Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Keluasan dan Fleksibilitas Syariah Islam



Oleh: M. Arifin (Tabayyun Center)


Syariat Islam mempunyai lingkup yang sangat luas; mencakup seluruh urusan dan persoalan kehidupan manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Allah SWT berfirman:

﴿وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ﴾

Kami telah menurunkan al-Kitab (al-Quran) ini kepadamu (Muhammad) untuk menjelaskan segala sesuatu. (QS an-Nahl [16]: 89).

﴿الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي

وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِْسْلاَمَ دِينًا﴾

Hari ini Aku telah menyempurnakan untuk kalian agama kalian, telah mencukupkan nikmat-Ku untuk kalian, dan telah meridhai Islam sebagai agama kalian. (QS al-Mâ’idah [3]: 3).

Kedua ayat ini membuktikan cakupan Islam yang meliputi seluruh urusan manusia. Urusan-urusan tersebut semuanya telah dijelaskan oleh Islam. Syariat Islam yang mengatur seluruh urusan tersebut telah disempurnakan oleh Allah sehingga tidak ada sedikitpun kekurangan di dalamnya. Dengan kata lain, tidak ada satu pun persoalan dan urusan kehidupan manusia yang tidak dijelaskan oleh Islam.

Keluasan syariat Islam terlihat dari cakupannya yang meliputi seluruh urusan dan persoalan kehidupan manusia; mulai dari yang bersifat duniawi hingga yang bersifat ukhrawi; dari yang bersifat vertikal (hubungan manusia dengan Tuhannya), horisontal (hubungan manusia dengan sesamanya), hingga persoalan personal (hubungan manusia dengan dirinya sendiri). Semua itu terepleksikan dalam urusan akidah dan ubudiah; pemerintahan, ekonomi, sosial, pendidikan, politik luar negeri, dan sanksi hukum; akhlak, makanan, dan pakaian. Semuanya telah dibahas tuntas dan jelas oleh syariat Islam. Penggalian berbagai hukum terhadap nash-nash syariat, yakni al-Quran dan Sunnah Nabi, memungkinkan dipecahkannya berbagai kasus dan persoalan yang beragam. Kasus-kasus perburuhan, misalnya, baik negeri ataupun swasta, dapat diselesaikan dengan hukum syariat yang digali dari firman Allah berikut:

﴿فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ﴾

Jika mereka (para wanita itu) menyusui untuk (anak-anak) kalian, berikanlah upah-upah mereka. (QS at-Thalâq [65]: 6).

Secara eksplisit, ayat ini menjelaskan hak wanita yang dicerai atas upah menyusui yang dilakukannnya terhadap anak hasil pernikahan antara dirinya dan bekas suaminya. Dari kasus upah wanita yang dicerai ini lahir definisi syar‘î mengenai akad perburuhan (ijârah), yaitu akad atas jasa tertentu dengan kompensasi tertentu. Definisi ini merupakan bagian dari hukum syariat yang relevan untuk diimplementasi pada seluruh kasus perburuhan, baik buruh khusus maupun umum. Definisi ini juga dapat digunakan untuk menghukumi status akad kekhalifahan antara khalifah dan umat atau akad antara khalifah serta para pembantu dan walinya, yakni bahwa mereka tidak diangkat berdasarkan akad perburuhan (‘aqd al-ijârah). Artinya, mereka tidak layak mendapatkan upah sebagaimana halnya buruh, tetapi sekadar mendapatkan kompensasi atau santunan non-gaji. Karena bukan akad perburuhan, mereka juga tidak dapat diberhentikan oleh umat, karena umat bukan majikan mereka, dan mereka bukan buruh umat. Mereka hanya dapat diberhentikan oleh mahkamah mazhalim sebagai institusi yang berfungsi untuk menghilangkan kezaliman yang dilakukan oleh aparat pemerintahan.

Namun demikian, tidak semua nash-nash syariat yang bersumber dari al-Quran dan Sunnah Nabi membahas seluruh persoalan kehidupan manusia secara rinci/mendetail (mufashshal). Sebagian besar nash-nash tersebut bahkan hanya menjelaskan hukum-hukum tertentu secara global (mujmal) dengan makna-makna yang bersifat general (ma’ân ‘âmmah). Sementara itu, rinciannya diserahkan pada mekanisme ijtihad para mujtahid, yaitu ketika bentuk dan makna yang bersifat global dan general tersebut hendak diimplementasikan sesuai dengan kondisi kasus-perkasus pada setiap waktu dan tempat. Hukum waris, misalnya, di satu sisi dinyatakan secara rinci (mufashshal) di dalam al-Quran. Akan tetapi, dalam sebagian kasus tertentu, hukum waris memerlukan ijtihad seorang mujtahid, seperti dalam kasus kalâlah. Sebagaimana diketahui, Allah SWT berfirman:

﴿وَإِنْ كَانَ رَجُلٌ يُورَثُ كَلاَلَةً أَوِ امْرَأَةٌ وَلَهُ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ

فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ﴾

Jika seseorang yang mati—baik laki-laki maupun perempuan—adalah kalâlah, sementara ia mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing saudaranya itu seperenam harta. (QS an-Nisâ’ [4]: 12).

Ketika Abû Bakar ditanya mengenai pengertian kalâlah, beliau menjawab, "Kalalah adalah orang yang tidak memiliki bapak maupun anak."

Sebaliknya, ‘Umar bin al-Khaththâb berpendapat yang berbeda dengan Abû Bakar. Menurutnya, kalâlah adalah orang yang tidak mempunyai anak saja. Akan tetapi kemudian, sebelum meninggal, ‘Umar meninggalkan pendapatnya dan kembali merujuk pada pendapat Abû Bakar. Perbedaan antara Abû Bakar dan ‘Umar ini wajar terjadi karena nash yang menjelaskan kasus kalâlah ini tidak rinci (ghayr mufashshal).

Dengan adanya nash-nash syariat yang bersifat global (mujmal) dan general (‘âmmah), setiap dinamika, perubahan, dan perkembangan persoalan yang berlangsung di tengah manusia sangat mungkin direspon dan diselesaikan dengan cepat oleh para mujtahid. Sekalipun demikian, adanya perubahan dan perkembangan realitas yang terjadi tidak berarti nash-nash syariat tunduk pada realitas yang ada. Sebaliknya, realitas tersebutlah yang harus tunduk pada nash-nash syariat. Dalam hal ini, Islam telah mensyariatkan satu metode untuk menyelesaikan seluruh problem yang berkembang, yakni menyeru para mujtahid untuk mempelajari problem yang terjadi sampai benar-benar dipahami, memahami nash-nash syariat yang relevan dengan kasus yang terjadi, dan baru setelah itu menggali atau mengimplementasikan hukum atau pemecahan atas problem tersebut.

Dengan cara seperti ini, keluasan nash-nash syariat untuk menghasilkan berbagai hukum syariat dan fleksibelitasnya sehingga dapat diimplementasikan dalam berbagai kasus telah menjadi ciri khas syariat Islam. Dengan karakter seperti inilah syariat Islam mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan seluruh problem dalam kehidupan manusia, baik di masa lalu, masa kini, maupun yang akan datang.

Di samping bukti-bukti normatif di atas, juga terdapat bukti-bukti historis, yakni perjalanan peradaban Islam yang sangat panjang dan sangat agung—selama hampir 13 abad—sebagai hasil dari diterapkannya syariat Islam di muka bumi. Bukti-bukti normatif maupun historis ini mengukuhkan bahwa selama metode penyelesaian berbagai persoalan yang terjadi—yang bersumber dari syariat Islam—diterapkan oleh umat Islam dan pintu ijtihad pun tetap dibuka, selama itu pula syariat tidak pernah kering akan solusi sekaligus tetap layak diterapkan di manapun dan kapanpun. Akan tetapi sebaliknya, ketika syariat Islam tidak diterapkan dan pintu ijtihad pun seolah telah ditutup, umat Islam menjadi mandul dan tidak mampu memecahkan berbagai persoalan yang terjadi. Inilah yang pernah dihadapi umat Islam pasca ‘ditutupnya’ pintu ijtihad oleh al-Qaffâl pada abad ke-4 Hijriah/10 Masehi dan pasca digusurnya syariat Islam seiring dengan diruntuhkannya Khilafah Islamiyah pada tahun 1924 oleh Kemal Attaturk yang berkonspirasi dengan Yahudi dan Inggris. []

Posting Komentar untuk "Keluasan dan Fleksibilitas Syariah Islam"

close