Krisis Demokrasi: Melawan Publik dengan Somasi
Oleh: Ong Hwei Fang (Sahabat Visi Muslim Media)
Somasi yang dilayangkan kubu Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan kepada Direktur Eksekutif Lokataru, Haris Azhar, menandai tren baru represi pemerintah kepada masyarakat sipil. Pola semacam ini bukan pertama kalinya dilakukan oleh pejabat publik. Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko juga pernah menyomasi Indonesia Corruption Watch (Tempo.co 29/8).
Kasus somasi lainnya terjadi pada tanggal 30 Juli 2021 dimana Koalisi Masyarakat Sipil, yang terdiri dari 109 organisasi, mengecam langkah Kepala Kantor Staf Kepresidenan Moeldoko yang mengancam akan mempolisikan Indonesia Corruption Watch. Menurut koalisi, langkah Moeldoko tersebut termasuk pemberangusan demokrasi dan upaya kriminalisasi.
Dapat disaksikan bersama, setidaknya terdapat dua somasi yang dilayangkan oleh pejabat negara terhadap organisasi masyarakat sipil. Pertama, somasi yang dilakukan Moeldoko, Kepala Kantor Staf Presiden (KSP), kepada Indonesia Corruption Watch (ICW) karena laporan lembaga tersebut soal dugaan keterlibatannya dalam peredaran obat Ivermectin dan ekspor beras. Kedua, somasi Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi, kepada Haris Azhar dari Lokataru dan Fatia Maulidiyanti dari Kontras. Somasi kedua ini dilatarbelakangi video di kanal YouTube Haris Azhar yang menyebut dugaan Luhut "bermain" dalam relasi ekonomi dan operasi militer di Intan Jaya, Papua. Somasi ini merupakan ancaman terhadap demokrasi.
Dugaan keterlibatan kedua pejabat yang diungkapkan oleh masyarakat sipil tentu berangkat dari laporan dan riset ilmiah. Selain itu, pernyataan yang dikeluarkan merupakan bentuk pengawasan publik terhadap jalannya pemerintahan dalam suatu negara demokratis. Dalam konteks ICW, mereka ingin memastikan bahwa pengelolaan obat yang berhubungan dengan penyakit Covid-19 diselenggarakan secara transparan dan akuntabel. Begitu pun dengan Kontras bersama koalisinya yang ingin mengungkap adanya kepentingan operasi pertambangan dan telah berimplikasi pada langgengnya kekerasan di Papua, khususnya di Blok Wabu, Intan Jaya.
Jabatan publik yang diemban oleh seseorang pada hakikatnya harus diabdikan untuk kepentingan masyarakat. Hal tersebut memiliki konsekuensi bahwa para pejabat harus siap mental untuk dikritik habis-habisan. Kritik masyarakat itu seharusnya dijawab, bukan justru mengambil langkah hukum dan coba mengkriminalkan pengkritik. Paradigma pemangku kekuasaan juga semestinya terbuka dan antusias terhadap masukan dari publik karena dia harus menyadari bahwa masalah yang ada tak bisa ia diselesaikan sendiri.
Somasi, teguran, atau peringatan menunjukkan watak pejabat publik yang alergi terhadap kritik. Para pejabat tersebut juga sangat sensitif, yang ditunjukkan dengan menuding balik bahwa pengkritik telah menghina dan mencemarkan nama dengan memakai Pasal 27 ayat 2 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Padahal pasal tersebut multitafsir dan telah memakan banyak korban. Belum lagi, delik penghinaan terhadap pejabat sudah tak relevan untuk dibedakan dengan delik penghinaan terhadap orang biasa.
Ketimbang melakukan somasi, Moeldoko, Luhut, dan pejabat publik lain seharusnya melakukan klarifikasi berbasis data untuk membantah temuan tersebut. Data itu harus dibuka dan akuntabel sebagai bagian dari implementasi konsep good governance. Selain itu, harus dibuktikan sebaliknya bahwa mereka tidak memanfaatkan jabatannya untuk memburu keuntungan. Lagi pula, dalam praktiknya, masyarakatlah yang biasanya melempar somasi atas buruknya kinerja pejabat, bukan justru sebaliknya.
Rangkaian somasi belakangan ini semakin menegaskan bahwa orang-orang di sekeliling pemerintahan Joko Widodo tidak siap diberi masukan. Lewat somasi, mereka mengancam akan menempuh langkah hukum jika permintaan maaf tidak dilakukan. Terlebih mereka menggunakan jasa pengacara papan atas untuk berhadap-hadapan dengan rakyat.
Kondisi demikian cepat atau lambat akan membuat masyarakat semakin takut bersuara, terutama dalam mengoreksi pemerintah. Keadaan tersebut semakin menegaskan survei Indikator dan LP3ES yang menyatakan bahwa masyarakat semakin takut menyatakan pendapat. Padahal, tanpa pengawasan publik, pemerintahan akan menuju pada rezim otoritarian dan pejabat semakin leluasa menyalahgunakan kewenangannya.
Kondisi ini juga semakin diperparah dengan tak efektifnya sistem checks and balances selama ini, mengingat gemuknya koalisi penguasa. Hal penting lainnya, sengketa yang terjadi antara pejabat publik dan masyarakat tentu mengandung unsur ketimpangan relasi kuasa. Laporan mereka yang memiliki kekuasaan tentu akan mudah diprioritaskan oleh aparat penegak hukum. Situasi ini tentu akan memperlebar ruang kriminalisasi.
Kontrol publik merupakan hal yang mutlak dalam negara demokrasi. Presiden Jokowi bahkan mendorong masyarakat untuk lebih aktif dalam mengkritik pemerintahannya. Untuk menjamin bahwa ucapan tersebut bukan lips service belaka, Presiden harus mengambil tindakan untuk menertibkan anak buahnya. Pejabat yang melakukan somasi harus diingatkan oleh Presiden untuk tidak melanjutkan langkahnya tersebut dan segera meminta maaf kepada publik. Jika didiamkan, indeks demokrasi di Indonesia niscaya akan terus anjlok dan semakin dekat menuju pada negara kekuasaan yang diisi oleh pejabat-pejabat yang resistan terhadap kritik.
Menjadi pertanyaan, jika 76 tahun demokrasi tidak dapat diandalkan lantaran hukum buatan manusia begitu mudah dibelokkan, maka solusi apa yang sanggup menyelesaikan segala persoalan? Oleh karena itu, saatnya kembali pada aturan yang tidak dapat dibantah kebenarannya dan bersumber dari Sang Pemilik Alam.
Posting Komentar untuk "Krisis Demokrasi: Melawan Publik dengan Somasi"