuk mencegah lalulintas orang. Ini seperti yang dilakukan khalifah Umar bin Khaththab ketika wabah terjadi di Syam.

Social distancing diberlakukan di dalam wilayah wabah. Antar orang harus berjauhan agar yang sakit tidak menulari yang sehat. Negara melakukan pengujian secara cermat terhadap penduduk melalui alat uji yang direkomendasikan ahli kesehatan. Sehingga yang sakit bisa segera dikarantina dan diobati. Sedangkan yang sehat bisa melakukan aktivitas yang wajib seperti shalat jumat dan jamaah di masjid bagi laki-laki muslim. Social distancing ini sudah dicontohkan oleh Gubernur Amr bin al Ash saat wilayah yang dipimpinnya yaitu Syam terkena wabah. Di bawah kepemimpinannya, wabah tersebut bisa terselesaikan. 

Selama terjadi wabah, negara menjamin pemenuhan kebutuhan pangan dan layanan kesehatan bagi wilayah yang terkena wabah. Sehingga rakyat bisa menjalankan lockdown dan social distancing secara optimal. Dana untuk pemenuhan kebutuhan pangan ini diambilkan dari pos Ath Thawari (bencana alam dan lainnya) yang didanai dari pemasukan fai' wa kharaj. 

Jika dana ini tak cukup, khilafah bisa melakukan realokasi dari pos yang tidak mendesak seperti pembangunan infrastruktur. Jika dana masih kurang lagi, khilafah bisa melakukan pinjaman non-ribawi pada rakyat yang kaya atau memungut pajak dari rakyat yang kaya. Pemungutan pajak dan pinjaman ini bersifat sementara dan seperlunya. Sehingga membutuhkan penghitungan anggaran yang cermat. Karena setiap keping uang adalah amanah dari rakyat yang harus ditunaikan sebaik mungkin. 

Para pejabat khilafah sudah terkenal amanahnya dalam menjaga uang rakyat. Kisah Khalifah Umar bin Abdul Aziz bisa menjadi tamsil atas hal ini. Sang khalifah memadamkan lampu yang didanai negara saat anaknya mengajak berbincang urusan pribadi. 

Inilah gambaran bagusnya penyelesaian wabah dalam khilafah. Kebijakannya sinkron, tidak saling kontradiktif. Sehingga kebijakan tersebut efektif menyelesaikan wabah. Pemimpinnya tegas dan amanah. Bekerja demi Allah SWT, bukan mengabdi pada kepentingan pengusaha kapitalis. 

Kita butuh solusi Islam ini. Namun jika sistemnya masih korup seperti sekarang, solusi itu tak bisa dilaksanakan dengan optimal. Butuh perubahan sistem dan kepemimpinan, yaitu menjadi sistem yang benar (Islam) dan kepemimpinan yang amanah (khilafah). Semoga solusi ini bisa segera terwujud. Wallahu a'lam bishshawab. 

Posting Komentar untuk "Kartu Pra Kerja, Bukti Gagal Fokus Penanganan Corona"

close