Ironi Rakyat Papa Ibu Kota
Oleh: Anggun Permatasari
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), persentase penduduk miskin DKI Jakarta naik 0,16 persen per September 2020, yakni sebesar 4,69 persen. Jumlahnya meningkat dibandingkan Maret 2020 yang besarnya 4,53 persen dan bertambah 1,27 poin dibanding September 2019 sebesar 3,42 persen (jakarta.bps.go.id, 15/2/2021).
Selama kurun waktu 6 bulan terakhir terhitung Maret 2020, jumlah rakyat miskin di Jakarta bertambah 15.980 orang. Bahkan, penduduk sangat miskin bertambah 76.500 orang dari 108,2 ribu di Maret menjadi 184,7 ribu pada September 2020 (jakarta.bps.go.id, 15/2/2021).
Berdasarkan catatan BPS, kenaikan ini ditengarai bergesernya status rakyat hampir miskin menjadi miskin, meningkatnya harga bahan pokok dan menurunnya daya beli masyarakat. Selain itu, laju pertumbuhan ekonomi yang lambat, ditambah meningkatnya jumlah pengangguran akibat Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) saat pandemi semakin memperparah kondisi ini.
Namun faktanya, sebelum Covid-19 singgah penduduk miskin di DKI Jakarta dari tahun ke tahun tidak pernah mengalami penurunan secara signifikan. Kalaupun terjadi pengurangan hanya sedikit sekali. Hal tersebut disebabkan oleh:
Pertama, kebijakan ekonomi tambal sulam membuat krisis ekonomi tidak kunjung usai. Solusi yang diberikan mulai dari dana PEN (Pemulihan Ekonomi Nasional), Basos (Bantuan Sosial), BLT (Bantuan Langsung Tunai), kartu pekerja dan lainnya hanya bersifat parsial. Langkah itu hanya meredam gejolak di permukaan, namun tidak menyelesaikan masalah. Seperti kita ketahui bahwa PEN sebagian besar berasal dari surat utang/obligasi (antaranews.com, 23/12/2020). Berarti, kita seolah hendak menyelesaikan masalah dengan menciptakan masalah baru.
Apalagi jika dikaitkan dengan pandemi. Sejak awal munculnya kasus Covid-19, pemerintah tidak berani menerapkan lockdown karena alasan perekonomian. Tapi ternyata, laju kontaminasi yang semakin tidak terbendung justru membuat geliat ekonomi semakin lesu.
Kedua, pendidikan. Ternyata, meski tinggal di Ibu Kota, namun pendidikan seperti menara gading yang sulit diraih. Menurut tren data sosial provinsi DKI Jakarta 2020 dari jakarta.bps.go.id, hingga tahun 2019 sebanyak 0,26 persen warga di kisaran usia 15-44 tahun menderita buta huruf. Sekitar 50% kepala rumah tangga miskin tidak memiliki ijazah SD/sederajat kebawah, sehingga peluang untuk mendapatkan pekerjaan dengan pendapatan yang lebih layak sulit dicapai.
Ketiga, pengangguran. Pada bulan Agustus tahun 2019, jumlah warga yang tidak berkerja sebanyak 339.402 orang. Kemudian naik 4,41 persen atau bertambah 233.378 orang di bulan Agustus 2020 menjadi 10,95 persen atau setara 572.780 orang (jakarta.bps.go.id, 11/5/2020).
Walau Pandemi Covid-19 menjadi salah satu faktor penyebab kenaikan tingkat pengangguran di Ibu Kota, yakni sebanyak 175.890 orang karena PSBB. Namun data di atas menunjukkan, sebelum corona datang tingkat pengangguran sudah tinggi.
Keempat, terdapat kesenjangan antara si kaya dan si miskin. Berdasarkan perhitungan Gini Ratio persentase ketimpangan sosial September 2020 naik 0,001 poin dibanding Gini Ratio Maret 2020 yaitu 0,399. Artinya, jika dihitung pendapatan penduduk per kepala, angka di atas kertas akan berbeda jauh dengan realitas. Karena metode perhitungannya menghasilkan nilai rata-rata.
Kelima, terbatasnya lapangan kerja. Masih diambil dari data BPS bahwa status pekerjaan rakyat DKI Jakarta dikelompokkan menjadi pekerja formal dan informal. Sebanyak 75% kepala rumah tangga miskin lebih banyak bekerja serabutan di sektor jasa. Mereka diantaranya adalah pengemudi online, pedagang makanan/minuman dan pelaku usaha UMKM yang pendapatannya tidak tetap.
Tahun 2019, pekerja di DKI Jakarta 52 persennya merupakan pekerja formal. Namun, komposisi pekerja formal antara laki-laki dan perempuan mempunyai pola yang berlawanan di mana pekerja laki-laki banyak yang di sektor formal (69 persen) sementara pekerja perempuan lebih banyak yang bekerja di sektor informal (63 persen). Ini menunjukkan bahwa pendapatan keluarga masih minim, hingga kaum perempuan harus turun tangan mencari nafkah.
Keenam, terbatasnya lapangan kerja hingga jumlah pengangguran yang membludak serta menjamurnya permukiman kumuh akibat padatnya penduduk ibu kota tidak lepas dari masalah massif-nya laju urbanisasi. Hingga saat ini, baik pemerintah DKI Jakarta maupun pemerintah pusat belum mampu menekan pertumbuhannya.
Melihat kondisi demikian, tentu menjadi pekerjaan rumah besar bagi Pemprov DKI Jakarta dan Pemerintah Pusat untuk mengatasinya. Salah satu masalah utama yang membuat problem kemiskinan tidak terselesaikan adalah standar kemiskinan yang dihitung dengan angka tanpa melihat fakta sebenarnya. Kemiskinan merupakan kenyataan. Sayangnya, kaum kapitalis menganggap kemiskinan merupakan ketidakmampuan seseorang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Padahal, dalam ajaran Islam kebutuhan manusia tidak hanya untuk makan sehari-hari saja. Masyarakat juga harus memenuhi kebutuhan primernya berupa sandang, pangan, papan (tempat tinggal), pendidikan, dan kesehatan.
Yang harus dilakukan pemerintah adalah bagaimana menjamin kebutuhan primer tersebut bisa dipenuhi warga dengan mudah dan murah. Namun, Lagi-lagi kenyataan berbicara bahwa saat pandemi harga barang dan jasa justru naik 3,58% terutama harga bahan makanan (bappeda.jakarta.go.id).
Oleh karena itu, butuh sistem dan mekanisme yang baik dan benar untuk menyelesaikannya. Sayangnya, sistem yang diadopsi Indonesia saat ini yakni sistem ekonomi demokrasi kapitalisme tidak mampu mengatasinya. Umat dan penguasa harus beralih pada sistem alternatif yang terbukti 13 abad berhasil mewujudkan kesejahteraan bagi rakyat yakni sistem Islam.
Dalam aturan Islam, selain kepala keluarga dan kerabat dekat, Allah Swt. mewajibkan negara menanggung warga miskin.
Rasulullah Saw. bersabda yang artinya, "Ketahuilah bahwa setiap dari kalian adalah pemimpin dan setiap dari kalian akan dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinannya, seorang pemimpin umat manusia adalah pemimpin bagi mereka dan ia bertanggung jawab dengan kepemimpinannya atas mereka" (HR. Bukhari).
Dalam aturan Islam, jika seseorang tidak memiliki saudara atau memiliki tapi penghasilannya pas-pasan, maka pihak yang wajib menafkahinya adalah negara yang diambil dari baitulmaal (kas negara).
Baitulmaal berasal dari harta kepemilikan umum yang dikelola negara dan hasilnya dikembalikan untuk rakyat berupa pelayanan atau fasilitas dengan biaya murah bahkan gratis. Harta milik umum adalah berupa barang tambang, minyak bumi, sungai, danau, hutan, jalan umum, air, listrik, dll. Harta ini wajib dikelola negara dan tidak boleh diswastanisasi apalagi diprivatisasi sebagaimana praktik dalam kapitalisme.
Negara juga wajib menyediakan lapangan kerja yang menyerap banyak tenaga kerja terutama untuk laki-laki. Karena di pundak merekalah tugas mencari nafkah bagi keluarganya. Negara membolehkan perempuan berperan dalam ranah publik, seperti dokter, perawat, guru, dll. Tetapi, tugas perempuan sebagai ibu dan pengurus rumah dan suaminya tetap menjadi kewajiban utama dan harus ditunaikan dengan sempurna.
Salah satu caranya yakni bisa secara langsung melakukan pendistribusian harta kepada individu rakyat yang membutuhkan. Seperti sebidang tanah kepada orang yang mampu mengelolanya. Bahkan, setiap individu berhak menghidupkan tanah mati, kemudian menggarapnya; yang dengan cara itu dia berhak memilikinya. Sebaliknya, negara berhak mengambil kembali tanah pertanian yang ditelantarkan pemiliknya selama tiga tahun berturut-turut.
Problem kemiskinan di DKI Jakarta tidak lepas dari tingkat pendidikan rendah yang berdampak pada kualitas SDM. Di sinilah negara Khilafah akan menyelenggarakan pendidikan gratis kepada rakyat. Demikian pula dengan layanan kesehatan yang diberikan secara cuma-cuma. Sebab, pendidikan dan kesehatan adalah kebutuhan primer yang wajib dipenuhi negara.
Dengan dipenuhinya kebutuhan dasar yang merupakan hak bagi setiap warga negara, in syaa Allah warga papa tidak akan membludak seperti sekarang ini, wallahualam bishawab.
Posting Komentar untuk "Ironi Rakyat Papa Ibu Kota"