Cukupkah Pemerintah Hanya Minta Maaf?


Jakarta, Visi Muslim- Wapres Ma’ruf Amin mengucapkan permintaan maaf pada masyarakat atas kesulitan pemerintah menangani Corona.

“Kami pemerintah mohon maaf karena memang bahaya belum hilang, bahaya corona ini belum hilang. Untuk menghilangkan ini bukan sesuatu yang mudah. Karena Indonesia ini, selain corona juga merupakan virus yang sulit dihadapi, kita bangsa Indonesia itu memiliki jumlah penduduk yang besar dibanding negara-negara AS kata Ma’ruf dalam siarannya di kanal Youtube BNPB, Kamis (21/5). Lebih lanjut, Wapres menyinggung wilayah Indonesia yang sangat luas menjadi faktor kesulitan tersendiri dalam menghadapi wabah ini.

Komentar:

Permintaan maaf Wapres Ma’ruf Amin meski patut diapresiasi tapi tidak menunjukkan persoalan yang sesungguhnya. Pandemi covid-19 hingga jelang akhir Ramadhan justru menunjukkan grafik yang meningkat. Pada tanggal 21 Mei jumlah warga terinfeksi tembus 973 kasus lalu pada 22 Mei mencapai 634 orang.

Menanggapi memburuknya keadaan wapres malah berlindung dibalik jumlah penduduk dan luasnya wilayah. Padahal melihat jejak rekam penanganan pandemi oleh negara, persoalan terbesar justru pada pemerintah sendiri, bukan sekedar luasnya wilayah dan jumlah penduduk.

Pertama, negara sedari awal telah meremehkan ancaman pandemi. Lonceng peringatan sebenarnya telah dibunyikan banyak pihak, tapi pemerintah masih terus membantah. Tak ada persiapan serius menghadang pandemi; menyiapkan sarana dan prasarana penanganan wabah di seluruh wilayah tanah air, tak ada protokoler yang pasti dan efektif, tak ada edukasi pada publik, dan menyiapkan anggaran yang cukup untuk menjamin kehidupan masyarakat.

Kedua, mengingkari UU Kesehatan 6/2018. Padahal Undang-undang itu ditandatangani oleh Presiden Jokowi. Dalam undang-undang tersebut diatur pasal karantina wilayah, serta peran dan tanggung jawab negara memberi jaminan kebutuhan hidup rakyat selama masa karantina. Namun pemerintah mengelak dari aturan tersebut dan memilih PSBB. Kalau begitu untuk apa undang-undang yang dibuat dengan biaya mahal malah diabaikan?

Ketiga, menyerahkan PSBB pada pemerintah daerah, lalu menyalahkan mereka. Berkali-kali pemerintah pusat menyalahkan dan menganulir kebijakan pemda. Misalnya melalui Menko Maritim Luhut Binsar Panjaitan, pemerintah menolak penutupan KRL kawasan Jabodetabek yang diusulkan pemda DKI, padahal potensi penularan pada moda transportasi tersebut amat tinggi. Pemerintah pusat juga menolak kebijakan lockdown sejumlah pemda semisal DKI Jakarta, hingga akhirnya diubah menjadi PSBB.

Keempat, tak punya data riil warga yang menyebabkan carut marutnya bantuan sosial pada warga. Parahnya lagi keadaan ini menyebabkan terjadinya konflik di tengah warga antara yang mendapatkan bantuan dengan yang tidak. Di Merangin, Jambi, warga sampai merusak kantor desa dan membakar pos Covid-19 akibat semrawutnya bantuan sosial.

Kelima, tetap membuka pintu kedatangan TKA asal Cina. Ketika negara lain menutup jalur kedatangan dari luar negeri, terutama dari Cina, pemerintah pusat tetap mengizinkan TKA asal Cina berdatangan. Hal ini memicu konflik dengan warga dan pemda setempat.

Keenam, inkonsisten dalam kebijakan. Pemerintah pusat berkali-kali menunjukkan sikap inkonsisten terhadap keputusan mereka sendiri. Selain menolak lockdown, pemerintah juga plin plan dalam persoalan mudik. Melarang mudik tapi tetap membuka jalur transportasi. Memulangkan balik arus mudik darat dan merazia bus serta berbagai kendaraan, tapi membuka bandara hingga terjadi penumpukan penumpang. Melarang aktivitas kaum muslimin di mesjid untuk shalat berjamaah, jum’at, tarawih termasuk shalat iedul fitri, tapi membiarkan mall buka dan dijejali pengunjung, termasuk konser BPIP, dsb.

Karenanya, pemerintah tak cukup hanya dengan meminta maaf, tapi juga harus bertanggung jawab atas semua persoalan yang berkaitan dengan wabah. Permintaan maaf itu terkesan meminta rakyat memaklumi ketidakbecusan dan ketidakseriusan pemerintah. Padahal akibat kebijakan yang semrawut ini nyawa rakyat dipertaruhkan.[] IwanJanuar/LS

Posting Komentar untuk "Cukupkah Pemerintah Hanya Minta Maaf?"