Mendamba Sang Pelindung Dakwah
Oleh: Ragil Rahayu, SE
Akhirnya, teka-teki gila tidaknya tersangka pelaku penusukan Syekh Ali Jaber terungkap. Pria muda berinisial AA (24) ini dipastikan dalam kondisi yang normal. Menurut polisi, AA tidak mengalami gangguan jiwa. Kesimpulan itu didapatkan setelah tim psikiater Pusdokes Polri memeriksa dan mengobservasi tersangka AA dalam sesi tanya jawab. Tim psikiater menyatakan bahwa tersangka tidak mengalami gangguan kejiwaan. Tersangka bisa menjawab pertanyaan dari psikiater (kompas.com, 16/9/2020).
Penusukan Syekh Ali Jaber menggemparkan publik. Peristiwa itu terjadi saat sang ulama menghadiri Wisuda Tahfidz Alquran di Masjid Falahudin, Lampung, pada Minggu (13/9/2020) sore. Sekonyong-konyong pelaku berlari ke atas panggung dan menusuk Syekh Ali Jaber. Akibat tusukan itu, bahu kanan ulama hafidz Al Qur’an dari Madinah tersebut mengalami luka serius.
Kejadian Berulang
Masyarakat dibuat geram dengan kejadian penusukan ini. Apalagi Syekh Ali Jaber adalah ulama kharismatik yang menjadi panutan umat Islam. Kegeraman masyarakat ini muncul karena awalnya ada pernyataan bahwa pelaku penusukan adalah orang gila. Akhirnya muncul spekulasi, bahwa ada skenario pihak tertentu di balik kejadian ini. Pihak tersebut tidak menyukai dakwah, sehingga menyasar para pendakwah melalui tangan orang yang mengaku gila.
Terhadap isu ini Pemerintah segera merespon. Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam), Mahfud MD menginstruksikan agar aparat kepolisian segera mengungkap kasus ini. Mengumumkan identitas pelaku, dugaan motif tindakan, dan menjamin bahwa proses hukum akan dilaksanakan secara adil dan terbuka (viva.co.id, 13/9/2020).
Pada kesempatan berbeda, Mahfud MD mengatakan Presiden Joko Widodo sudah memerintahkan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Badan Intelijen Negara (BIN), dan Polri untuk mengusut kasus penyerangan terhadap ulama yang terjadi sebelum kasus Syekh Ali Jaber. Jokowi, lanjutnya, meminta kasus ini diusut lagi agar tak ada lagi spekulasi liar yang berkembang di masyarakat (detik.com, 16/9/2020).
Namun, pernyataan tersebut bertentangan dengan realita di lapangan. Penyerangan terhadap ulama ketika berdakwah telah terjadi berulangkali. Dikutip dari tempo.co (15/9/2020), berikut sejumlah kasus serangan terhadap ulama yang dilakukan orang gila:
1. Pembunuhan Komandan Brigade PP Persatuan Islam (Persis)
Komandan Brigade PP Persis, Prawoto, 40 tahun, tewas mengenaskan setelah dihajar oleh tetangganya sendiri, Asep Maftuh, 45 tahun, menggunakan besi pada Kamis, 1 Februari 2018. Awalnya, pelaku diduga gila. Namun setelah menjalani pemeriksaan dan persidangan, Majelis Hakim mengatakan Asep tidak terbukti gila.
2. Penganiayaan Pimpinan Pondok Pesantren Al-Hidayah Cicalengka
Pimpinan Pondok Pesantren Al-Hidayah, Umar Basri, 60 tahun, dianiaya seseorang di dalam masjid usai menunaikan salat subuh pada Sabtu, 27 Januari 2018. Pelaku yang bernama Asep, 50 tahun, memukul Umar dengan kayu hingga mengalami luka parah. Kepolisian setempat menyatakan Asep mengalami gangguan jiwa.
3. Penusukan Imam Masjid Al-Falah Pekanbaru.
Peristiwa nahas ini menimpa Yazid Nasution, 36 tahun, pada Kamis, 23 Juli 2020. Saat itu Yazid yang sedang memimpin doa sehabis salat Isya diserang oleh pelaku berinisial IM. Polisi menduga pelaku stress.
4. Penyerangan Kiai di Lamongan
Pertengahan Februari 2018 media sosial diramaikan dengan viralnya kabar penyerangan terhadap pimpinan Pondok Pesantren Muhammadiyah Karangasem, Lamongan, Hakam Mubarok. Pelaku berinisial NT menyerang saat Hakam ingin menunaikan salat Zuhur. Orang tua pelaku menyatakan jika anaknya itu mengalami gangguan.
Kejadian penusukan pada Syekh Ali Jaber akhirnya mengkonfirmasi bahwa para ulama tidak aman berdakwah di negeri ini. Pihak-pihak yang tidak suka dengan dakwah yang diserukan bisa melakukan cara-cara kekerasan untuk menghentikan dakwah. Para pemuja kebatilan tersebut lupa bahwa para pendakwah bukanlah orang hubbuddunya wa karahiyatulmaut (cinta dunia dan takut mati).
Para ulama adalah orang yang dekat dengan Allah Subhanahu wata’ala. Mati di jalan dakwah adalah syahid bagi mereka. Para ulama tak akan berhenti berdakwah, meski aneka halangan tegak menjulang. Karena dakwah adalah aktivitas para Nabi, tentu tak sepi dari onak dan duri. Terbukti, meski bahunya masih belum sembuh, Syekh Ali Jaber tetap meneruskan dakwahnya di berbagai kota.
Demikianlah seharusnya sikap ulama. Tidak takut pada makhluk, hanya takut pada Allah Azza wa jalla. Tetap lantang menyerukan amar ma’ruf nahi munkar, meski musuh-musuh Islam berupaya membungkam. Pada akhirnya, yang haq pasti menang. Yang bathil pasti kalah. Inilah sunatullah dakwah. Adanya ujian dakwah adalah untuk menguji kesabaran manusia, apakah tetap di jalan kebenaran ataukah tidak. Juga sebagai pembeda, siapa yang berpihak pada yang haq dan siapa yang berpihak pada yang bathil.
Dakwah Dibatasi Sertifikasi
Bukan hanya orang gila saja yang menyerang para ulama. Kini para ulama pun “diserang” dengan kebijakan sertifikasi. Da’i yang boleh berdakwah hanya da’I yang tersertifikasi. Jika saja sertifikasi ini terkait keilmuan dan diberikan oleh para syekh dan lembaga yang pakar di bidangnya, maka tak masalah. Misalnya, seseorang baru disebut ulama hadis dan boleh mengajar materi hadis jika sudah khatam kitab ini dan itu. Sertfikasi yang demikian boleh dan bahkan bagus. Karena menjamin kualitas keilmuan.
Masalahnya, saat ini sertifikasi da’i hanyalah upaya rezim untuk membungkam ulama kritis dan hanya member ijin pada ulama yang sekubu dengan rezim. Sertifikasi da’i adalah bagian dari program deradikalisasi yang sejatinya menyudutkan Islam sebagai pihak tertuduh. Padahal narasi radikalisme adalah pengarusan opini oleh barat untuk membentuk ketakutan terhadap Islam (Islamofobia).
Akibat sertifikasi da’i, para pendakwah hanya akan bicara sesuai apa kata rezim. Bukan bicara kebenaran. Hal ini tentu bahaya. Karena ulama adalah panutan umat. Jika ulama tersandera kepentingan rezim, umat akan terus menjadi korban kezaliman. Seharusnya, penguasa memuliakan ulama dan mendengarkan nasehatnya. Sementara ulama, tidak boleh silau terhadap godaan dunia.
Hubungan yang harmonis antara ulama dan penguasa tampak jelas pada kisah berikut:
Di masa Khilafah Bani Umayah, ulama bernama Atha’ bin Abi Rabah menghadap pada khalifah Hisyam bin Abdul Malik. Atha' bin Abi Rabah didudukkan di sebelah singgasana sang Khalifah. Atha’ bin Abi Rabah pun menyampaikan hajat-hajat kaum muslimin dan sekretaris Khalifah mencatatnya. Setelah itu dia mengatakan, “Demi Allah wahai amirul mukminin, kau dilahirkan di bumi ini sendirian, dan kau juga akan mati sendirian, dan kau akan dihisab oleh Allah sendirian. Demi Allah, semua yang kau lihat disekitarmu ini tidak akan memberikan manfaat kepadamu. Maka bertakwalah kepada Allah”.
Hisyam yang mendengarkan ucapan Atha’ tiba-tiba menangis luar biasa sambil memukul-mukulkan tongkatnya ke tanah. Lalu Hisyam sambil menangis berkata, “Jazakallah khairan”. Setelah itu, Atha’ bin Abi Rabah pun keluar. Atha’ bin Abi Rabah tidak minum sedikitpun dari segelas air yang telah disediakan. Pada saat tiba di pintu gerbang, sekretaris mengejar sambil membawa sekantong uang emas untuk diberikan kepada Sang Ulama. Lalu Atha’ pun berkata, “Demi Allah saya datang bukan untuk ini”. Dan beliau pun meninggalkannya (sumber: suara muslim.net).
Demikianlah fragmen historis yang menjelaskan bagaimana khilafah memuliakan ulama. Khalifah tunduk pada nasehat ulama. Bukan hanya tunduk, tapi bahkan sang khalifah minta nasehat ulama. Kebijakan khilafah menunjukkan penghormatan pada ulama. Mulai dari menjadikan para ulama sebagai penasehat khalifah, melibatkan mereka dalam jihad, memberi santunan yang mencukupi untuk hidup layak, menghargai karya mereka dengan hadiah berupa emas seberat buku karyanya. Demikian seharusnya sikap penguasa pada ulama. Memuliakan mereka, mendengarkan nasehatnya dan melindungi dakwahnya. Wallahu a’lam bishawab.
Posting Komentar untuk "Mendamba Sang Pelindung Dakwah"