Abnormalitas "New Normal Life" Indonesia


Oleh : Ifa Mufida (Pemerhati Kebijakan Publik)

Sejak awal mula wabah corona, penguasa negeri katulistiwa ini nampak gagap dan tak siap. Berlanjut dengan diputuskannya kebijakan yang tidak tepat, bahkan membingungkan dan menyakiti rakyat. Bagaimana tidak, kebijakan yang plin-plan membuat rakyat tersisihkan. Mereka minta rakyat berdiam, tapi bantuan kebutuhan diberikan sangat minimal. Ketika PSBB diberlakukan,  bandara dibebaskan dan tenaga asing masuk dibiarkan. Rumah ibadah minta dikosongkan, tapi mall-mall yang ramai tidak dilarang.  Kebijakan mudik pun tak serius ditegakkan hingga lalu lintas orang tak bisa dikendalikan.

Ketika di awal, ada sikap yang meremehkan hingga berujung pada banyaknya korban yang tak terbendung. Kini, bendera putih telah dikibarkan, sebagai  tanda ketidakmampuan penguasa menangani wabah. Seperti dilansir oleh kompas.com, wapres mengakui bahwa virus corona bukan sesuatu yang mudah untuk dihadapi. Alasannya, menurut wapres, Indonesia memiliki jumlah penduduk yang besar dibanding negara-negara ASEAN lainnya sehingga covid 19 akan lebih sulit dan kompleks dalam penanganannya.

Kebijakan "New Normal Life" akhirnya menjadi kebijakan paripurna. Menurut Ketua Tim Pakar Gugus Tugas Percepatan dan Penanganan Covid-19, Wiku Adisasmita, yang dimaksud "new normal" adalah menjalani kehidupan sebagaimana biasa sebelum adanya covid 19, ditambah dengan protokoler kesehatan. Hal ini dilakukan karena belum ditemukannya obat dan vaksin corona. Pertanyaannya? Apakah saat ini Indonesia sudah "pantas" menerapkan kebijakan ini?

Faktanya kondisi di Indonesia justru masih dalam kondisi yang kritis. Bahkan masih di puncak kurva pandemi. Hingga beberapa RS sudah kewalahan menghadapi bertambahnya kasus yang semakin tak terkendali. Sangat berbeda dengan beberapa negara yang telah terlebih dahulu menerapkan "new normal" menyikapi pandemi. Vietnam misalnya, wajar jika menerapkan "new normal" karena  jumlah kematian akibat covid di angka 0 dan kurva positif  mengalami penurunan yang signifikan. Maka patutlah jika "new normal life" diberlakukan.

Di kala kasus covid-19 terus meninggi, pemerintah harusnya mengoptimalisasi kebijakan pengetesan massal, pelacakan kontak dan isolasi terhadap mereka yang terinfeksi. Pemerintah yang memilih kebijakan PSBB seharusnya menyadari bahwa potensi penularan masih dimungkinkan terjadi di mana-mana. Tersebab, PSBB tidak mewajibkan semua masyarakat diam di rumah dan menghentikan potensi sebaran virus. 

Maka, jika Indonesia menerapkan skenario ini hanya karena khawatir akan mempercepat ajal kehancuran ekonomi maka sungguh tak bisa dimengerti. Terlebih jika hanya mengikuti tren dunia, dimana banyak negara yang mengambil kebijakan tersebut maka seolah "indah" diikuti. Kalau demikian, maka sekali lagi betapa penguasa negeri ini telah mengalami abnormalitas yang sedemikian parah dan jika terus dilanjutkan justru akan semakin cepat membunuh negeri ini.

Sebagaimama menurut peneliti INDEF, penerapan "new normal"  dengan kurva positif virus corona yang masih meningkat justru akan menyebabkan lambatnya pemulihan ekonomi nasional. Tersebab, bisa dipastikan masyarakat masih khawatir ke pusat perbelanjaan selain juga tidak adanya jaminan keselamatan dan biaya kesehatan. Belum lagi ancaman malapetaka adanya wabah covid-19 jilid 2 tak bisa dipandang sebelah mata.

Namun, sebenarnya Indonesia tak sendiri ketika memilih kebodohan ini. Adalah USA yang konon menjadi negara adidaya kapitalis dunia saat ini juga tak punya pilihan lain selain berdamai dengan corona. Di tengah melesatnya korban positif dan kematian akibat corona, Presiden Trump, justru terus mengambil langkah kontroversial.

Trump menandaskan, “Dengan atau tanpa vaksin, kita kembali beraktivitas!” Padahal fakta saat ini, AS masih menjadi negara dengan kasus corona terbanyak di dunia, 1,6 juta orang positif dan 338 ribu orang meninggal dunia. Demikianlah, potret dunia saat ini ketika kapitalisme-sekuler bertahta. Kebijakan menormalisasi sistem ekonomi kapitalisme yang mandek dipandang jauh lebih penting dibanding menyelamatkan nyawa rakyatnya. 

Harusnya, fakta carut marutnya kapitalisme-sekuler menangani wabah berbuah pelajaran untuk manusia. Telah nyata kekuasaan yang tak berbasis pada akidah Islam hanya akan melahirkan kerusakan. Bertolak belakang dengan kekuasaan yang tegak di atas landasan iman. Kekuasaan Islam telah terbukti membawa kebaikan dan keberkahan bagi seluruh alam. 

Kekuasaan Islam senantiasa menempatkan urusan umat sebagai urusan utama. Semakin tampak  saat negara dalam keadaan ditimpa kesulitan. Baik karena bencana, wabah atau  karena serangan musuh-musuhnya. Di situasi seperti ini, negara selalu tampil sebagai perisai pertama. senantiasa  membela rakyat dan mendahulukan kepentingan mereka dibanding kepentingan dirinya.

Tak heran jika di bawah kekuasaan Islam, benih-benih peradaban cemerlang bermunculan demi memberi jalan keluar terhadap berbagai persoalan. Sejarawan Will Durant secara jelas dan lugas dalam bukunya menjelaskan berkenaan dengan jaminan kesehatan Islam.

“Islam telah menjamin seluruh dunia dalam menyiapkan berbagai rumah sakit yang layak sekaligus memenuhi keperluannya. Contohnya adalah al-Bimaristan yang dibangun oleh Nuruddin di Damaskus tahun 1160, telah bertahan selama tiga abad dalam merawat orang-orang sakit tanpa bayaran dan menyediakan obat-obatan gratis. Para sejarawan berkata bahwa cahayanya tetap bersinar tidak pernah padam selama 267 tahun.” (Will Durant – The Story of Civilization).

Sudah saatnya umat kembali ke pangkuan sistem Islam. Sistem yang menjadikan  penguasanya siap menjalankan amanah sebagai pengurus dan perisai umat. Sistem yang dibangun atas dasar aqidah dan syariat Islam.  Hingga menjadikan kehidupan dilingkupi keberkahan dan kemuliaan sebagai sebaik-baik umat. Wallahu a'lam bi showab. []

Posting Komentar untuk "Abnormalitas "New Normal Life" Indonesia"