Perang Baliho Menguak Wajah Politisi Dalam Demokrasi
Ilustrasi |
Oleh : Heny Era (Sahabat Visi Muslim Media)
Kontestasi pilpres masih jauh, baru di tahun 2024 mendatang. Tetapi, para calon kandidat sudah mulai ancang-ancang lewat berbagai media, mereka mulai unjuk gigi. Pemasangan baliho kampanyepun sudah mulai banyak bertebaran.
Baliho hingga billboard reklame sejumlah tokoh politik bertebaran di pinggiran jalan berbagai daerah di Indonesia. Pandemi Covid-19 tak membuat surut para tokoh tersebut untuk tampil meraih simpati publik. Justru mereka menunjukkan gelagat, inilah saat yang tepat. Baliho Ketua DPR RI Puan Maharani, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Abdul Muhaimin Iskandar (Cak Imin), hingga Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) mudah dijumpai di jalanan (sindonews.com 6/08/21).
Menurut pengamat politik sekaligus Direktur Lingkar Madani (Lima) Indonesia Ray Rangkuti, pemasangan baliho ini dinilai masih menjadi kampanye yang efektif untuk mendongkrak popularitas tokoh politik jelang Pemilu atau Pilkada. Karena tak bisa dipungkiri, masih ada segmen pemilih yang bisa dipengaruhi lewat cara-cara kampanye konvensional ini (bisnis.com 13/08/21).
Namun demikian dengan adanya pemasangan baliho ini terkuak fakta bahwa tidak adanya rasa empati para penguasa elit politik, mereka masih sempat tebar pesona sana-sini lewat penyebaran baliho sementara masyarakat masih berjibaku dengan kondisi sulit melawan pandemi. Niat hati agar dikenal dan dipilih malah membuat jenuh masyarakat yang melihatnya serta muak dan hilang rasa simpati masyarakat terhadap para calon. Alhasil hanya akan menuai protes dan makian dari masyarakat. Karena para politisi yang menawarkan diri menjadi pemimpin sibuk berebut kursi kekuasaan saja tanpa memiliki sosok kepekaan terhadap kondisi sempit rakyatnya.
Seperti dilansir dari bisnis.com (13/8/21), menurut Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia Yunarto, kampanye melalui baliho berpotensi menjadi bumerang bagi tokoh politik yang melakukannya. Alih-alih membangun citra positif atau meningkatkan elektabilitas, dampak dari pemasangan baliho itu justru sebaliknya. Hal tersebut tentunya tak terlepas dari kondisi saat ini. Apa yang mereka lakukan dinilai tak elok lantaran menghambur-hamburkan uang di tengah krisis yang dialami masyarakat Indonesia akibat pandemi Covid-19.
Jelas ini membuat masyarakat semakin mengelus dada mengingat negeri ini masih bertarung melawan pandemi. Kesulitan ekonomi masyatakat tak menjadi prioritas utama untuk cepat diatasi. Pemerintah lebih mementingkan singgasananya ketimbang nasib rakyatnya, rakyat hanya digandeng untuk memperoleh suara saat pesta demokrasi saja. Selebihnya pendapat rakyat tak pernah digubris malah dibungkam.
Peristiwa pembungkaman terjadi saat aspirasi masyarakat lewat beberapa mural yang viral yaitu yang bertuliskan " Dipaksa sehat di Negara yang Sakit" yang dilukis di sebidang dinding rumah warga di Kecamatan Bangil, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur dihapus oleh pihak berwenang di daerah tersebut. Selain dianggap melanggar aturan mengenai ketertiban lingkungan, kalimat yang terdapat pada karya seni tersebut juga dinilai bernada provokatif serta menghasut oleh pihak berwenang. Kejadian yang sama tak hanya mural di Pasuruan, beberapa waktu lalu juga sempat viral mural "404: Not Found" dengan gambar wajah seseorang yang dianggap mirip Presiden Joko Widodo. Pada akhirnya juga dihapus oleh pihak berwenang setempat dan TNI-Polri. (Kompas 18/08/21).
Ini menunjukan sikap bertolak belakang pemerintah begitu terasa ketika membiarkan para elit politik leluasa memasang baliho wajah sumringahnya namun suara rakyat dibatasi. Bukti bahwa demokrasi yang menjunjung tinggi kebebasan berpendapat tercoreng oleh para pelakunya sendiri.
Demokrasi sendiri adalah ideologi yang melahirkan sekularisme yaitu pemisahan agama dari kehidupan, menghasilkan sistem ekonomi kapitalis yang condong pada para kapital, adanya liberalisasi dalam bidang pendidikan serta sistem politik yang menyusahkan rakyat dengan aturan buatan manusia yang serba lemah dan terbatas, sehingga melahirkan elit politik korup pemuja kursi kekuasaan, meraih jabatan hanya untuk memperkaya diri dan kepentingan kelompok.
Dengan terkuaknya wajah demokrasi seharusnya menjadi cambuk bagi masyarakat dan sadar akan bobroknya sistem demokrasi, yang telah gagal mengurusi rakyat. Demokrasi niscaya hasilkan politisi pengabdi kursi, dan bersaing demi kekuasaan. Rasulullah saw pernah memperingatkan kondisi seperti ini dalam sebuah hadits :
وعن أَبي هُريرة أنَّ رسولَ اللَّه ﷺ قَالَ: إنَّكم ستحرِصون عَلَى الإمارةِ، وستَكُونُ نَدَامَةً يَوْم القِيامَةِ رواهُ
البخار
''Sesungguhnya kalian akan berlomba-lomba mendapatkan jabatan, padahal kelak di akhirat akan menjadi sebuah penyesalan" (HR Bukhari dari Abu Hurairah RA).
Politik demokrasi bertentangan dengan sistem Islam. Sistem Islam telah terbukti selama berabad-abad telah berhasil memuliakan rakyatnya, melahirkan pemimpin yang amanah tidak haus akan gemerlap kekuasaan dan peka terhadap penderitaan rakyat. Bahkan pada masanya dapat mencapai puncak peradaban gemillang. Seorang pemimpin Islam akan senantiasa amanah, karena di pundaknyalah letak tanggung jawab yang kelak akan Allah hisab, sabda Rasulullah saw :
“Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari)
Selain itu aturan Islam yang paripurna dapat menjawab semua permasalahan kehidupan. Agama fitrah yang sesuai dengan kebutuhan manusia untuk tunduk kepada Sang Maha Pencipta, menghasilkan umat dan pemimpin yang berkarakter unggul, dan mampu mewujudkan peradaban yang masyhur. Kesejahteraan, keadilan dan ketakwaan akan senantiasa ada dan dirasakan di tengah-tengah umat.
Saatnya mengeliminasi demokrasi dari negeri, sebuah sistem jahiliyah buatan manusia dan menggantinya dengan sistem Islam yang mulia buatan Sang Pencipta sebagai pembuat hukum yang terbaik.
Posting Komentar untuk "Perang Baliho Menguak Wajah Politisi Dalam Demokrasi"