Korupsi Bansos: Tak Punya Hati, Layak Dihukum Mati
Oleh: Nida Alkhoir
Sungguh keterlaluan, di tengah pandemi, tikus berdasi terus beraksi. Tak tanggung-tanggung, yang dikorupsi adalah dana bantuan sosial (bansos) untuk rakyat miskin. Pelakunya juga bukan pegawai rendahan, tapi selevel menteri.
Menteri Sosial, Juliari Batubara, ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus dugaan korupsi bantuan sosial Covid-19. Ketua KPK, Firli Bahuri, menduga Juliari Peter Batubara (JPB) menerima Rp17 miliar dari korupsi bansos sembako.
Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan, Mahfud MD, mengatakan, pejabat pusat dan daerah yang melakukan tindak korupsi berkaitan dengan anggaran bencana Covid-19 terancam hukuman mati. Ketua KPK Firli Bahuri menuturkan, kondisi pandemi Covid-19 masuk atau memenuhi unsur 'dalam keadaan tertentu' sesuai ayat 2 pasal 2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sehingga, hukuman mati layak menjadi hukuman bagi pelaku koruptor bansos.
Kasus dugaan korupsi di Kementerian Sosial ini diawali dengan adanya pengadaan barang berupa bansos dalam rangka penanganan Covid-19. Bansos tersebut berupa paket sembako dengan nilai Rp 5,9 triliun. Diduga disepakati adanya fee dari tiap-tiap paket pekerjaan yang harus disetorkan pada rekanan kepada Kementerian Sosial. Fee tersebut sebesar Rp10.000 dari nilai Rp300.000 per paket bansos.
Juliari diduga menerima uang suap total sekitar Rp17 miliar yang digunakan untuk keperluan pribadi. Modus korupsi yang muncul dalam penyaluran dana bansos adalah mengurangi jatah penerima atau bahkan ada yang tidak menerima bansos sama sekali.
Kasus korupsi bansos bukan sekali ini terjadi di Indonesia. Sebelumnya, tercatat sejumlah kasus penyelewengan dana bansos yang melibatkan pejabat. Salah satunya adalah mantan Gubernur Sumatera Utara, Gatot Pujo Nugroho yang dihukum enam tahun penjara dan denda Rp200 juta karena terbukti melakukan tindak pidana korupsi dana hibah dan bansos. Juga mantan Ketua DPRD Bengkalis, Riau, Heru Wahyudi yang terbukti melakukan korupsi dana bansos (bbcindonesia.com, 6/12/2020).
Benteng Takwa
Publik sontak merasa geram atas kasus korupsi bansos oleh Mensos ini. Betapa tidak, masyarakat sedang prihatin karena musibah wabah corona. Bukan hanya aspek kesehatan yang terpukul, kondisi ekonomi juga mengalami penurunan. PHK terjadi di berbagai tempat yang berujung meningkatnya pengangguran dan kemiskinan.
Keuangan negara tergerus oleh biaya penanggulangan Covid-19 yang sangat besar. Keberadaan bansos bagi masyarakat miskin ibarat seteguk air kala panas menyengat. Tapi, dana ini ternyata disunat dan dibagi-bagi di antara para pejabat yang sebenarnya sudah sangat kaya. Juliari sendiri berdasarkan laporan kekayaan harta pejabat negara (LHKPN) tercatat memiliki kekayaan Rp 47,18 miliar.
Namun harta yang banyak tak menjamin seorang pejabat tidak melakukan korupsi. Karena faktanya, biaya politik yang dia keluarkan untuk menjadi menteri tentu tak sedikit.
Diketahui bahwa Jaliari berasal dari parpol, dalam hal ini PDIP. Sudah umum dipahami oleh publik bahwa kader partai yang menduduki jabatan menteri biasanya menyetor sejumlah mahar tertentu bagi partai. Setelah menjabat, saatnya mengembalikan modal dengan mengeruk uang negara.
Tidak ada lagi rasa kasihan pada rakyat miskin yang ditilep uangnya. Tidak ada rasa malu karena sebagai pejabat harusnya memberi contoh yang baik. Juga tak ada rasa takut pada azab Allah SWT karena mengambil harta yang bukan haknya (harta ghulul). Itu semua terjadi karena tidak ada ketakwaan dalam diri sang pejabat.
Padahal Islam telah mengharamkan korupsi. Rasul Saw bersabda,
«مَنِ اسْتَعْمَلْنَاهُ عَلَى عَمَلٍ فَرَزَقْنَاهُ رِزْقًا فَمَا أَخَذَ بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ غُلُولٌ»
"Siapa saja yang kami angkat untuk satu tugas dan telah kami tetapkan pemberian untuknya (gaji) maka apa yang dia ambil setelah itu adalah harta ghulul." (HR Abu Dawud, Ibn Khuzaimah dan al-Hakim)
Ketakwaan adalah benteng pertama untuk mencegah terjadinya korupsi. Pejabat yang bertakwa akan takut melakukan korupsi karena dia yakin selalu diawasi Allah SWT dan kelak akan mempertanggungjawabkan setiap sen hartanya di hari penghisaban. Dia juga akan malu melakukan korupsi, karena masih korupsi padahal telah digaji secara layak, sementara mata publik akan selalu menyorotinya. Ada sanksi soaial dari masyarakat terhadap pejabat yang bertindak korup.
Itulah sebabnya pejabat dalam sistem Islam dipilih dengan seleksi ketat, bukan karena pertimbangan besarnya mahar politik. Calon pejabat dipilih secara profesional dari aspek keadilan dan kemampuannya yang telah teruji oleh para ahli. Pemilihan ini dilakukan oleh kepala negara (khalifah), atau bisa diwakilkan pada wakilnya (muawin tafwidz). Bukan karena dia kader partai tertentu.
Sistem Islam Tuntas Berantas Korupsi
Selain mewujudkan faktor ketakwaan individu pejabat, dibutuhkan juga aturan yang tegas terhadap pelaku korupsi. Di dalam sistem Islam, korupsi terkategori ta'zir sehingga sanksi bagi koruptor diserahkan pada ijtihad khalifah. Selama tegaknya Khilafah, diberlakukan sanksi tegas pada koruptor sehingga kasus rasuah bisa dicegah.
Khalifah Umar bin Khaththab memerintahkan pencatatan harta para penguasa daerah. Jika ada kelebihan kekayaan dari jumlah yang wajar, maka Umar membagi dua kelebihan harta mereka itu. Setengah untuk pejabat itu dan setengahnya disita dan dimasukkan ke dalam kas Baitul Mal (Al-Hafizh as-Suyuthi, Târîkh al-Khulafâ’, hal 132). Umar ra pernah menyita dari Abu Sufyan harta pemberian anaknya, Muawiyah, gubernur Syam.
Bentuk saksi bagi koruptor bisa berupa penyitaan harta, tasyhîr (diekspos), penjara sangat lama, dijilid, hingga hukuman mati. Umar bin Abdul Aziz menetapkan sanksi koruptor adalah dijilid dan ditahan dalam waktu sangat lama (Mushannaf Ibn Aby Syaibah, V/528).
Pada masa Kekhilafahan Bani Utsmaniyah, Mehmed II dan Sulayman menanamkan integritas dan kejujuran kepada para pejabat di bawah kepemimpinan mereka. Pada abad ke-16 dan 17, pengadilan khusus penanganan penyimpangan wewenang oleh pejabat negara atau mazalim juga dibentuk. Koruptor harus mengembalikan harta yang mereka terima secara ilegal itu.
Penerima, pemberi, dan mediator suap atau korupsi diganjar hukuman pencopotan dari jabatan atau penjara. Pengasingan juga dilakukan sebagai bentuk hukuman lainnya. Pengasingan maksimal dilakukan selama enam tahun. Semua hukuman ini pada dasarnya diharapkan menimbulkan jera bagi para pelaku dan menjadi contoh bagi pejabat lainnya. Pada abad ke-18, hukuman diperluas dengan hukuman mati dan denda.
Demikianlah Khilafah Islamiyah, sistem yang berhasil memberantas korupsi dan mewujudkan pemerintahan yang bersih. Inilah sistem yang kita butuhkan saat ini agar Indonesia terbebas dari korupsi yang menggetogoti uang negara. Wallahua'lam bishshawab. []
Posting Komentar untuk "Korupsi Bansos: Tak Punya Hati, Layak Dihukum Mati"