Kisah Pilu Bunda dan Nanda dalam Cengkraman Sistem Abu-abu
Oleh: Ummu Hanan (Analis Media dan Penulis di Komunitas Muslimah Rindu Surga)
Tanggal 22 Desember identik dengan Hari Ibu di negeri ini. Baik tua maupun muda, lewat sosial media ataupun tidak, ramai-ramai mengucapkan serta mengunggah bukti kasih sayang masing-masing bersama sang ibunda.
Namun sayang, kisah romansa ibu dan anak nampaknya seolah hanya isapan jempol dan formalitas belaka. Sepekan sebelum Hari Ibu, seorang ibu tega menghabisi nyawa tiga anaknya saat sang suami pergi mencoblos di Pilkada 2020.
Sang ibu diduga stres karena kondisi ekonomi sehingga gelap mata dan tega membunuh ketiga anak kandungnya. Pembunuhan terjadi di rumahnya di Dusun II Desa Banua Sibohou, Kecamatan Namohalu Esiwa, Kabupaten Nias Utara, Provinsi Sumatera Utara. Polisi yang bertugas mengatakan bahwa himpitan ekonomi yang membuat MT berlaku keji pada anak-anaknya. (Viva.co.id, 13/12/20)
Selain itu, kasus-kasus serupa pun sebelumnya juga terjadi. Misalnya kasus pembunuhan anak di Lebak, Banten pada September silam. Sang ibu merasa anaknya terlalu sulit diajari saat PJJ, sehingga ia tega memutus nyawa sang buah hati. (kompas.tv, 15/09/20)
Dua kisah pilu antara ibunda dan anaknya di atas merupakan buah dari terus berlangsungnya sistem abu-abu. Mengapa sistem abu-abu? Karena sistem ini menawarkan ketidakjelasan, seolah pengaturan yang dijalankan oleh pemerintah tak pernah berbuah suka pada diri rakyat.
Ilusi Sistem Demokrasi
Sistem demokrasi yang diambil oleh negeri ini memang belum pernah menorehkan prestasi gemilang dalam pemenuhan hak rakyat. Dimana tidak adanya kejelasan nasib pemenuhan kebutuhan dasar rakyat baik kebutuhan primer yang mencakup pangan, sandang dan papan, juga pendidikan.
Buktinya, kemiskinan, kelaparan, ketidak-tersedianya sarana dan prasarana pendidikan yang mumpuni terus berlanjut. Sehingga membuahkan luka mendalam dan kecacatan ikatan harmoni keluarga. Masih banyak kisah-kisah pilu lain yang membuat miris pelaksanaan sistem demokrasi.
Sistem demokrasi yang pada awalnya dianggap bisa menelurkan pemimpin idaman, malah memunculkan beragam kezaliman. Bagaimana tidak? Sistem buatan akal manusia ini jelas lemah dan terbatas.
Mana mungkin seluruh kebutuhan umat bisa terakomodasi dan terlaksana hanya dengan diwakili aspirasinya oleh segelintir orang di parlemen?
Jika diibaratkan, mana mungkin seorang manusia mampu mengatur urusan kehidupan manusia-manusia lain yang bahkan belum ia kenal dan belum ia pernah temui?
Akankah kita bisa selalu menaruh harapan hidup pada sistem semacam ini? Salahkah bila akhirnya banyak yang menyimpulkan bahwa kesejahteraan dalam sistem ini hanya ilusi?
Sistem Islam Menjamin Pemenuhan Kebutuhan Rakyat
Allah Azza Wa Jalla menciptakan manusia dengan seperangkat aturan yang luar biasa. Syariat Islam yang bersumber dari Al Quran dan As Sunnah merupakan aturan yang memang diciptakan Allah SWT secara universal sehingga bisa memecahkan seluruh problematika umat, baik dari aturan pemenuhan kebutuhan hidup seseorang maupun aturan berlangsungnya muamalah yang terjadi antar sesama manusia.
Sistem Islam yang pernah berlangsung pada masa pemerintahan Rasulullah SAW di Madinah dan berakhir di Turki Utsmani memiliki aturan yang jelas dalam mengatur pemenuhan kebutuhan primer seorang manusia, yang mencakup kebutuhan pangan, sandang atau baju dan papan atau rumah. Kebutuhan primer saat ini juga mencakup pendidikan. Pendidikan adalah basis dimana manusia bisa mendapatkan ilmu dunia dan akhirat sehingga ia senantiasa mampu mengarungi kehidupan.
Dalam Sistem Pemerintahan Islam, para wanita dikembalikan fungsinya sebagai seorang ibu yang mengatur rumah tangga dan menjadi sekolah pertama bagi anak-anaknya.
Meski dibolehkan, seorang ibu tidak diwajibkan untuk mencari nafkah. Pemenuhan kebutuhan ibu dan anak ditanggung oleh kepala rumah tangga (ayah atau wali). Jika tidak ada ayah ataupun wali, maka negara yang wajib turun tangan untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
Penjaminan pemenuhan kebutuhan hidup seorang warga negara dalam pandangan Islam dikuatkan oleh sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Al Bukhari dari jalan Abdullah Ibnu Umar. Rasulullah SAW bersabda:
"Imam (pemimpin) adalah ra'in (penggembala). Dia bertanggung jawab atas urusan rakyatnya."
Oleh karena itu, dalam pemenuhan kebutuhan rakyat, pemimpin harus mampu menyediakan lapangan pekerjaan, bekal (pendidikan) bahkan biaya hidup jika warga negara tersebut memang terkategori sebagai warga yang sudah tua, sakit atau dianggap tidak mampu untuk memenuhi kebutuhannya.
Selain itu, Sistem Pemerintahan Islam juga mendorong aktivitas kepedulian dari sesama khususnya kaum muslimin. Allah SWT berfirman:
"Orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tak mau meminta)." (TQS Al Ma'arij: 24-25)
Dari kalamullah di atas dapat disimpulkan bahwa Islam senantiasa mengajarkan umat manusia untuk saling berbagi, bahwa di dalam harta orang kaya terdapat hak dari orang miskin. Sehingga distribusi kekayaan bisa merata dan tak ada lagi kemiskinan di negeri tersebut.
Selain itu, proses pemberian pemenuhan kebutuhan rakyat pun akan dibuat mudah. Dalam proses pendidikan, guru dan aplikasi pendidikan akan disediakan dengan mudah dan gratis sehingga memudahkan proses belajar dan mengajar baik daring maupun luring.
Semua kemudahan dan fasilitas pemenuhan kebutuhan di atas hanyalah mampu terlaksana dalam Sistem Pemerintahan Islam. Oleh karena itu, masihkan kita terus berharap pada sistem demokrasi yang abu-abu nan utopis dan semakin jelas kebobrokannya? Atau kita sebagai umat muslim rindu untuk segera berada dalam pelukan Sistem Pemerintahan Islam yang terbukti pernah tangguh berdiri selama lebih dari 1300 tahun di dua pertiga wilayah dunia?
_Wallahua’lam bish shawab_
Posting Komentar untuk "Kisah Pilu Bunda dan Nanda dalam Cengkraman Sistem Abu-abu"