Quovadis Generasi Z dan Milenial Indonesia?
Oleh: Alfisyah S.Pd (Guru dan Pegiat Literasi Islam)
Sensus terbaru tahun 2020 tentang jumlah penduduk Indonesia memberikan kabar gembira bagi masa depan bangsa ini. Total jumlah penduduk mencapai 270,20 juta jiwa.Sebesar 50,58 persen diantaranya adalah laki-laki dan perempuan 49,42 persen.Jumlah tersebut menunjukkan bahwa masih lebih banyak jumlah yang laki-laki dari pada perempuan. Berita bahagianya jumlah generasi Z dan generasi milenial mencapai angka yang sama yaitu 27,49 persen atau 74,93 juta jiwa. Angka itu jika ditambahkan lagi dengan generasi baby bomer yakni sebesar 11,56 persen akan mencapai hampir 87 persen dari jumlah total penduduk (Kompas.com, 20/01/2021).
Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia akan memiliki bonus demografi, saat ini hingga 30 tahun ke depan. Sebuah berita gembira bagi bangsa yang sedang terpuruk perekonomiannya. Namun di balik berita gembira itu kita masih mempertanyakan apakah negara kita sudah siap akan hal itu? pemerintah sudah memiliki strategi dan desain yang detail tentang langkah-langkah mewujudkan generasi emas dan berkualitas saat ini dan nanti? Apakah pemerintah juga sudah memiliki cara bagaimana mewujudkannya. Bagaimana dengan strategi ekonominya, sistem pendidikannya, sistem sosialnya dan peran media dalam berkontribusi mewujudkannya?
Jika seorang Ibu masuk ke dalam dunia kerja, maka seorang ibu itu akan meninggalkan anak-anaknya. Peran sentral membersamai anak akan berkurang karena sibuk bekerja. Anak hanya akan ditemani mainan, gadget dan sesuatu yang sifatnya mengalihkan saja. Anak dididik media sosial dan lingkungan yang belum tentu baik.
Kedua, jika sistem pendidikannya berbasis bisnis dan sekuler. Sistem pendidikan itu hanya mencetak generasi yang hanya berhasil secara akademis dan jauh dari kepribadian yang baik. Materi dan kebahagiaan secara finansial targetnya. Moral dan akhlak tak tersentuh sama sekali. Parahnya jika sistem pendidikan itu menjauhkan anak didik generasi Z dari Tuhan. Maka dengan mudah sistem itu mencetak generasi yang kapitalistik dan materialistik. Akhlak dan sopan santun jauh dari mereka secara sistemik.
Ketiga, media yang ada justru menayangkan siaran-siaran yang memicu tindakan tidak bermoral, memacu nafsu dan syahwat secara vulgar dan melakukan perbuatan hanya karena qimah (nilai) materinya saja. Berhasil secara akademi namun jauh dari sikap santun dan berakhlak.
Gerakan massif sistemik yang mengarahkan perempuan berbondong-bondong masuk ke dunia kerja ternyata harus berhadapan dengan kenyataan dari bonus demografi. Ada kontroversi yang sangat kontras di sana. Bagaimana mungkin mewujudkan generasi berkualitas jika agen pelaku pencetak generasi itu "dipaksa" meninggalkan poskonya. Perempuan malah turun ke dunia kerja di saat yang sama generasi z, milenial dan baby boom itu dibiarkan tanpa didikan dan pengawasan. Ada ketidaksinkronan yang jelas di sini.
Kapitalisnme memang menyisakan masalah baru. Bukan solusi yang solutif. Jadilah generasi z dan milenial itu sebagai generasi tanpa ibu. Ibu punya waktu mendidik yang "dirampas" oleh sistem kapitalisme. Secara tidak langsung perempuan borkontribusi pada prilaku buruk generasi itu. Anak tidak sehat secara fisik dan mentalnya. Anak juga mengalami siklus konsumerisme gadget dan mainan. Waktu bersama anak hilang. Anak, remaja dan anggota keluarga kehilangan keharmonisan karena hilangnya peran perempuan di rumahnya.
Konsep planet 50:50 antara laki-laki dan perempuan yang disetting untuk semua negara di dunia ini adalah konsep yang buruk dan busuk. Partisipasi perempuan dalam proyek pemberdayaan perempuan itu menjadi blunder bagi perempuan. Dilema menghantui perempuan. Dirinya berada di persimpangan, ketegangan jiwa dan fisik melanda karena tekanan kerja, pekerjaan rumah ,mendidik anak. Peluang depresi menjadi mungkin akibat stres dalam dunia kerja. Walhasil jika generasi usia 30-40 tahun itu mengalami peningkatan maka yang pertama kali berada dalam tekanan adalah kaum perempuannya. Perempuan akan stres karena terlalu banyak melakukan pekerjaan. Perempuan dipaksa harus bisa melakukan pekerjaannya. Sesungguhnya ini adalah ketidakadilan bagi perempuan.
Bonus demografi yang seyogyanya menjadi bonus bagi Indonesia justru menjadi sumber masalah. Semua itu karena strategi pemerintah yang berbasis sistem kapitalisme telah "gagal" dalam menjadikan generasi berkualitas. Hanya Islamlah yang terbukti menghasilkan generasi cerdas dan berkualitas. Sebagaimana yang dipraktekkan Nabi Muhammad dan para Khalifah setelahnya. Generasi cemerlang itu terbentuk karena rahasia dari syariat islam yang mengatur pembagian peran perempuan dan laki-laki di dunia. Peran laki-lakinya dalam tanggung jawab menafkahi keluarganya. Sedangkan seorang ibu berada di garda terdepan melakukan pendidikan pada anak-anaknya. Pengaturan peran ini bersifat detil dan rinci yang ditopang kebijakan negara. Negara pun memiliki desain khusus untuk para laki-laki mukallaf masuk dalam dunia kerja dan bisnis secara mudah. Negara pun memiliki kurikulum pendidikan yang mudah dipahami perempuan. Pada saat yang sama perempuan tidak sibuk keluar mencari nafkah karena negara sudah menyiapkan pekerjaan bagi suami mereka.
Adapun peran media sangat penting disini. Peran yang menjadikan negara nenjadi kuat. Media berfungsi menjelaskan secara detail kebijakan pemerintah dalam menentukan pihak mana yang menjadi pioner proses pendidikan. Demikian juga media menjelaskan kepada siapa saja amanah itu ditunaikan, selain itu perlu disampaikan kepada masyarakat bahwa peran negara dituntut dalam tugas ini. Sebagaimana media menjadi peran sentral yang luar biasa dalam menyukseskan pembinaan generasi z.
Demikianlah selama generasi z dan milenial itu ditangani secara kapitalistik. Maka bonus demografi itu akan menjadi bencana. Beda lagi jika Islam yang menuntaskannya. Semua itu karena Islam memang sistem yang solutif.
Posting Komentar untuk "Quovadis Generasi Z dan Milenial Indonesia?"