Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kisah Dokter Muda di Indonesia, Atasi Wabah Menular di Kota Malang Tanpa Kenakan APD


Malang-Visi Muslim- Wabah penyakit menular nyatanya bukan baru kali ini dialami Indonesia. Sekitar awal abad ke 20, tepatnya tahun 1911 hingga 1916 Indonesia yang kala itu masih menjadi daerah Kolonial Hindia Belanda pernah diserang wabah penyakit menular, yakni Pes.

Penyakit yang ditularkan melalui tikus yang terinfeksi basil Pes tersebut menjadi catatan hitam dalam sejarah Indonesia. Karena ribuan nyawa melayang hanya dalam hitungan tahun saja. Wabah tersebut pertama kali menyerang Kota Malang.

"Alumnus Jurusan Sejarah Universitas Indonesia (UI), Syefri Luwis yang memiliki konsentrasi mengenai sejarah penyakit di Indonesia sebelumnya sempat melakukan penelitian di Malang. Untuk menyelesaikan program Sarjananya, Syefri mengangkat tulisan tentang Pemberantasan Penyakit Pes di Malang, 1911-1916 (2008).

Dari hasil risetnya, Syefri menyebut jika ada banyak fakta menarik di balik persebaran penyakit menular saat itu. Selain ada upaya karantina lokal, pemberantasan penyakit menular itu juga melibatkan benyak dokter muda dan berbakat di berbagai wilayah Nusantara.

Salah satu tokoh yang tercatat sangat berjasa dalam penanganan wabah Pes di Kota Malang kala itu adalah dr. Tjipto Mangoenkoesoemo.

Tokoh luar biasa yang kemudian juga menjadi tokoh pergerakan di Indonesia itu sampai saat ini selalu dikenang lantaran jasanya yang sangat luar biasa.

Syefri bercerita, Pes merupakan salah satu jenis penyakit menular yang cukup ditakuti. Karena sebelum menyerang Jawa, penyakit tersebut terlebih dulu memberi catatan hitam dalam sejarah Eropa. Jutaan nyawa melayang lantaran jenis penyakit menular tersebut.

"Saat Pes menyerang Jawa, tepatnya di Malang, dokter Belanda dan Eropa pada dasarnya mengetahui itu. Tapi sebagian besar dari mereka enggan untuk terjun langsung menyelamatkan pasien," katanya saat dihubungi MalangTIMES melalui jaringan seluler.

Para dokter Bumiputera dengan pengalaman terbatas tentang penyakit Pes pun akhirnya terjun langsung menyelamatkan masyarakat. Akhirnya, banyak tenaga medis yang turut gugur saat melaksanakan tugasnya.

Karena selain hanya berbekal pengalaman seadanya, para dokter muda tersebut juga tak dilengkapi dengan Alat Pelindung Diri (APD) yang mumpuni. Sehingga, penanganan hanya berlangsung begitu saja.

"dr. Tjipto Mangunkusumo merupakan satu diantara banyaknya tenaga medis saat itu yang berjuang menyelamatkan nyawa masyarakat, meski tanpa mengenakan APD," imbuhnya.

Padahal, APD saat itu menjadi salah satu alat yang sangat penting dikenakan dokter. Pasalnya, dokter dan tenaga medis harus bersentuhan langsung dengan pasien yang terinfeksi penyakit menular tersebut.

Saat dalam misi penyelamatan itu, dr Tjipto menemukan seorang bayi yang menangis di samping orangtuanya yang telah meninggal dunia. Bayi perempuan itu kemudian ia beri nama Pestiati dan diangkat sebagai anak.

"Bayi tersebut diselamatkan dan terbebas dari penyakit Pes setelah diobati. Lalu bayi tersebut diangkat anak oleh dr Tjipto dan istrinya," tambah Syefri.

Atas pengabdiannya, pemerintah Belanda memberikan penghargaan pada dr Tjipto berupa bintang Orde van Oranje Nassau (kepahlawanan Belanda) pada 1912. Namun penghargaan itu kemudian dikembalikan dr Tjipto lantaran ia tak diberikan izin untuk turut membasmi penyakit Pes yang mewabah di Solo.

Penolakan Belanda agar dr Tjipto tak turut mengatasi wabah Pes di Solo dilatarbelakangi sifat kritis dr Tjipto. Karena bukan hanya aktif menyembuhkan masyarakat lantaran wabah Pes, dr Tjipto juga mengkritik habis-habisan pemerintah Kolonial Hindia Belanda dalam mengatasi isu kesehatan.

"Bentuk protes dr Tjipto, bintang kebesaran itu diletakkan di pantat dr Tjipto. Sehingga membuat orang-orang harus hormat pada pantat beliau," terangnya sembari tertawa di balik telepon.

Selain dr. Tjipto Mangoenkoesomo, pada saat itu tentu ada banyak tenaga medis luar biasa yang berjuang atas nama kemanusiaan. Bahkan, tak sedikit calon dokter yang masih menjalani masa studi tahun akhir di STOVIA harus terjun langsung mengatasi wabah tersebut.

"Bisa dibayangkan, bagaimana dokter muda harus bergelut seperti itu. Ada sangat banyak tenaga medis yang berguguran," pungkasnya. [] Malang Times

Posting Komentar untuk "Kisah Dokter Muda di Indonesia, Atasi Wabah Menular di Kota Malang Tanpa Kenakan APD"

close