Presiden Tunisia Membekukan Parlemen dan Memberhentikan Perdana Menteri!
Soal:
Ridha Gharslawi mengambil sumpah konstitusional di hadapan Presiden Qais Said untuk menjalankan Kementerian Dalam Negeri, setelah sebelumnya ia menjabat sebagai penasihat, seperti yang dilansir oleh al-Jazeera, 30/7/2021). Setelah pertemuan darurat dengan para pemimpin militer dan keamanan, Presiden Qais Said mengumumkan pembekuan keanggotaan parlemen dan pemberhentian Perdana Menteri Hisyam al-Masyisyi dari tugasnya bersandar kepada Pasal 80 Konstitusi Tunisia. Dia juga mengumumkan pencabutan kekebalan dari anggota Parlemen, pemecatan Menteri Pertahanan dan Menteri Kehakiman, dan dia menjalankan kekuasaan eksekutif dengan dibantu oleh seorang perdana menteri yang dia tunjuk sendiri… Mengapa presiden Tunisia melakukan semua itu? Apa reaksi internasional? Apakah ini berarti bahwa pertarungan internasional telah bergerak kuat menuju Tunisia?
Jawab:
Untuk menjelaskan pandangan yang rajih dalam masalah-masalah ini kami paparkan sebagai berikut:
1- Krisis antara Presiden Tunisia Qais Said dengan Pemerintah dan Parlemen dimulai pada awal tahun ini, ketika Perdana Menteri Hisyam al-Masyisyi pada 16/1/2021 mengumumkan perombakan kabinet yang mencakup 11 orang dari 25 orang menteri. Presiden Tunisia menolak perombakan menteri, termasuk pemberhentian beberapa menteri yang dekat dengannya. Said mengatakan pada 25 Januari 2021, “Perombakan menteri baru-baru ini yang dilakukan oleh Perdana Menteri Hisyam al-Masyisyi terhadap pemerintah tidak menghormati prosedur yang ditetapkan dalam konstitusi, khususnya yang diatur dalam Pasal 92, yaitu perlunya musyawarah di kabinet jika masalahnya berkaitan dengan perombakan struktur pemerintahan, di samping pelanggaran-pelanggaran lainnya (dia tidak menyebutkannya)”. Said mengatakan, “Beberapa usulan amandemen konstitusi berkaitan dengan masalah-masalah atau memiliki file konflik kepentingan… Orang yang berkaitan dengan masalah-masalah tidak mungkin melakukan sumpah, dan bahwa pengambilan sumpah bukanlah prosedur formal, melainkan prosedur mendasar”. Dia mengungkapkan ketidakpuasannya dengan “tidak adanya perempuan dari daftar menteri yang diusulkan…” (AFP, 25/1/2021). Keputusan Presiden itu terjadi sementara Tunisia sedang menderita krisis ekonomi yang mencekik, diperparah oleh dampak pandemi Corona yang melanda negara itu dengan keras, diiringi dengan peringatan akan segera kolapsnya sistem kesehatan, yang mengharuskan diterimanya bantuan-bantuan medis segera dari berbagai negara selama beberapa hari terakhir. Dan Institut Statistik Tunisia telah menerbitkan bahwa ekonomi Tunisia menyusut sebesar 8,8 persen pada tahun 2020 (data dari Institut Statistik Tunisia “resmi”, pada hari Senin, menunjukkan bahwa ekonomi negara itu mencatat rekor penurunan sebesar 8,8 persen pada tahun 2020. Perekonomian Tunisia, yang sangat bergantung pada pariwisata, sangat terpengaruh oleh dampak pandemi Corona… Institut Statistik mengatakan bahwa tingkat pengangguran naik menjadi 17,4 persen pada kuartal keempat 2020, dibandingkan dengan 16,2 persen yang tercatat pada kuartal ketiga tahun yang sama… (Anadolu Agency, 15/2/2021).
2- Pada 25/7/2021, Kepresidenan Tunisia menerbitkan sebuah pernyataan di halaman Facebook resminya, yang mana mengatakan: “Setelah berkonsultasi dengan Perdana Menteri dan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, dan sesuai dengan Pasal 80 Konstitusi, Presiden Qais Said, pada hari ini, 25 Juli 2021, dalam rangka menjaga keutuhan negara dan keamanan dan kemerdekaan negeri, dan untuk menjamin berjalannya roda negara secara normal, mengambil keputusan sebagai berikut: * Memberhentikan Perdana Menteri, Mr. Hisyam al-Masyisyi. * Membekukan tugas dan kekuasaan Parlemen untuk jangka waktu 30 hari. * Mencabut kekebalan parlemen dari semua anggota Dewan Perwakilan Rakyat. * Presiden menjalankan kekuasaan eksekutif dengan bantuan pemerintahan yang dipimpin oleh seorang perdana menteri yang ditunjuk oleh Presiden”. Pernyataan itu menambahkan, “Sebuah perintah akan dikeluarkan dalam beberapa jam mendatang yang mengatur langkah-langkah luar biasa yang diperlukan oleh keadaan, dan yang akan dicabut ketika sebab-sebabnya hilang… Kepresidenan menyerukan kepada rakyat Tunisia untuk tidak terjermus di belakang para penyeru kekacauan” (Dubai, CNN, 26/7/2021). Said telah menekankan bahwa keputusannya (“bukan sebagai penangguhan konstitusi, dan bukan penyimpangan dari legitimasi konstitusional”… (al-Jazeera.Net, 26/7/2021). Presiden Tunisia Qais Said mengumumkan pada Jumat bahwa dia tidak akan berubah menjadi seorang diktator, mengingat bahwa (”ia tahu betul teks-teks konstitusi, menghormatinya dan mempelajarinya)”. Sebelumnya, kantor berita resmi mengindikasikan bahwa pengadilan telah membuka penyelidikan atas empat orang anggota partai an-Nahdhah, termasuk pengawal pribadi Ghannousyi, atas tuduhan mencoba melakukan tindakan kekerasan di depan Parlemen, dan seorang anggota Parlemen Tunisia Yasin al-‘Ayari (France 24 – AFP – Reuters, 30/7/2021).
3- Di halaman Facebook resminya pada 26/7/2021, Ketua Parlemen Tunisia, Rasyid Ghannouchi, membantah bahwa Presiden berkonsultasi dengannya. Dia menulis, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat menafikan adanya konsultasi kepadanya untuk mengaktifkan Pasal 80 Konstitusi. Presiden Qais Said sama sekali tidak meminta pendapatnya seputar pengaktifan Pasal 80 Konstitusi. Dan selain yang demikian itu, maka itu adalah klaim bohong”. Pada Senin pagi, para tentara menghalangi Ketua dan anggota Dewan Perwakilan untuk memasuki markas parlemen dan memberitahukan bahwa mereka memiliki instruksi untuk menutup Parlemen. Ghannousyi berkata (“Saya adalah Ketua Dewan yang berdiri di depan institusi yang saya pimpin sementara tentara mencegah saya memasukinya”. Dia menuduh Sa’id dengan tuduhan “kudeta terhadap revolusi dan Konstitusi” … (al-Jazeera, 27/7/2021). Tetapi Said mengatakan bahwa, “keputusannya paling akhir bukan merupakan upaya kudeta terhadap konstitusi dan bahwa dia tidak berniyat melakukan kudeta terhadap konstitusi dan legitimasi di negara, dan bahwa keputusan baru-baru ini sepenuhnya konsttusional dan akan berakhir berlakunya segera setelah bahaya yang mengancam negara hilang” (Halaman Facebook Kepresidenan Tunisia, 27/7/2021). Kemudian, pada 30/7/2021, Ridha Gharslawi menyampaikan sumpah konstitusional di hadapan Presiden Qais Said untuk menjalankan Kementerian Dalam Negeri, setelah sebelumnya ia menjadi penasehat, sebagaimana dilansir oleh al-Jazeera pada 30/7/2021.
4- Adapun reaksi negara-negara besar yang berpengaruh di Tunisia maka sebagai berikut:
A- Amerika: Amerika tidak memiliki pengaruh politik yang efektif di Tunisia. Kelas politik yang ada pada pokoknya berafiliasi kepada Inggris, kemudian Prancis juga dapat memasukkan pengaruhnya. Begitulah, para politisi, mereka berada dalam pengaruh Eropa, yaitu Inggris dan Prancis. Amerika telah mencoba untuk campur tangan sampai batas tertentu melalui bantuan militer dan bantuan masyarakat sipil. Adapun bantuan militer, Amerika Serikat telah mencoba metode ini untuk mendapatkan pengaruh di Tunisia. Selama beberapa dekade, dengan dalih terorisme, Amerika Serikat telah mempersenjatai, melatih, dan bekerja dengan militer Tunisia. Amerika Serikat mendanai militer Tunisia di bawah kerangka Pendidikan dan Pelatihan Militer Internasional (IMET) dan melalui Program Persekutuan Kontraterorisme. Bantuan AS mencapai sekitar US$2,7 miliar antara 2012 dan 2016. Kemudian, Tunisia ditetapkan sebagai sekutu non-NATO pada 2015. Dan pada 1 Oktober 2020, Menteri Pertahanan AS, Mark Esper menandatangani perjanjian kerja sama militer selama 10 tahun dengan Tunisia. Esper menjelaskan dalam pidatonya setelah pertemuannya dengan Presiden Qais Said (“Kami berharap dapat memperluas hubungan ini untuk membantu Tunisia melindungi pelabuhan laut dan perbatasan daratnya, mencegah terorisme dan menjauhkan upaya destruktif rezim otoriter dari negara Anda”… (Africa News, 1 Oktober 2020).
Adapun cara bantuan masyarakat sipil maka itu dilakukan oleh Kedutaan Besar AS di Tunisia dalam kerangka Program Tata Kelola yang Baik dan Dukungan Anti Korupsi (Good Governance and Anti-Corruption Support Program) di Tunisia yang didanai oleh Kedutaan Besar AS senilai US$5,6 juta. (Organisasi Pusat Nasional untuk Mahkamah Provinsi -NCSC telah menandatangani nota kesepahaman (MoU) dengan Kementerian Hubungan bersama institusi konstitusional dan masyarakat sipil untuk mengembangkan platform digital tentang organisasi masyarakat sipil. Platfor ini akan berkontribusi dalam memungkinkan organisasi masyarakat sipil mendaftar dari jarak jauh, selain menyiapkan laporan keuangan dan literatur tentang yayasan untuk meningkatkan efisiensi dan mekanisme akuntabilitas… (Kedutaan Besar AS di Tunisia, 20 Desember 2020) … Namun cara-cara tersebut dapat menjadi pintu masuk pengaruh di suatu negara jika terjadi kekosongan politik dan di situ tidak ada pengaruh dari negara kawakan seperti Inggris selain Uni Eropa, khususnya Perancis dan Jerman yang sedang naik untuk menyusul Inggris… Oleh karena itu, tindakan Amerika ini bukan merupakan penetrasi terhadap pengaruh Inggris atau Uni Eropa di Tunisia saat ini. Militer itu sangat kecil dan memainkan peranan sekunder dalam politik negara. Oleh karena itu, masih perlu lebih banyak waktu bagi AS untuk menemukan agen-agen setia dan membangun kemampuan militer untuk memainkan peran yang berpengaruh di Tunisia. Dan ini mungkin memakan waktu… Artinya peran Amerika tidak efektif di Tunisia sejauh ini. Melainkan itu merupakan sebuah peran umum dengan dalih menyerukan demokrasi dan hak asasi manusia! Namun demikian, Amerika tidak akan meninggalkan upayanya untuk menembus Tunisia…
B- Inggris: Inggris sepenuhnya memegang kendali sebelum revolusi. Inggris menjalankan negara tersebut dari balik tirai melalui agennya Zain al-Abidin dan sebelumnya Bourquiba secara penuh. Dan Inggris tidak memiliki pesaing internasional dalam arti sebenarnya di kancah Tunisia. Bahkan Inggris dahulu secara terbuka memelihara partai oposisi seperti menjamu Rashid Ghannousyi pemimpin gerakan an-Nahdhah untuk menyerap oposisi “Islami” dan menggunakan kartu penting ini saat dibutuhkan… Inggris berkeliaran di Tunisia dengan leluasa. Pada 2015, Kedutaan Besar Inggris di Tunisia mengundang Perusahaan Adam Smith Konsultan Internasional (Adam Smith’s International Consulting) untuk memberikan saran kepada pemerintah di Tunisia, melatih perwira senior, merumuskan kebijakan dan memperkenalkan undang-undang baru. Demikian pula, Aktis Strategy Ltd juga dihadirkan ke Tunisia, sebuah kontraktor pembangunan yang mengelola kontrak jutaan pound untuk Kementerian Luar Negeri dan Persemakmuran Inggris.
Kemudian, Inggris mengendalikan kelas politik mulai dari Habib Bourguiba hingga Bin Ali hingga al-Baji as-Sibsi, yang mendirikan partai Nida’ Tunis pada tahun 2012. Dia adalah salah satu sahabat Habib Bourguiba dan sekutu Ben Ali. Jadi dia mengumpulkan semua kekuatan sekuler lama yang digunakan oleh Inggris untuk bekerja bersama Inggris. Begitulah, Inggris mempertahankan pengaruhnya di negara itu dengan mengendalikan kelas politik. Namun, dengan kepergian Zain al-Abidin dari kursi kepresidenan di Tunisia, Inggris telah kehilangan agen kuatnya tanpa kehilangan rezim, karena Inggris memiliki banyak agen di dalam negara di Tunisia maupun di luar negara. Tetapi pengaruh politiknya menjadi lebih lemah daripada sebelumnya. Ingris belum bisa naik dari kelemahan ini dengan kembalinya Ghannousyi dari Inggris, yang setia kepada Inggris. Hal itu karena para anggota dan pemimpin Partai an-Nahdhah tidak bersatu dalam kepemimpinan Ghannousyi, apalagi sejak dia menjadi sekuler. Di dalam partai an-Nahdhah, ada orang-orang mukhlish dan di tengah mereka ada orang-orang yang mempercayai Turki dan Presidennya, Erdogan. Semua ini menjadi halangan bagi Inggris untuk merapikan barisan para pengikutnya. Bahkan membuka jalan untuk Turki yang pro Amerika untuk berpengaruh di dalam partai an-Nahdhah dan mengancam kepemimpinan Ghannousyi untuk gerakan itu dari dalam. Untuk menyelesaikan masalah ini, gerakan an-Nahdhah mulai mengurangi “Islamisnya” untuk meningkatkan penerimaan kaum sekularis. Maka gerakan an-Nahdhah memisahkan “Dakwah” dari “politik” dan bersekutu dengan “Nida’ Tunis” pada tahun 2014 untuk membentuk sebuah front parlemen yang luas untuk mendukung agen Inggris al-Baji as-Sibsi. Tetapi partainya tidak melanjutkan dengan kekuatannya melainkan justru retak… Dan dengan mendalami sikap Inggris, menjadi jelas bahwa peristiwa di Tunisia mengejutkan Inggris. Surat kabar Inggris the Guardian, menurut situs al-Jazeera.Net, pada 27/07/2021 M menerbitkan sebuah artikel berjudul “Pandangan Guardian seputar Kudeta di Tunisia: Musim Semi Berubah Menjadi Musim Dingin”. Artikel tersebut menyebutkan bahwa Tunisia menyaksikan kontra-revolusi dengan menganggap bahwa (“serbuan aparat keamanan ke stasiun televisi sama sekali bukan pertanda baik“. Artikel tersebut juga menyatakan bahwa “warga bertindak acuh tak acuh dan menerima konsep-konsep yang tidak liberal karena kebebasan dan demokrasi tidak merealisasi stabilitas politik dan ekonomi yang makmur. Sebaliknya, korupsi, inflasi, dan pengangguran tetap ada, dan sepertiga rumah tangga di Tunisia takut kehabisan makanan tahun lalu setelah merebaknya pandemi Corona, dan bahwa pemerintah, menurut dokumen yang bocor, siap untuk membatalkan subsidi roti dalam negosiasi untuk mendapat pinjaman US$ 4 miliar dari Dana Moneter Internasional (IMF), dan itu adalah yang keempat dalam 10 tahun. Kemarahan tidak bertambah parah terhadap penanganan pandemi oleh Pemerintah kecuali karena tingkat utang nasional. Pembayaran utang sekarang mencapai enam kali lipat dari anggaran kesehatan negara”. Artinya, rezim berada di bawah tekanan Amerika melalui Dana Moneter Internasional (IMF), dan Amerika bekerja untuk memperkuat kehadirannya di Tunisia melalui tekanan-tekanan ini”).
Dengan semua ini, jelas bahwa pengaruh Inggris di Tunisia secara riil telah melemah. Dan dengan keadaan yang terus menerus melemahkannya, Prancis telah menemukan pintu untuk masuk secara kuat ke Tunisia. Inggris menduga bahwa pengaruh Prancis tidak berbahaya karena Inggris selalu berkoordinasi dengan Prancis, terutama melawan pengaruh Amerika. Kedua negara itu sepakat atas hal ini. Tetapi “Brexit” Inggris telah menyebabkan keretakan besar di antara mereka. Dan tak satu pun dari keduanya yang berusaha untuk menjembataninya. Bahkan sejumlah negara Uni Eropa, terutama Jerman, memiliki posisi yang dekat dengan Prancis. Dan mereka tidak menggambarkan apa yang terjadi di Tunisia sebagai kudeta seperti yang selalu dilakukan oleh media Inggris. (Juru bicara Kementerian Luar Negeri Jerman Maria Adebehr mengatakan hari ini, Senin, bahwa Berlin prihatin dengan gejolak politik yang meningkat di Tunisia dan menyerukan agar negara itu dikembalikan ke keadaan tatanan hukum konstitusional. Namun Berlin percaya bahwa apa yang terjadi bukanlah sebuah “kudeta”… (Sputnik, 26/7/ 2021).
- Prancis: adapun sikap Prancis adalah lebih menarik perhatian:
– (Presiden baru, Qais Said, adalah seorang anti-kolonialis yang hebat, dan usul-usul revolusionernya dapat diterima oleh rakyat Tunisia yang memilihnya dengan harapan menghilangkan “pengawal lama” yang telah memimpin negara pada periode pasca-“revolusi” dengan satu atau lain cara. Dan ketika Presiden Said menjadi presiden pada November 2019, Presiden Tunisia menjadi independen pada awalnya. Tetapi karena mentalitasnya inferior, dan banyak yang semisalnya, dia pun harus bersandar kepada kekuatan internasional. Dia menemukan kedua tangan Prancis terbuka untuknya dan Prancis bermimpi untuk mengembalikan Tunisia sebagai anggota aktif dari sistem Francoisme. Di antara bukti bahwa Prancis memang berhasil menjadikan Qais Said sebagai agennya adalah sebagai berikut:
– Dengan terbelahnya parlemen Tunisia menjadi dua bagian: bagian pendukung Presiden Qais Said, dan bagian penentangnya, yang merupakan bagian yang lebih besar, maka “Koalisi Kemuliaan –I`tilâfu al-Karâmah-” yang berkoalisi dengan gerakan an-Nahdhah di bagian parlemen yang menentang Presiden Qais Said dan yang paling memusuhi Prancis di dalam Parlemen Tunisia, telah mulai bekerja untuk mengganggu hubungan Prancis dengan Tunisia. Koalisi ini mengusulkan gagasan “permintaan maaf Prancis” atas imprialismenya terhadap Tunisia untuk dilakukan pemungutan suara parlemen. Koalisi itu tidak mengusulkan hal itu selama kepresidenan as-Sibsi atau al-Marzuqi, yang menunjukkan bahwa penentang Presiden Qais Said ingin mempermalukan presiden dan mempermalukan Prancis dalam hubungannya dengan Tunisia dan untuk mengingatkan permusuhan imperialisme Prancis. Namun, Presiden Tunisia bersikap hampir menjadi pembela Prancis, berlawanan dengan sikapnya selama kampanye pemilu. Said berkata: (“siapa yang meminta maaf berarti mengutuk dirinya sendiri”. Ia menambahkan, “Mari kita melihat ke masa depan”… Prancis melakukan kejahatan di Tunisia, tetapi itu di bawah sistem perlindungan, bukan imperialisme langsung seperti yang terjadi di Aljazair. Dia segera menambahkan bahwa orang-orang Tunisia membayar mahal harga kemerdekaan mereka dan mereka pantas mendapatkan permintaan maaf. Tetapi pengumuman permintaan maaf saja tidak cukup. Dia melanjutkan , “Mungkin permintaan maaf disertai proyek-proyek dan mungkin juga kerja sama baru”, mengingat daftar permintaan maaf itu tidak membuatnya tidak bersalah. Dan dia bertanya-tanya, “Mengapa setelah 60 tahun kita meminta permintaan maaf?” (website Ultratunis, 23 6/2020).
– (Pada Juni 2020, Said memilih Prancis sebagai tujuan Eropa pertamanya setelah mengemban tugasnya sebagai presiden, yang dengan itu bertujuan untuk mengokohkan stabilitas hubungan dengan Paris (Anadolu, 4/6/2021). Sebelum kunjungan Presiden Tunisia ke Paris dan menjelang kunjungannya, dia menjamu para pejabat tinggi Prancis yang berbondong-bondong ke Tunisia, satu hal yang mengisyaratkan kekhususan hubungan setelah Qais Said memegang tampuk kekuasaan. (Dari sudut ini, undangan presiden ke Prancis mungkin merupakan pendahuluan untuk proyek kerja sama militer antara kedua negara, terutama karena kunjungan ini didahului oleh kunjungan Menteri Pertahanan Prancis ke Tunisia pada Mei 2020 dan sebelumnya adalah kunjungan Kepala Staf Angkatan Darat Darat Prancis, dan tidak ada berita yang keluar tentang isi dari dua kunjungan itu selain kalimat biasa berupa pembicaraan tentang masalah-masalah yang menjadi perhatian bersama (al-Jazeera, 18/6/2020).
– Prancis terus mengirim pejabat seniornya ke Tunisia setiap kali krisis di Tunisia meningkat dan bersama itu kebutuhan untuk dukungan Prancis pun meningkat. (Perdana Menteri Prancis Jean Castix tiba di Tunisia pada Rabu malam dalam kunjungan yang ditemani oleh enam menteri dan akan berlanjut hingga Kamis, dengan tujuan mempererat hubungan dengan negara Afrika yang sedang mengalami sejumlah krisis dan terjerembab di bawah dampak pandemi virus Corona. Pembicaraan akan membahas file-file “kemitraan ekonomi”, “dukungan” dan “krisis kesehatan”. Dan kunjungan tersebut akan mencakup penandatanganan kesepakatan-kesepakatan, tur lokakarya untuk membangun jaringan kereta api cepat di Tunisia, dan pertemuan di bidang digital yang diselenggarakan oleh pengusaha Tunisia dan Prancis. (France 24, 2/6/2021).
– Presiden Tunisia berpartisipasi dalam KTT Ekonomi Afrika yang diselenggarakan oleh Prancis di Paris (Sputnik Rusia, 22/5/2021). KTT itu tidak mengumumkan hasil eksternal apa pun untuk Tunisia, kecuali janji beberapa vaksin Corona. Dan ini menunjukkan bahwa kunjungan tersebut ditujukan untuk membahas situasi dalam negeri Tunisia dengan Presiden Macron. Karena, Said lebih banyak berbicara tentang situasi dalam negeri Tunisia di media Prancis daripada KTT itu. Mungkin kunjungan itu sebagai tanggapan atas kunjungan Ghannousyi ke Qatar, yang disebutnya “diplomasi parlementer”, yang berarti bahwa masing-masing dari mereka memperkuat diri dengan tuannya dan sesama agen.
– Prancis berjanji memberikan 1,7 miliar Euro untuk mendukung Tunisia dalam bentuk bantuan dan pinjaman hingga 2022 untuk membiayai proyek-proyek di bidang kesehatan dan penciptaan lapangan kerja. Presiden Prancis Macron mengumumkan utang sebesar 350 juta Euro selama kunjungan Presiden Tunisia Qais Said ke Paris pada pertengahan tahun 2020… (al-‘Araby al-Jadeed, 2 11/11/2020).
– Kanal al-Jazeera pada 28/7/2021 mengutip dari pernyataan resmi paling jelas yang dikeluarkan oleh Prancis, apa yang dikatakan oleh Menteri Luar Negeri Prancis Le Drian bahwa, “Prancis mengikuti perkembangan di Tunisia dengan perhatian terbesar”. RT mengutip dari Le Drian pada 28/7/2021, (dan menurut Kementerian Luar Negeri Prancis, dalam sebuah pernyataan yang dikeluarkan pada hari Rabu, bahwa Le Drian berbicara melalui telepon hari ini dengan mitranya dari Tunisia, Utsman al-Jarandi. Le Drian menekankan, menurut pernyataan itu, “pentingnya sesegera mungkin pengangkatan seorang perdana menteri dan pembentukan pemerintahan yang dapat memenuhi harapan rakyat Tunisia di tengah krisis yang sedang dialami negara tersebut”).
Ringkasnya: Semua indikasi pertarungan internasional yang berkecamuk di Tunisia menunjukkan bahwa itu adalah pertarungan antara Inggris, pemilik pengaruh sebelumnya dan besar di Tunisia, dengan Prancis, pemilik pengaruh baru dan tidak stabil di Tunisia. Dan menunjukkan bahwa Amerika masih jauh dari pusat gravitasi dalam pertarungan ini, meski Prancis dan agen-agennya ingin memperkuat diri dengan Amerika dan agen-agennya di kawasan melawan agen-agen Inggris di Tunisia. Anda lihat, Prancis mendorong agennya di Tunisia ke agen Amerika di Mesir. Tetapi pengaruh Mesir di Tunisia jauh lebih kecil daripada pengaruh agen Inggris di Aljazair, yang berbatasan langsung dengan Tunisia. Presiden Aljazair menyinggung Tunisia dan hubungannya dengan Prancis ketika dia berkata: (Taboun mengatakan bahwa Prancis membaca seribu kali untuk Aljazair, dia mengarahkan kata-katanya kepada wartawan yang bertanya kepadanya apa jika Prancis terus memandang Aljazair sebagai provinsi Prancis, dia mengoreksi hal itu dengan mengatakan, “Tidak, tidak”. Dia melanjutkan, “yang Anda maskudkan negara lain yang mereka beri perintah dan negara itu diam dan menjalankan”. Sebagian orang menilai bahwa perkataan presiden Aljazair itu menunjuk kepada Tunisia, terutama setelah pernyataan Presiden Tunisia, Qais Said, dalam kunjungannya ke Prancis, yang mengatakan bahwa Tunisia tidak berada di bawah penjajahan tetapi berada di bawah perlindungan. .. (website al-Hashriy, 7/8/2021).
Dari semua sikap internasional ini, jelas bahwa Prancis melawan Inggris untuk merebut kekuasaan di Tunisia. Tetapi pertikaian itu ada di dalam Eropa. Sementara Amerika tidak berada di dalam pertikaian. Olehnya itu kami tidak mengatakan tentang apa yang terjadi bahwa itu merupakan pertarungan internasional dalam makna istilahnya dikarenakan ketidakhadiran Amerika secara efektif di dalamnya. Melainkan, seperti yang kami katakan di atas, itu merupakan pertikaian di dalam Eropa, khususnya Prancis dan Jerman di satu sisi, dan Inggris di sisi lain … Oleh karena itu, pertikaian itu tidak akan mengambil karakter petikaian yang panjang. Sebaliknya formula konsensus akan kembali. Dan kemungkinan besarnya, pengaruh Inggris tidak akan meninggalkan Tunisia. Inggris telah menguasai kemahiran kelicikan politik yang tidak dimiliki oleh Prancis … Meski demikian, kami memohon kepada Allah, Yang Mahakuat, lagi Mahaperkasa agar membuat permusuhan di antara mereka menjadi kuat sekali, dan agar Allah memuliakan kita dengan tegaknya al-Khilafah melalui tangan-tangan kita, sehingga Islam dan kaum Muslim mulia, dan sebaliknya kekufuran dan orang-orang kafir hina dina.
﴿وَيَوْمَئِذٍ يَفْرَحُ الْمُؤْمِنُونَ * بِنَصْرِ اللَّهِ يَنْصُرُ مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ الْعَزِيزُ الرَّحِيمُ﴾
“Dan pada hari itu orang-orang mukmin bergembira * Karena pertolongan Allah. Dia menolong siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Dialah Maha Perkasa lagi Penyayang” (TQS ar-Rum [30]: 5).
22 Dzul Hijjah 1442 H
1 Agustus 2021 M
http://www.hizb-ut-tahrir.info/ar/index.php/ameer/political-questions/76900.html
Posting Komentar untuk "Presiden Tunisia Membekukan Parlemen dan Memberhentikan Perdana Menteri!"