Ajaran Islam Kembali Diotak-atik, dengan Dalih Fikih Alternatif?
Oleh: Liza Burhan (Sahabat Visi Muslim Media)
Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas kembali menimbulkan kontroversi, khususnya di tengah kalangan umat Islam. Hal tersebut ditenggarai atas wacana yang ia kemukakan yakni perlunya fikih Islam alternatif, pada acara Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) Ke-20 tahun yang digelar di Surakarta, Jawa Tengah pada 25 hingga 29 Oktober 2021.
Ia mengemukakan bahwasanya kajian rekontekstualisasi fikih sangat relevan dengan perkembangan dunia saat ini, dan penting untuk melakukan rekontekstualisasi sejumlah konsep fikih atau ortodoksi Islam dalam rangka merespon tantangan zaman.
Setidaknya ada empat alasan yang mendasari wacana rekontekstualisasi ortodoksi Islam yang ia sampaikan tersebut, namun pada intinya poin besar dari keempat alasan itu tak lain merupakan usaha untuk menjunjung tinggi nilai yang dianggap nilai universal, menampilkan wajah baru Islam masa kini. Salah satu alibinya yakni agar praktik-praktik yang diklaim sebagai pengamalan Islam justru tidak membawa akibat yang bertentangan dengan pesan-pesan utama Islam itu sendiri, menurutnya.
Ia berpendapat, norma agama ada yang bersifat universal dan tidak berubah kesempurnaan moral dan spiritualnya, dan ada juga yang bersifat fleksibel jika dihadapkan pada masalah spesifik yang muncul dalam situasi waktu dan tempat yang terus berubah.
Seiring perubahan realitas, fleksibilitas norma agama yang bertentangan dengan norma agama universal juga harus berubah untuk mencerminkan keadaan kehidupan yang terus berubah di bumi, katanya.
Sekilas pernyataan-pernyataan tersebut tampak seperti benar dan bijak, namun jika ditilik secara mendalam terutama terkait fleksibilitas norma agama tersebut, tersirat suatu tujuan yang sejatinya bertujuan berusaha ingin mecocok-cocokkan ajaran dan syariat Islam, agar mampu beradaptasi dengan kondisi perkembangan zaman dan kehidupan yang terus berubah sesuai dengan selera nafsu manusia.
Penyematan istilah rekontekstualisasi ortodoksi Islam yang dipakai, diduga kuat merupakan strategi yang sejatinya ingin mengugat dengan bahasa halusnya ingin mengkaji ulang terkait syariat, fiqih dan berbagai ajaran atau nilai-nilai Islam yang telah baku dalam ijtihad di kalangan para mujtahid dan ulama. Dan enggan menerapkan ijtihad para ulama yang sempurna sesuai garis-garis syara' terkait fiqih permasalahan baru yang membutuhkan ijtihad yang bisa jadi memang sangat diperlukan oleh umat Islam yang hidup di masa kini. Melainkan hanya ingin disesuaikan dengan kepentingan zaman.
Pengertian dari fikih sendiri adalah ilmu terkait hukum syariat yang bersifat praktis yang digali dari dalil-dalilnya yang terperinci. Ia sudah berkembang dan dikodifikasi (ditadwin) oleh para ulama dari masa ke masa. Namun penggaliannya tentu dengan sumber-sumber syar'i yang kuat agar tidak keluar dalam garis kebenaran, oleh para mujtahid mukhlisin yang tidak punya kepentingan duniawi. Sehingga benar-benar membawa kebaikan dan solusi bagi kehidupan manusia agar tidak bertentangan dengan aturan-aturan agama dalam pengamalannya.
Dengan demikian adanya wacana fikih alternatif dan rekontekstualisasi fikih ala Kemenag ini, memunculkan kesan dan pertanyaan benarkah hal tersebut betul-betul bertujuan untuk panduan umat dalam menjalankan ajaran agamanya, ataukah hanyalah kedok dari strategi atas proyek moderasi beragama, dan pengukuhan sekularisasi atas ajaran Islam yang selama ini telah mendarah daging diterapkan dalam sistem demokrasi negeri ini?
Hidup dalam tatanan sistem kehidupan sekuler saat ini, memang tidak aneh jika akan selalu muncul upaya-upaya untuk menjauhkan umat Islam dari ajaran murninya. Narasi rekontekstualisasi dan fikih alternatif Islam ini hanyalah cara baru dalam merusak kemurnian jalan bagi tegaknya hukum-hukum Islam bagi kehidupan umat. Atas dasar kepentingan duniawi dan kekuasaan, para inisiatornya tampak dengan wujud bak penyelamat padahal sesungguhnya mereka adalah kaum perusak. Yang selalu berusaha mengotak-atik Islam dengan kekuatan yang mereka miliki.
Dari masa ke masa karakter yang demikian memang akan selalu bermunculan, bahkan dalam Al-Qur'an pun Allah telah menyebutkan di antara sifat orang munafikin, yaitu suka membuat kerusakan di muka bumi. Akan tetapi mereka tentu akan membantahnya dengan berkata: bahwa sebenarnya kami ingin membuat perbaikan. Allah Ta'ala berfirman,
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ قَالُوا إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُونَ أَلَا إِنَّهُمْ هُمُ الْمُفْسِدُونَ وَلَكِنْ لَا يَشْعُرُونَ
"Dan bila dikatakan kepada mereka: Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, mereka menjawab: "Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan." Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar." (QS. Al-Baqarah: 11-12)
Demikian karakter yang mereka miliki, sejatinya adalah kemunafikan, mereka melakukan kerusakan dengan berbagai siyasat baik secara langsung atau tidak. Dan dengan itu mereka mengaku tengah membuat perbaikan di tengah-tengah masyarakat. Padahal hakikatnya sangat berbalik, apa yang mereka lakukan benar-benar perbuatan merusak. Namun karena kejahilannya mereka tidak tahu bahwa dirinya sedang berbuat kerusakan di muka bumi.
Landasan lain Kemenag dalam wacana rekontekstualisasi fikih Islam ini salah satunya, yang dianggap penting karena keberadaan rekontekstualisasi telah berhenti atau berakhir semenjak Abad Pertengahan silam. Salah satunya ia mengatakan soal ide khilafah yang dinilainya hanya menjadi bencana bagi umat Islam. Sungguh pernyataan tersebut tidak akan keluar kecuali dari hati dan pemikiran rusak yang sarat dengan kebencian terhadap ajaran Islam, yakni Khilafah. Bagaimana mungkin khilafah yang merupakan mahkota dari jalan atas kewajiban untuk diterapkan semua aturan dan syari'at Islam dinilai hanya akan menjadi bencana, padahal itu langsung dari wahyu Allah dan telah diwariskan oleh Rasulullah SAW dan diterapkan oleh para khalafaur rasyidin sebelumnya. Dan terbukti mampu menjadikan Islam sebagai rahmat bagi semua manusia dan alam semesta.
Inilah yang benar-benar harus diwaspadai umat, upaya-upaya penghancuran kemurnian dan kebenaran ajaran Islam yang dibalut dengan topeng kemunafikan. Dan tentu hal ini sungguh yang diinginkan juga oleh Kafir Barat yang merasa terancam akan tegaknya kembali Islam di muka bumi. Mereka begitu terbantu oleh tangan dan mulut-mulut para penguasa-penguasa di negeri kaum muslimin yang juga takut kehilangan kekuasaan.
Islam yang ingin mereka sajikan adalah Islam moderat yang penuh dengan sikap kompromi terhadap syari'at Allah dan Rasul-Nya. Sehingga penerapan Islam secara totalitas dalam institusi negara/pemerintahan merupakan ancaman yang harus umat tolak dengan segala propagandanya. Kecuali jika Islam dapat menyesuaikan dengan selera, hawa nafsu, dan perkembangan zaman, yaitu ajaran dan syari'at Islam hanya akan diambil dan diterima sepotong-sepotong dan jika dapat mendatangkan keuntungan saja. Seperti ranah ibadah, akhlak, serta dalam hal-hal yang dapat mendatangkan materi semata. Inikah ending tujuan dari wacana fikih alternatif Islam yang sedang dicanangkan oleh Kementerian Agama kita?
Wallahu A'lam Bishshawwab.
Posting Komentar untuk "Ajaran Islam Kembali Diotak-atik, dengan Dalih Fikih Alternatif?"