Rekonstruksi Penembakan Laskar, FPI: Mengapa Keterangan Polisi Berubah-ubah? Ini Kekerasan Struktural!



Jakarta, Visi Muslim-  Polda Metro Jaya telah melakukan rekonstruksi kejadian atau reka ulang dari peristiwa tertembaknya enam anggota laskar Front Pembela Islam.

Fakta baru pun disebut polisi, yaitu dua dari enam laskar ditembak ketika proses kejar-kejaran. Dan empat lain berhasil ditangkap hidup-hidup dan dimasukkan ke mobil polisi untuk digelandang ke kantor polisi. Keempat anggota laskar lainnya namun tewas pada akhirnya disebut akibat melakukan upaya perlawanan.

Sekretaris Umum FPI, Haji Munarman, menganggap keterangan kepolisian soal penembakan enam anggota laskar FPI pekan lalu berubah setelah munculnya hasil investigasi media. Ustadz Munarman merasa kecewa atas sikap kepolisian.

Munarman menekankan terjadi kekerasan struktural terhadap kasus tewasnya keenam anggota laskar FPI. Ia pun heran karena keterangan kepolisian yang berubah.

“Keanehan yang makin gawat lagi ini kekerasan struktural harus dihentikan kenapa tadi kan di awal ada tembak menembak kemudian serangan. Kemudian berubah setelah diinvestigasi oleh teman-teman wartawan di sana tidak ada tembak-menembak di lokasi,” kata Ustadz Munarman usai menjenguk Habib Rizieq Shihab di Polda Metro Jaya pada Senin (14/12).

Ustadz Munarman mendapati informasi terjadi baku tembak yang menyebabkan dua anggota laskar meninggal lebih dulu. Lalu empat sisanya meninggal karena terlibat perkelahian saat dibawa polisi ke Polda Metro Jaya usai ditangkap. Keterangan ini dianggap berbeda oleh Ustadz Munarman karena sebelumnya keenamnya dianggap tewas bersamaan dalam baku tembak.

“Kemudian serangan di atas (dalam) mobil, kalau serangan di atas mobil kita pertanyakan. Kalau empat orang itu masih hidup artinya kan ditusuk sudah diakui empat orang itu (awalnya) masih hidup. Itu poinnya,” ujar Ustadz Munarman.

“Empat itu masih hidup pada saat itu tidak terjadi tembak-menembak kemudian dibawa pakai mobil dan di dalam mobil difitnah melakukan mencoba merampas (senjata) petugas,” lanjut Ustadz Munarman. Selain itu, Ustadz Munarman mengungkapkan adanya wartawan yang diperiksa oleh polisi dalam kasus penembakan ini. Hal tersebut menurutnya makin menambah keanehan dalam kasus penembakan enam laskar FPI.

“Sudah terbukti kekerasan struktural dengan dijadikan dipanggilnya wartawan menghadap ke Bareskrim dipanggil sebagai saksi. Padahal dia cuman memberitakan, dia dipanggil dalam perkara (pasal) 170 kan aneh,” ucap Ustadz Munarman.

Wartawan yang dimaksud adalah Edy Mulyadi. Ia diperiksa Bareskrim Polri lantaran unggahan video reportase terkait bentrokan FPI dan Polri di Jalan Tol Jakarta-Cikampek. Dia diperiksa pada hari ini Senin (14/12). Edy Mulyadi dipanggil dalam surat bernomor S.Pgl/2792/XII/2020/Dit Tipidum tanggal 11 Desember 2020.

Ustadz Munarman hari ini datang ke Polda Metro Jaya untuk menjenguk Habib Rizieq di tahanan. Ustadz Munarman mengatakan, Habib Rizieq dalam kondisi baik.

“Beliau tetap gembira, tersenyum bercanda dan beliau menyampaikan pesan bahwa jangan berhenti berjuang, dan tidak boleh melupakan kasus pembantaian enam syuhada harus terus dibongkar sampai ke akar-akarnya,” kata Ustadz Munarman.

Ia menitip pesan pada Ustadz Munarman agar keenam laskar FPI yang tewas tidak menerima kekerasan spiral. Spiral kekerasan adalah kekerasan yang berulang dan berlanjut terus menerus usai korban dibunuh. Habib Rizieq khawatir keenam laskar pengawalnya mengalami fitnah.

“Apa itu kekerasan verbal mereka di tuduh difitnah bahwa senjata, menyerang difitnah sebagai pelaku. Itu kekerasan verbal lalu kemudian yang paling gawat adalah mereka ini korban kekerasan struktural. Artinya berlanjut rekayasa kasus terhadap mereka, membuat mereka menjadi tertuduh dan pelaku jadi bukan korban, ini kekerasan struktural,” ujar Ustadz Munarman.

Ustadz Munarman mengakui ada rasa khawatir bahwa kasus tewasnya keenam laskar FPI malah mengambang.  “Di mana kasusnya direkayasa sedemikian rupa, seolah-olah sekali lagi mereka ini adalah pelaku bukan sebagai korban. Ini sudah terbukti kekerasan struktural,” ucap Ustadz Munarman.

Upaya mengurai fakta di balik terbunuhnya enam anggota laskar FPI masih terus dilakukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Hingga saat ini lembaga tersebut belum dapat menyimpulkan insiden tersebut sebagai pelanggaran HAM.

Komisioner Komnas HAM Mohamad Choirul Anam mengatakan, masih perlu waktu bagi timnya untuk mengambil kesimpulan untuk mendefenisikan kasus. Namun kata dia, tim pengungkapan yang ia pimpin, sudah menyusun hampir sempurna konstruksi peristiwa yang terjadi di Tol Japek Km 50 pada Senin (7/12) dini hari itu.

“Kita sudah punya konstruksi peristiwanya di antara 80-an persen,” ujar Anam saat ditemui di Kantor Komnas HAM, Jakarta, Senin (14/12). Kata dia, konstruksi peristiwa dari hasil pengungkapan, dan penyelidikan tersebut, masih akan terus dilakukan sampai Komnas HAM menyimpulkan.

“Kita nantinya masih membutuhkan ahli-ahli yang clear betul (independen) tentang ini, untuk menyimpulkan apakah ini pelanggaran HAM atau bukan,” terang Anam.

Anam mengungkapkan, sejak tim pencari fakta terbentuk, Senin (7/12), sudah lebih dari 20 orang yang dimintai keterangan. Tim Komnas HAM, kata Anam, pun sudah mendatangi markas FPI untuk meminta keterangan awal. Bahkan, kata Anam, timnya juga turut meminta kesaksian dari keluarga korban, dan beberapa anggota FPI yang mengetahui insiden di lapangan, dan sempat dinyatakan buron oleh Polda Metro Jaya.

“Kami (Komnas HAM) sudah bekerja, sebelum ada yang memulai,” kata Anam.

Bahkan Anam mengaku, bersama timnya lebih dari tiga kali mendatangi tempat kejadian perkara (TKP) yang berada di sepanjang Km 50, dan beberapa kilometer setelahnya. “Lima titik tempat kejadian saya bersama tim datangi. Termasuk rumah yang dijadikan tempat kejadian,” ujar dia.

Kata Anam, ada sejumlah bukti-bukti peristiwa yang terjadi. Anam menunjukkan sejumlah dokumentasi berisikan observasi tim di TKP. Dokumentasi tersebut, berupa gambar, dan video tim pencari fakta yang menggunakan metal detektor makro untuk mencari proyektil dari peluru yang dilepaskan.

“Kami mendapatkan, apa yang dapat dipegang, dan apa yang bisa dilihat,” terang Anam.

Namun, ia masih belum berani membeberkan bukti-bukti tersebut, cukup untuk mendefenisikan insiden Tol Japek Km-50 tersebut sebagai peristiwa pelanggaran HAM. “Untuk itu, kita belum dapat menyimpulkan. Karena permintaan-permintaan keterangan dari beberapa pihak, masih kita lakukan. Tim akan menyimpulkan, setelah konstruksi peristiwa ini selesai,” terang Anam.

Pada Senin (14/12), Komnas HAM mendapatkan bukti tambahan dari dua sumber yang diminta datang untuk memberi keterangan. Yakni, Direktur Umum (Dirut) Jasa Marga Subakti Syukur dan Kapolda Metro Jaya Irjen Fadil Imran.

Anam melanjutkan, dari perusahaan negara pengelola jalan bebas hambatan tersebut, Komnas HAM mendapatkan tambahan bukti berupa rekaman CCTV pemantau tol dari Km 48, sampai Km 72. “Dari pihak Jasa Marga tadi memberikan satu hardisk. Tapi, saya belum melihat isinya,” kata Anam.

Komnas HAM juga menjawab tuntutan pembentukan Tim Pencari Fakta (TPF). Komisioner Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara, mengatakan Komnas HAM memang telah membentuk tim pencari fakta kasus meninggalnya enam orang laskar FPI beberapa saat setelah penembakan diketahui. ‘’Istilah tim pencari fakta itu adalah Tim Pemantauan dan Penyelidikan,’’ ujar dia.

Dalam tim itu ada beberapa anggota komisioner Komnas HAM. Selain dari bantuan beberapa ahli terkait, untuk menganalisis temuan dan bukti-bukti yang ada.

Sementara Kapolda Metro Jaya Irjen Fadil, usai pemberian keterangan selama satu jam menyampaikan, komitmen kepolisian mendukung investigasi dan pengungkapan fakta yang saat ini dilakukan Komnas HAM. Fadil tak bersedia membeberkan keterangan apa yang ia berikan kepada Komnas HAM. Akan tetapi, ia memastikan, kepolisian yang akan terbuka untuk membantu, dan memberikan bukti-bukti kepada tim pengungkap fakta  Komnas HAM untuk menghasilkan laporan yang dapat dipertanggung jawabkan.

“Kami (kepolisian) memiliki kepentingan agar kasus ini terang benderang di mata publik. Kami memberikan fakta yang berbasis scientific crime investigation. Dan kami tidak mau membangun narasi. Karena itu, kami mensupport Komnas HAM,” ujar Fadil. Jenderal bintang dua itu pun menegaskan dirinya yang akan selalu hadir ke Komnas HAM jika dimintai keterangan tambahan.

“Saya taat hukum. Saya dipanggil (Komnas HAM), saya datang. Dan saya datang sendiri,” kata dia.

Sementara itu, pengamat hukum pidana Universitas Indonesia (UI) Eva Achjani Zulfa menilai perlu ada identifikasi dulu atas peristiwa tewasnya laskar FPI. “Bila yang terjadi adalah tindak pidana pelanggaran HAM berat sebagaimana dimaksud dalam UU 26/2000 maka menyerahkan pada Komnas HAM adalah tepat. Namun bila yang terjadi adalah tindak pidana biasa seperti yang diatur dalam KUHP maka mengacu pada KUHAP adalah Polri,” kata Eva.

Eva menjelaskan, di satu sisi kasus penembakan adalah bentuk pelanggaran HAM yang sekaligus pelanggaran hukum. Oleh karena itu, merujuk pada Pasal 1 angka 6 UU HAM 39/1999 mekanisme terbaik dalam penanganan dan penyelesaiannya adalah melalui sistem peradilan pidana.

“Sayangnya dalam kasus ini oknum pelaku diduga berasal dari institusi terkait. Maka diperlukan suatu lembaga lain yang independen dan dapat dipercaya masyarakat untuk mendampingi kerja Polri dalam menangani masalah ini,” ujarnya.

Dia mengimbau agar pemerintah tetap membentuk TPF untuk mengusut kasus tersebut. Menurutnya hal itu diperlukan untuk menjaga netralitas dan memastikan kepolisian bekerja netral. (Rol)

Posting Komentar untuk "Rekonstruksi Penembakan Laskar, FPI: Mengapa Keterangan Polisi Berubah-ubah? Ini Kekerasan Struktural!"