Kasus Rasisme Membuka Kedok Kesejahteraan Amerika
Oleh: Ragil Rahayu, SE
Negara yang kaya raya. Itulah citra Amerika Serikat (AS) selama ini. Negeri Paman Sam ini menempati urutan pertama negara dengan perekonomian terbesar dunia. Produk Domestik Bruto (PDB) negara tersebut mencapai US$ 22,32 triliun pada 2019, dengan pertumbuhan 2,1% (katadata, 24/2/2020). Namun kasus rasisme yang tengah terjadi di Amerika kini membuka kedok negara tersebut.
Akibat isu rasisme, demonstrasi besar-besaran terjadi di sana. Bermula dari kematian seorang warga Afrika Amerika George Floyd atas perlakuan polisi Minneapolis yang menangkapnya 25 Mei lalu. Demo juga makin menjadi lagi, saat Jumat (12/6/2020) Rayshad Brooks yang juga warga Afrika Amerika, harus meregang nyawa di tangan aparat di Atlanta.
Ketimpangan Ekonomi
Presiden Federal Reserve Bank of Dallas, Robert Kaplan menyatakan bahwa kasus rasisme akan memperlambat pertumbuhan ekonomi AS. Tingkat pengangguran yang tinggi antara masyarakat kulit hitam dan keturunan Hispanik menjadi kunci dari perlambatan ekonomi tersebut. Kaplan menyatakan bahwa ekonomi yang lebih inklusif di mana setiap orang memiliki peluang akan berarti pertumbuhan tenaga kerja lebih cepat, pertumbuhan produktivitas lebih cepat, dan akan tumbuh lebih cepat (cnbcindonesia.com, 15/6/2020).
Rasisme dan ketimpangan masih merajalela di AS. The Economist melaporkan warga kulit hitam di Amerika masih mengalami disparitas ekonomi, kesehatan bahkan hukum. Privilese atau hak istimewa yang dimiliki warga kulit putih membuka lebar jarak dengan warga kulit hitam. Ketimpangan kekayaan antara si hitam dan si miskin bahkan lebih lebar dari gap pendapatannya.
Ketimpangan ekonomi terjadi secara riil di Amerika. Berikut adalah sejumlah fakta tentang ketimpangan ekonomi di Amerika yang bersumber dari Pew Research Center:
1. Data Biro Sensus pada 2018 menyebutkan, dalam 50 tahun terakhir, 20 persen rumah tangga AS terus-menerus memiliki pendapatan tertinggi.
2. Data dari Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD), ketimpangan pendapatan di AS merupakan yang tertinggi dari semua negara G7. Pada 2017, AS memiliki koefisien Gini sebesar 0,434.
3. Kesenjangan pendapatan kulit hitam-putih bertahan sejak 1970. Menurut data Survei Populasi terbaru, pendapatan rumah tangga kulit hitam rata-rata adalah 61 persen dari pendapatan rumah tangga kulit putih rata-rata pada 2018.
4. Secara keseluruhan, 61 persen orang Amerika merasakan ketimpangan.
5. Kesenjangan kekayaan antara keluarga terkaya dan termiskin meningkat lebih dari dua kali lipat sejak 1989 hingga 2016.
6. Pendapatan kelas menengah tumbuh lebih lambat daripada pendapatan tingkat atas dalam lima dekade terakhir.
Akibat Sistem Kapitalisme
Ketimpangan ekonomi di Amerika terjadi karena penerapan kapitalisme. Kapitalisme adalah sistem ekonomi di mana perdagangan, industri dan alat-alat produksi dikendalikan oleh pemilik swasta dengan tujuan memperoleh keuntungan dalam ekonomi pasar. Dalam sistem ekonomi kapitalisme, sumber daya alam yang seharusnya milik umum dikuasai oleh individu (swasta). Sehingga segelintir individu bisa menguasai mayoritas kekayaan negara dan bahkan dunia.
Dalam kapitalisme, berlaku prinsip persaingan bebas. Yakni semua individu bebas bersaing dalam ekonomi tanpa campur tangan negara. Akibatnya individu yang bermodal besar memenangkan persaingan. Sementara individu yang bermodal minim kalah bersaing. Jadilah yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin. Jurang pendapatan makin dalam. Namun tolok ukur kesejahteraan yang digunakan bertumpu pada tingkat PDB. Sehingga yang tampak adalah kekayaan total seluruh rakyat. Padahal kekayaan yang besar itu hanya dinikmati segelintir kapitalis.
Protes rakyat terhadap ketimpangan ekonomi di AS juga pernah terjadi pada 17 September 2011. Gerakan itu disebut Occupy Wall Street (OWS). Digelar di Zuccotti Park, distrik keuangan Wall Street New York City. Para aktivis memrotes ketidaksetaraan ekonomi dan sosial, pengangguran tinggi, kerakusan, serta korupsi, dan pengaruh perusahaan terhadap pemerintah. Slogan "We are the 99%" disuarakan para demonstran. Hal ini merujuk pada ketidaksetaraan pendapatan dan kekayaan antara orang-orang kaya (1%) dan seluruh penduduk Amerika.
Islam Mewujudkan Kesejahteraan yang Merata
Ketimpangan ekonomi di Amerika dan seluruh dunia (termasuk Indonesia) terjadi karena buruknya distribusi kekayaan. Terjadi monopoli kekayaan milik umum oleh segelintir individu (swasta). Islam melarang tegas penguasaan individu terhadap kepemilikan umum seperti tambang minyak, emas, batu bara, timah, dan semua jenis tambang yang memiliki deposit besar. Islam juga melarang individu menguasai hutan, laut, padang rumput, sungai dan yang sejenisnya karena terkategori milik umum.
Semua kekayaan milik umum adalah milik seluruh rakyat. Negara mengelolanya secara profesional untuk kesejahteraan rakyat. Hasil pengelolaan kepemilikan umum diberikan pada rakyat berupa produk (misalnya BBM dan gas murah) dan layanan publik (pendidikan, kesehatan, keamanan). Semua rakyat bisa menikmati hasil pengelolaan kekayaan milik umum ini. Hasilnya adalah kesejahteraan yang merata di dalam sistem Islam (khilafah).
Keberhasilan Khilafah untuk menyejahterakan rakyat secara merata ini terbukti dalam sejarah peradaban Islam. Salah satu contoh, kesejahteraan rakyat pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Tergambar dari ucapan Yahya bin Said, seorang petugas zakat masa itu, “Saat hendak membagikan zakat, saya tidak menjumpai seorang miskin pun. Umar bin Abdul Aziz telah menjadikan setiap individu rakyat pada waktu itu berkecukupan.”
Sistem ekonomi Islam juga memiliki instrumen zakat dan sedekah yang efektif untuk mentransfer kekayaan dari orang kaya pada fakir miskin. Bagi kalangan miskin, negara memberi bantuan berupa pekerjaan, keterampilan, modal dan juga subsidi pangan. Hingga mereka hidup berkecukupan. Demikianlah keberhasilan negara Khilafah Islam menyejahterakan semua umat secara merata. Sungguh kita rindu sistem yang demikian. Wallahu a'lam bishshawab. []
Posting Komentar untuk "Kasus Rasisme Membuka Kedok Kesejahteraan Amerika"