Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Indonesia Layak menjadi Pelopor Negeri Islam Bebas Utang



Oleh: Ainul Mizan (Pemerhati Sosial Politik) 

Menkeu, Sri Mulyani membela diri tatkala dikritik terkait utang Indonesia. Ia menyatakan bahwa semua negara islam juga berutang. Di antaranya ada Qatar, Maroko, Saudi, Kazakhstan, Afghanistan, dan Pakistan, imbuhnya (www.kompas.com, 19 Juli 2020).

Bahkan saat Sri Mulyani menjadi Direktur Pelaksana Bank Dunia, ia mengklaim mengetahui bahwa negara - negara Islam di Afrika itu miskin.  Mereka tidak hanya mendapat utang, bahkan hibah. Menurutnya, utang kadang diperlukan untuk menutup belanja pemerintah.

Belanja pemerintah yang dimaksud adalah membangun insfrastruktur dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Apalagi di masa pandemi ini, pemasukan negara dari sektor perpajakan menurun drastis.Sementara kebutuhan negara guna menangani Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional sangatlah besar. Walhasil utang negara hingga April 2020 tembus Rp 5.603 trilyun. Besarnya utang ini bila dibagi dengan jumlah penduduk Indonesia, akan didapatkan tiap jiwa terbebani utang sekitar Rp 21 juta. Hal ini diasumsikan jumlah penduduk Indonesia adalah 260 juta jiwa.

Besarnya utang negara tersebut, bahkan untuk Covid-19 terbilang sekitar Rp 677 trilyun tidaklah linear dengan peningkatan kualitas SDM dan kesejahteraan rakyat. Mestinya dalam kondisi pembelajaran daring saat ini, negara bisa mensubsidi kuota internet untuk pendidikan di semua jenjang. Yang terjadi justru berkebalikan. Karena tidak memiliki sarana belajar daring buat anaknya, diberitakan ada seorang ayah yang nekat mencuri sebuah laptop (www.radarlampung.com, 22 Juli 2020). Bahkan ada seorang ibu yang terpaksa ngutang untuk beli kuota bagi anaknya bisa belajar daring dan pinjam hp (https://news.beritaislam.org/2020/07/sedih-ibu-ini-terpaksa-ngutang-untuk.html). Intinya pembelajaran daring tentunya menyusahkan orang miskin bila tanpa internet gratis.

Adapun dari aspek kesejahteraan. Yang terjadi justru kenaikan iuran BPJS dan adanya iuran Tapera. Artinya keadaan demikian melengkapi penderitaan rakyat di tengah pandemi.

Dari aspek infrastruktur, tidaklah linear dengan jumlah utang yang semakin membengkak. Infrastruktur yang terkait dengan kualitas SDM yakni fasilitas ruang kelas belajar. Di tahun 2016, jumlah kelas rusak berat totalnya 128.132. Di tahun 2017, naik menjadi 129.780 kelas rusak. Sedangkan di tahun 2020 total kelas rusak berat 141.752. Ini total untuk semua jenjang pendidikan. Bahkan sedihnya di awal 2020, SDN 02 Cirimekar Bogor, ambruk usai diguyur hujan deras (www.cnnindonesia.com, 6/01/2020). Anehnya Nadiem Makarim saat dilantik sebagai Mendiknas, tidak ada programnya yang fokus tentang ketimpangan infrastruktur pendidikan dan guru.

Begitu pula terkait infrastruktur pertanian. Yang masih banyak dikeluhkan petani terkait saluran irigasi rusak dan sulitnya akses jalan dari lokasi pertanian. Hal demikian tentunya menjadi kendala hasil panen dan pemasarannya. Belum lagi beralihnya beberapa daerah menjadi kawasan industri. Kesejahteraan petani masih jauh dari harapan.

Jadi semakin menumpuknya utang tidaklah linear dengan tingkat kesejahteraan rakyat. Yang terjadi Indonesia semakin masuk ke dalam jebakan utang. Artinya Indonesia semakin ketergantungan dengan utang luar negeri. Susah untuk keluar dari utang. Kebijakannya justru cenderung menambah utang. Kebijakan - kebijakan strategis negara tidak bisa independen dari negara dan lembaga kreditur dunia.

Kita mesti belajar dari kasus Marshall Plan. Program bantuan AS bagi negara - negara Eropa Barat pasca Perang Dunia kedua. Tidak ada makan siang gratis. Dengan bantuan tersebut, AS semakin mencengkeramkan pengaruhnya. Betul ada sedikit kemajuan bagi negara yang mendapat bantuan. Tapi satu hal yang harus diperhatikan bahwa dengan bantuannya, AS berhasil mencegah munculnya negara industri yang akan menjadi rivalnya di kemudian hari. Di samping itu, AS berhasil memperlemah pengaruh komunis di Eropa Barat. 

Di dunia Islam, khususnya Indonesia. Paket bantuan utang dari ADB, Word Bank dan IMF, sejatinya semakin menjadikan Indonesia terjajah. Target ideologisnya adalah menghalangi bangkitnya Islam ideologi di Indonesia. Dengan narasi semua negara Islam di dunia juga berutang, jelas arahnya demikian. 

Jebakan utang ini juga bisa dilihat dari penobatan Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan Terbaik di dunia dalam World Government Summit di Uni Emirat Arab. Padahal pertumbuhan ekonomi Indonesia bertengger di 5 persen. Sedangkan Filipina dan Vietnam, pertumbuhan ekonominya mencapai 6,5 persen. Dengan demikian muncul legalitas lembaga kreditur tersebut mengucurkan utang terus - menerus ke Indonesia.

Berikutnya di tengah pandemi ini, pada 1 Juli 2020, Bank Dunia menempatkan Indonesia sebagai negara berpendapatan menengah ke atas, dari negara berpendapatan menengah. Dengan predikat tersebut ada harapan agar iklim investasi kondusif. Artinya Indonesia akan terdorong bersegera melakukan langkah - langkah pemulihan ekonomi. Utang pun menjadi instrumen utamanya.

Jika demikian adanya, sampai kapan Indonesia bisa terbebas dari utang. Harga yang dibayar sangatlah mahal. Sebagian besar SDA berpotensi besar telah dikuasai asing. Lantas darimana bisa melunasi bunga dan utangnya? Yang ada adalah gali lubang dan tutup lubang.

Mewujudkan Indonesia Bebas Utang

Sekarang kita menela'ah pernyataan Menkeu bahwa semua negara Islam juga berutang. Narasi pembelaan seperti ini terlihat tidak adanya niat kuat bisa keluar dari utang.

Penyebutan negara Islam saat ini, tentunya tidak tepat. Yang ada saat ini adalah negeri - negeri Islam. Dalam fiqih disebut dengan bilad Islamiyyah. Sebutan negeri Islam itu bagi negeri - negeri yang mayoritas penduduknya adalah muslim. Sedangkan hukum yang diterapkannya bukanlah hukum Islam.

Berbeda halnya dengan sebutan negara Islam. Suatu negeri atau wilayah yang di dalamnya diterapkan Syariat Islam secara paripurna, inilah pengertian Negara Islam atau Daulah Islam. Jadi tinjauannya dari sisi penerapan Syariat Islam. Daulah Islam bisa juga disebut Darul Islam. Sistem pemerintahannya adalah Khilafah. 

Kebijakan ekonomi Islam yang diterapkan, meniscayakan negara Islam bisa terbebas dari utang. Karena negara Islam sadar bahwa utang luar negeri itu menjadi sarana penjajahan suatu negara atas negara lain. 

Negara Islam akan memiliki banyak sumber pemasukan ekonomi. SDA, harta milik negara seperti tanah mati dan lainnya, zakat, harta rikaz, ghonimah (harta rampasan perang), fai, usyur dan lainnya menjadi sumber negara. Pajak sebagai jalan terakhir di saat kas negara tidak mencukupi. Pajak hanya ditarik dari yang mampu dari penduduk muslim. Dengan demikian negara memiliki cadangan keuangan yang memadai.

Adapun terkait dengan pengeluaran negara. Islam menetapkan adanya pengeluaran wajib dan rutin negara yang harus tetap dibayarkan walaupun kas negara tidak mencukupi. Pengeluaran gaji untuk pegawai negara, untuk persiapan pelaksanaan jihad, untuk santunan terhadap orang - orang fakir miskin dan ke delapan golongan yang berhak menerima zakat, membangun infrastruktur vital, dan pengeluaran untuk urusan darurat atau bencana alam seperti pada kondisi pandemi saat ini.

Walhasil Indonesia sebagai negeri muslim terbesar ini bisa menjadi pelopor negeri bebas utang asalkan Indonesia mengambil kebijakan menerapkan Islam secara paripurna dalam sistem pemerintahan Khilafah. Maka dengan demikian Indonesia menjelma menjadi Negara Islam. Kebijakan ekonomi Islam diterapkannya dengan baik. Indonesia menasionalisasi semua SDA yang dikuasai asing. Indonesia melepaskan diri dari cengkeraman negara dan lembaga kreditur imperialis. Dengan Islam, Indonesia mempunyai kekuatan politik untuk melepaskan diri dari jeratan utang Ribawi. Yang dibayarkan hanyalah pokok utangnya saja. Tentu terlebih dulu dilakukan kalkulasi jumlah SDA Indonesia yang telah dirampok negara - negara imperialis tersebut. Selanjutnya Indonesia akan menjadi magnet bagi bersatunya dunia Islam menuju kejayaannya. []

Posting Komentar untuk "Indonesia Layak menjadi Pelopor Negeri Islam Bebas Utang"

close