Penggunaan Kaidah Dharar Dalam Menyikapi UU Omnibus Law Cipta Kerja
Oleh: Ainul Mizan (Peneliti LANSKAP)
UU Omnibus Law Cipta Kerja telah disahkan oleh DPR RI pada 5 Oktober 2020. Pengesahan ini menuai gelombang penolakan besar - besaran.
Sesungguhnya dalam menyikapi UU Omnibus Law Ciptaker ini dapat dilihat dari kacamata dharar (bahaya) yang bakal timbul dengannya. Penggunaan kaidah dharar dalam hal ini mencakup asas, poin - poin krusial, dan pranata yang melingkupinya.
Kaidah dharar bisa dipahami dari sabda Rasul Saw yang menyatakan:
لا ضرر ولا ضرار
Tidak ada bahaya dan tidak ada membahayakan (di dalam Islam).
Jadi seorang muslim dilarang untuk mendatangkan bahaya bagi orang lain. Perkataan, perbuatan, dan sikapnya tidak boleh mendatangkan bahaya bagi orang lain dan masyarakat.
Oleh karena itu, kaidah dharar tidak bisa diterapkan atas sangsi - sangsi hukum dalam Islam. Sesungguhnya seseorang yang melakukan kejahatan maka layak baginya untuk menerima sangsi atas kejahatannya. Sangsi merupakan kemaslahatannya jalan untuk mencegah terjadinya dharar yang lebih besar yakni kepada orang lain dan masyarakat.
Sebagai contoh, bisa jadi sebagian orang memandang bahwa sangsi qishash (balas bunuh) atas kasus pembunuhan yang disengaja sebagai dharar atas diri pelaku. Akan tetapi apakah mereka lebih memilih menyelamatkan jiwa seorang pelaku pembunuhan dibandingkan menyelamatkan jiwa masyarakat? Tentunya secara logika sehat, mencegah dharar yang menimpa umum harus didahulukan daripada mengambil kemaslahatan berupa tidak menghukum qishash pelaku pembunuhan. Walhasil Allah SWT menyatakan bahwa di dalam qishash ada jaminan kehidupan. Pelaksanaan qishash akan menimbulkan efek jera. Dengan sendirinya orang tidak akan berani melakukan kejahatan yang sama. Hal ini akan menjamin keamanan di tengah - tengah masyarakat.
Maka kaidah dharar yang bisa diturunkan dari hadits tersebut adalah berikut ini.
دفع المفاسد مقدم على جلب المصالح
Menolak kerusakan didahulukan daripada mengambil kemaslahatan.
Dari Aspek Asas UU Omnibus Law Ciptaker
Di dalam Bab II Pasal 2 ayat 1 butir b dan c bahwa asas undang - undang ini adalah kepastian hukum dan kemudahan berusaha.
Tentu maksudnya adalah iklim investasi yang sehat. Hal demikian bisa kita lihat dalam pidato pelantikan Jokowi di periode kedua bahwa Omnibus Law adalah upaya untuk meningkatkan investasi.
Pada tahun 2019, peringkat kemudahan berusaha atau investasi di Indonesia menduduki peringkat 73 dari 190 negara. Skornya 69,6. Oleh karena itu bisa kita pahami pernyataan Kepala BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal) bahwa RUU Omnibus Law Ciptaker memberi karpet merah bagi semua investor baik dalam maupun luar negeri, baik skala kecil maupun besar (www.medcom.id, 15/09/2020). Menurutnya pembahasan RUU ciptaker ini harus segera ramping bulan Oktober ini.
Tentunya membanjirnya investasi di dalam negeri, yang memberi ruang perusahaan asing ikut di dalamnya, hanya akan membawa dampak yang membahayakan bagi bangsa ini. Yang sudah maklum bahwa perusahaan asing tersebut adalah korporasi raksasa. Di samping power politik Indonesia yang lemah di hadapan korporasi asing tersebut. Bisa dipastikan aset strategis bangsa akan dikuasai asing. Realitasnya tambang batu bara, emas, logam lainnya termasuk migas saat ini dikuasai asing.
PT Freeport menguasai tambang emas di Papua. Blok minyak Cepu dikuasai Exxon Mobile, dan lainnya.
Walhasil pembukaan kran investasi secara terbuka hanya akan mendatangkan dharar bagi bangsa Indonesia. Di sisi lain investasi menyasar komoditas milik rakyat yakni semua kekayaan alam, hukumnya haram.
Dari Aspek Pasal Krusial di Omnibus Law Ciptaker
UU Omnibus Law mengandung pasal - pasal krusial yang memangkas hak - hak pekerja, di samping dampak terhadap lingkungan.
Di dalam pasal 59 dinilai berpotensi merugikan pekerja. Pengusaha diberikan kewenangan menetapkan jangka waktu kontrak. Tentunya ini bisa melahirkan gelombang PHK. Ditambah beberapa hak buruh yang dikebiri.
Yang paling krusial adalah kemudahan untuk masuknya gelombang TKA. Melalui UU Omnibus Law Ciptaker ini, perusahaan bisa menggunakan TKA hanya dengan mengantongi RPTKA (Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing). Hal ini akan berpotensi untuk pekerjaan kasar pun bisa memakai TKA. Walhasil, ancaman pengangguran membayangi rakyat negeri ini.
Padahal pemimpin itu dipilih sebagai pelayan rakyatnya. Sebagai pelayan haram hukumnya mendatangkan mudharat bagi rakyat.
Pranata yang Melingkupi Lahirnya UU Omnibus Law Ciptaker
Sesungguhnya UU Omnibus Law Ciptaker ini dihasilkan oleh DPR hasil pemilu demokrasi. Mereka bekerja menggunakan mekanisme demokrasi. Sedangkan mekanisme demokrasi itu terletak pada 4 kebebasan (bebas berpendapat, berkeyakinan, berkepemilikan dan bertingkah laku) yang disebut HAM. Jadi akar persoalannya terletak pada sistem Demokrasi.
Jadi Demokrasi itulah wadah dan wasilah bagi lahirnya berbagai macam kerusakan. Walhasil menggunakan kaidah "al Wasilatu ilal haram muhrimah" artinya: Sarana yang menyebabkan terjadinya keharaman maka hukumnya haram.
Penggunaan kaidah ini tidak harus pasti menyebabkan keharaman, akan tetapi cukup prasangka kuat saja. Maksudnya kalaupun belum bisa memastikan bahwa sebuah sarana itu mengantarkan keharaman, cukup dengan prasangka kuat bisa menjadikan sebuah sarana dihukumi haram.
Adapun sistem demokrasi bukan lagi disangka kuat menghasilkan berbagai macam kerusakan dan keharaman. Bahkan demokrasi itu sudah qath'i atau pasti sebagai sistem kufur. Demokrasi telah menempatkan kedaulatan ada di tangan manusia. Halal haram, terpuji tercela ditentukan oleh akal manusia.
Penolakan masyarakat tidak boleh hanya terfokus kepada UU Omnibus Law Ciptaker. Alasannya, tidak mungkin ada UU Omnibus Law Ciptaker bila tidak ada Sistem Demokrasi yang melegalkannya. Sudah saatnya masyarakat muslim bergerak untuk membuang sistem Demokrasi. Selanjutnya mengambil Islam satu - satunya sebagai asas dan aturan hidup yang diterapkan dalam kehidupan negaranya. Dengan al - Khilafah menjadi jaminan untuk penerapan Islam dengan paripurna.
# 08 Oktober 2020
Posting Komentar untuk "Penggunaan Kaidah Dharar Dalam Menyikapi UU Omnibus Law Cipta Kerja"