Nasionalime Dalam Sebuah Catatan
Oleh: Aminudin Syuhadak (Direktur LANSKAP)
Nasionalisme dalam entitas sebuah negara sekular dipandang menjadi maskot berharga atas identitas bersama (common identity) masyarakat. Berakar dari paham nasionalisme inilah kemudian lahir konsepsi turunan yakni bangsa (nation), negara (state) dan gabungan keduanya menjadi konsep negara bangsa (nation state).
Nation-state digunakan sebagai spirit dalam mewujudkan bangunan politik (political building), seperti ketentuan ketentuan perbatasan teritorial, pemerintahan yang sah, pengakuan luar negeri, maupun bentuk negara sipil. Inilah implementasi dari dari gerakan nasionalisme. Adakah dampak negatifnya?
Pertama: Memecah belah umat. Barat menyadari betul, selama umat Islam bersatu dengan ikatan akidah Islam dan tersemai dalam institusi pemersatu umat, yakni Khilafah Islamiyah, maka kaum Muslim tetap kuat. Mereka tahu jika Islam bersatu maka Islam tak bisa dikalahkan. Karena itu mereka begitu massif menyebarkan pemikiran-pemikiran berbisa—salah satunya nasionalisme.—dalam rangka terus-menerus merongrong kekuatan umat Islam.
Di Jazirah Arab, menjelang akhir Abad 19 dibentuk persekutuan-persekutuan rahasia untuk mendorong nasionalisme Arab. Melalui propaganda gelap, persekutuan itu menyerukan kemerdekaan politik orang Arab, seperti di Syria dan Libanon. Mereka menuding Turki merebut Khilafah Islam dari orang Arab dan melanggar syariah Islam.
Meski sempat mendapat pertentangan keras dari kaum ideologis, gerakan ini banyak mendapat respon positif dari bangsa Arab sendiri. Terbukti dengan banyaknya gerakan ini di negara-negara Arab, di antaranya di Syria muncul beberapa gerakan nasionalisme Arab seperti, al-Jam’iyyah as-Suriyah dan al-Jam’iyah as-Sariyah (tahun 1912). Di Beirut, Damaskus, Halb, Baghdad, Bashrah dan Mousil muncul al-Jamiyat al-Islahiyah, yang beranggotakan campuran orang Muslim dan Nasrani, dan muncul gerakan-gerakan nasionalisme di negara Eropa yang dipelopori oleh para pemuda Arab.
Racun nasionalisme akhirnya benar-benar menjalar ke tengah kaum Muslim ketika pada tahun 1916 Inggris melalui seorang agennya Sharif Hussein dari Makkah melancarkan Pemberontakan Arab terhadap Khilafah Usmani di Turki. Pemberontakan ini sukses memisahkan Tanah Arab dari Khilafah dan kemudian menempatkan tanah itu di bawah mandat Inggris dan Prancis.
Pada saat yang sama, di Turki (1889) para jurnalis, penulis, penerbit dan agiator yang menimba ilmu di Paris di membentuk sebuah gerakan bernama Turki Muda. Para tokoh dalam gerakan ini seperti Mustafa Kemal Attaturk, Gokalp, maupun Ahmad Ridha, kemudian menyebarkan paham sesat sekularisme dan nasionalisme. Akhirnya, Khilafah Islam (1924) sebagai perisai kemuliaan umat Islam itu diruntuhkan. (Erik J. Zurcher, Sejarah Modern Turki).
Kedua: Menyuburkan berbagai konflik. Akibat paham nasionalisme diemban oleh kaum Muslim, Negara Islam yang sebelumnya bernaung di bawah panji tauhid Khilafah Islamiyah akhirnya dipecah-pecah menjadi sekitar 70 negeri-negeri kecil yang satu sama lain saling bersengketa. Negara serumpun Indonesia-Malaysia sejak 1961 tak luput dari sengketa. Semua itu berakar dari perebutan wilayah teritorial hingga tema kebudayaan. Berawal dari rebutan wilayah Serawak atau Sabah, Kalimantan, pada masa kini terus merembet dengan saling klaim kepemilikan tari pendet, angklung, keris, reog Ponorogo, kain batik, lagu kebangsaan, hingga masalah kedaulatan Ambalat. Ajakan “ganyang Malaysia” pun terus bergulir di Tanah Air.
Konflik Timur Tengah tak kalah dahsyat. Konfrontasi Irak-Iran meletus bermula pada bulan September 1980 dan berakhir pada bulan Agustus 1988. Perang saudara ini disulut ketika Irak pada tahun 1975 melanggar perjanjian perbatasan dengan Iran terkait kedaulatan sungai Shatt al-Arab yang mengalir di perbatasan kedua negara. Ribuan nyawa kaum Muslim melayang. Kerugian materi tak terhitung lagi.
Mesir dan Sudan juga pecah. Mulanya Sudan adalah bagian dari Mesir ketika dipimpin oleh M. Ali Pasha. Lalu terjadia Revolusi (1952) yang dipimpin oleh kelompok Perwira Bebas di Mesir, yang sukses meruntuhkan tahta Raja Mesir. Para penguasa baru Mesir lalu menyepakati Sudan untuk membentuk pemerintahannya sendiri atas campur tangan Inggris. Tak sampai di situ, Sudan robek kembali. Pada 9 Juli 2011, Sudan Selatan resmi menyatakan menjadi satu negara independen pisah dari Republik Sudan. Hingga sekarang, bentrokan perbatasan dan kepentingan ekonomi tetap merupakan masalah-masalah yang sulit diatasi antara Republik Sudan dan Sudan Selatan. Di kawasan ini sampai sekarang masih rentan terjadi peperangan.
Begitu pula antara Pakistan-Bangladesh. Semula mereka adalah hidup dalam satu negara. Namun Pada 1971 terjadi peningkatan ketidakpuasan politik dan nasionalisme budaya di Pakistan Timur. Hal ini menyebabkan adanya operasi penekanan oleh pasukan Pakistan Barat dengan brutal (operasi searchlight). Pakistan Timur, dibantu India, pada akhirnya memisahkan diri dan terbentuklah negara Bangladesh.
Hingga detik ini negeri-negeri di Timur Tengah terus mengalami sengketa. Air pun menjadi rebutan. Negara-negara Lembah Nil yang mencakup Mesir, Sudan, Sudan Selatan, Ethiopia, Uganda, Tanzania, Rwanda, Republik Demokratik Kongo, Kenya dan Burundi, terus bersengketa terkait pemanfaatan sungai Nil.
Ketiga: Memunculkan disintegrasi. Selain mengakibatkan pecahnya negara-negara di Timur tengah, nasionalisme juga tidak mampu mencegah adanya ancaman disintegrasi, seperti halnya di Indonesia. Ancaman terjadi sejak pasca Kemerdekaan hingga sekarang. Pada tahun 1948, misalnya, sebuah konflik kekerasan terjadi di Jawa Timur. Peristiwa ini diawali dengan adanya proklamasi negara Soviet Republik Indonesia oleh PKI. Di Sumatra sekitar tahun 1950-an muncul pula gerakan separatis PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) pimpinan Kolonel Ahmad Husen. Di Sulawesi ada PERMESTA (Piagam Perjuangan Rakyat Semesta) pimpinan D.J Somba dan Kolonel Samual.
Pada masa sekarang, beberapa daerah di Indonesia masih bergolak akibat ketidakpuasan politik dan ekonomi. Hasilnya, Timor-Timur kini tak lagi menjadi bagian dari NKRI. Daerah lain seperti Aceh, Maluku dan Papua masih berpotensi memisahkan diri. Muncul gerakan-gerakan penyeru kemerdekaan yang tetap eksis seperti GAM (Gerakan Aceh Merdeka), RMS (Republik Maluku Selatan) dan OPM (Organisasi Papua Merdeka).
Keempat: Melemahkan umat. Nasionalisme terbukti menghilangkan kepedulian umat sehingga kaum Muslim menjadi lemah. Negeri-negeri Islam menjadi santapan empuk bangsa-bangsa imperialis. Namun, mereka menghadapi persoalan itu hanya dengan sendiri-sendiri. Kesadaran bahwa umat Islam itu ibarat satu tubuh pun telah meluntur. Padahal persaudaraan mereka berjumlah lebih dari satu miliar manusia.
Nasionalisme inilah yang menyebabkan Palestina terus dinistakan oleh bangsa zionis Israel. Kaum zionis tahu, sistem nation-state yang terapkan di negeri-negeri Muslim adalah benteng penghalang umat Islam untuk membantu saudaranya.
Demikian pula terjadi dengan saudara-saudara di Afghanistan, Uighur, Irak, Afganistan, Suriah hingga Rohingnya. Para penguasa di negeri Muslim paling banter membela mereka hanya sebatas retorika belaka. Mereka enggan mengirimkan tentaranya untuk mengusir penjajah dan penista. Di sisi lain, sebagian besar umat Islam pun bahkan tidak peduli lagi karena menganggap urusan dalam negeri lebih penting ketimbang mengurusi negara lain.
Posting Komentar untuk "Nasionalime Dalam Sebuah Catatan "