Jejak Khilafah di Nusantara, Selaksa Lentera
Oleh: Afiyah Rasyad (Aktivis Peduli Ummat dari Probolinggo)
Sepuluh tahun terakhir, khilafah menjadi buah bibir di antara tokoh ummat. Bahkan para pembeci khilafah ikut ambil bagian mempopulerkan khilafah di tengah masyarakat. Meski hingga kini mereka melancarkan stigma tentang khilafah, namun justru opini khilafah kian bersinar terang benderang.
Bagai cacing kepanasan, banyak di antara pembenci khilafah berlaku bar-bar pada para pengusungnya. Khilafah dikriminalisasi dan dimonsterisasi. Bahkan, para pejuang khilafah dianggap radikal. Padahal khilafah adalah ajaran Islam, ajaran yang dicontohkan dan diaplikasikan oleh Rasulullah Saw.
Kewajiban untuk menegakkan khilafah sangat jelas, hanya dengan khilafah sajalah seluruh hukum-hukum Islam akan bisa ditegakkan di muka bumi ini dan Islam menjadi rahmat bagi seluruh alam.
Lebih dari 13 abad, khilafah membuktikan kegemilangannya, dimana rakyat yang berada di bawah naungannya tak merasakan penderitaan dan kedzoliman penguasa. Lebih dari itu, jika kaum muslim menelaah dan menelusuri jejak sejarah Islam di Nusantara, maka akan dijumpai bahwa beberapa wilayah Nusantara pernah menjadi bagian dari khilafah.
Para sejarawan mengakui, Kekhilafahan memang ada dan menjadi kekuatan politik bagi umat Islam. Khilafah Islamiyah memiliki wilayah yang luas, ⅔ dunia menjadi wilayah kekuasaannya.
Kesuksesan umat Islam melakukan penaklukan (futuhat) terhadap Kerajaan Persia serta menduduki sebagian besar wilayah Romawi Timur, seperti Mesir, Syria, dan Palestina di bawah kepemimpinan Umar bin al-Khaththab, telah menempatkan Khilafah Islam sebagai negara adidaya dunia sejak abad ke-7 M.
Setelah masa Khulafaur Rasyidin, cakupan wilayah kekuasaan khilafah meluas ke belahan Barat Asia, di sana muncul kekuatan politik yang mempersatukan umat Islam dari Andalusia (sekarang Spanyol) sampai Sind di bawah Kekhilafahan Bani Umayah (660-749 M). Setelah itu, dilanjutkan Kekhilafahan Abbasiyah, kurang lebih satu abad (750-870 M), serta Kekhilafahan Utsmaniyah yang berkuasa paling lama, sampai tahun 1924 M.
Adanya kekuatan politik di Asia Barat yang berhadapan dengan Cina, telah mendorong tumbuh dan berkembangnya perdagangan di Laut Cina Selatan, Selat Malaka, dan Samudra Hindia. (Uka Tjandrasasmita, “Hubungan Perdagangan Indonesia-Persia (Iran) Pada Masa Lampau (Abad VII-XVII M) dan Dampaknya terhadap Beberapa Unsur Kebudayaan” Jauhar Vol. 1, No. 1).
Sebagaimana sumber rujukan di atas, hingga saat ini Laut Cina Selatan masih menjadi wilayah rebutan antara negara besar.
Kekuatan politik di Asia Barat itulah yang membawa kemaslahatan dalam penyebaran Islam dan sudah ada sejak masa-masa awal berdirinya Daulah Islam.
Hubungan Kerajaan Sriwajaya dan Khilafah
Ditulis oleh Najmaah Saiidah bahwa pada masa Khalifah Sulaiman, dimana masa kekuasaannya hanya selama dua tahun, beliau mengutus dan memberangkatkan satu armada persahabatan berkekuatan 35 kapal perang dari Teluk Persia menuju pelabuhan Muara Sabak (Jambi)-yang saat itu merupakan pelabuhan besar di dalam lingkungan Kerajaan Sriwijaya-. Armada tersebut transit di Gujarat dan juga di Pereulak (Aceh), sebelum akhirnya memasuki pusat Kerajaan Zabag atau Sribuza (Sriwijaya).
Ketika Kekhilafahan berada di tangan Bani Umayyah (660-749 M), penguasa di Nusantara—yang masih beragama Hindu sekali pun—mengakui keberadaan dan kebesaran khilafah. Hal ini dibuktikan dengan adanya dua pucuk surat yang dikirimkan Maharaja Sriwijaya kepada khalifah masa Khilafah Bani Umayah.
Surat pertama dikirim kepada Muawiyah dan surat kedua dikirim kepada Umar bin Abdul Aziz. Ditemukan dalam sebuah diwan (arsip) Bani Umayah oleh Abdul Malik bin Umair yang disampaikan kepada Abu Ya‘yub ats-Tsaqafi, yang kemudian disampaikan kepada Haitsam bin Adi.
Al-Jahizh yang mendengar surat itu dari Haitsam menceritakan pendahuluan surat itu sebagai berikut:
“Dari Raja al-Hind yang kandang binatangnya berisikan seribu gajah, yang istananya terbuat dari emas dan perak, yang dilayani putri raja-raja, dan yang memiliki dua sungai besar yang mengairi pohon gaharu, kepada Muawiyah…” (Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Edisi Revisi )
Sejak Islam masuk ke Nusantara, literatur yang lain menjelaskan bahwa Raja Sriwijaya Jambi bernama Srindravarman mengirim surat kepada Khalifah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz dari Khilafah Bani Umayah pada tahun 100 H (718 M).
Salah satu isi suratnya berbunyi,
“Dari Raja di Raja (Malik al-Amlak) yang adalah keturunan seribu raja; yang beristri juga cucu seribu raja; yang di dalam kandang binatangnya terdapat seribu gajah; yang di wilayahnya terdapat dua sungai yang mengairi pohon gaharu nan harum, bumbu-bumbu wewangian, pala, dan kapur barus yang semerbak wanginya hingga menjangkau jarak 12 mil; kepada Raja Arab yang tidak menyekutukan tuhan-tuhan lain dengan Tuhan. Saya telah mengirimkan kepada Anda hadiah, yang sebenarnya merupakan hadiah yang tak begitu banyak, tetapi sekadar tanda persahabatan.
Dengan setulus hati, saya ingin Anda mengirimkan kepada saya seseorang yang dapat mengajarkan Islam kepada saya dan menjelaskan kepada saya tentang hukum-hukumnya.”
Ini adalah surat dari Raja Sri Indrawarman kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang baru saja diangkat menggantikan Khalifah Sulaiman (715-717 M).
Surat kedua didokumentasikan Abd Rabbih (246-329/860-940) dalam karyanya, Al-Iqd al-Farîd.
Potongan surat tersebut ialah sebagai berikut:
“Dari Raja Diraja…, yang adalah keturunan seribu raja… Kepada Raja Arab (Umar bin Abdul Aziz) yang tidak menyekutukan tuhan-tuhan lain dengan Tuhan. Saya telah mengirimkan kepada Anda hadiah, yang sebenarnya merupakan hadiah yang tak begitu banyak, tetapi sekadar tanda persahabatan. Saya ingin Anda mengirimkan kepada saya seseorang yang dapat mengajarkan Islam kepada saya dan menjelaskan kepada saya hukum-hukumnya.” (Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Edisi Revisi (Jakarta: Prenada Media, 2004)
Khalifah Umar bin Abdul Aziz juga mengutus salah seorang ulama terbaiknya untuk memperkenalkan Islam kepada Raja Sriwijaya, Sri Indrawarman, seperti yang diminta olehnya.
Tatkala mengetahui segala hal tentang Islam, Raja Sriwijaya ini tertarik. Hatinya tersentuh hidayah. Pada tahun 718, Sri Indrawarman akhirnya mengucap dua kalimat syahadat.
Sejak itu kerajaannya disebut orang sebagai “Kerajaan Sribuza yang Islam”. Tidak lama setelah Sri Indrawarman bersyahadat, pada 726 M, Raja Jay Sima dari Kalingga (Jepara, Jawa Tengah), putra dari Ratu Sima juga memeluk agama Islam.
Data-data tentang Islamnya Raja Sriwijaya memang begitu minim. Namun besar kemungkinan, Sri Indrawarman mengalami penolakan yang sangat hebat dari lingkungan istana, sehingga raja-raja setelahnya kembali berasal dari kalangan Buddha sebagaimana tulisan Najmaah Saidah (MuslimahNews.com, 7/8).
Namun demikian, kemerdekaan Indonesia banyak diperjuangkan oleh kaum Muslim saat itu. Gelora jihad dan lantangnya suara takbir menghiasi medan pertempuran bersatu padu dengan derap langkah kuda. Semangat jihad yang luar biasa tak mungkin jika tak ada keteladanan sebelumnya. Bahkan bantuan persenjataan dari Khilafah Turki Utsmani yang diterima para pahlawan muslim sudah cukup menunjukkan bahwa ada korelasi Nusantara dan Khilafah.
Selain itu, banyaknya jumlah penduduk yang tersebar di seluruh Nusantara, terutama wilayah Pulau Sumatera dan Jawa menunjukkan adanya sebaran yang membuktikan keberadaan Islam dalam kekuatan politik kala itu. Sebutlah Kesultanan Jogja, Demak, Banten dan kerajaan lainnya yang memeluk Islam juga sebagai bukti eksistensi jejak khilafah.
Jejak khilafah di Nusantara, selaksa lentera yang terus bersinar. Khilafah semakin dikriminalisasi, semakin banyak kaum muslim yang peduli dengan keberadaan dan esensi khilafah itu sendiri. Tak dipungkiri, saat ini khilafah telah menjadi buah bibir yang terus bersinar, di kalangan pembenci, terlebih di lisan para pejuangnya.
Sekuat apa pun para pembenci khilafah berupaya memadamkan lentera, namun Allah tak kan membiarkan cahayanya padam. Pertolongan Allah akan berpihak pada para pejuang yang ikhlash, InsyaAllah.
Wallahu a'lam bish showab
Posting Komentar untuk "Jejak Khilafah di Nusantara, Selaksa Lentera"