Anak “Stunting”, Orang tua Pusing


 


Oleh: Zulhilda Nurwulan (Relawan Opini Kendari)

Memiliki anak-anak yang sehat, bertumbuh dengan baik dan sesuai prosesnya merupakan kebahagiaan bagi setiap orang tua. Namun, jika keadaannya berbalik, anak-anak mudah sakit dan proses pertumbuhannya lamban tentu menjadi dilema. Stunting adalah kondisi yang ditandai ketika panjang atau tinggi badan anak kurang jika dibandingkan dengan umurnya. (Buletin Stunting, Kemenkes RI/2021)

Fenomena Stunting kini banyak terjadi pada anak-anak Indonesia terlebih selama masa pandemi covid 19 sejak awal 2019 yang lalu. Berdasarkan data Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) pada tahun 2019, prevelensi stunting di Indonesia mencapai 27,7%. Artinya, sekitar satu dari empat anak balita (lebih dari delapan juta anak) di Indonesia mengalami stunting. Angka tersebut masih sangat tinggi jika dibandingkan dengan ambang batas yang ditetapkan WHO yaitu 20%.

Pandemi covid 19 memang menjadi salah satu faktor banyaknya anak-anak Indonesia yang terserang stunting. Faktor ekonomi dan angka kemiskinan menjadi salah satu pemicu peningkatan terhadap prevelensi stunting. Tak dapat dipungkiri, kondisi ekonomi di Indonesia selama pandemi berlangsung sedang tidak baik-baik saja. Faktor ekonomi keluarga berkaitan erat dengan terjadinya stunting pada anak. Hal ini karena kondisi ekonomi seseorang memengaruhi asupan gizi dan nutrisi yang didapatkannya.

Sulitnya Bertahan Hidup di Negeri Kapitalis

Akses terhadap makanan bergizi seimbang di Indonesia belum merata. Padahal faktor utama terjadinya stunting adalah kurangnya asupan gizi anak pada 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK). Pertumbuhan otak dan tubuh berkembang pesat pada 1000 HPK yang dimulai sejak janin hingga anak berumur dua tahun. Pemenuhan gizi pada tahap tersebut sangat penting agar tumbuh kembang anak dapat optimal.

Sebenarnya, tidak sulit memperoleh gizi seimbang di negeri yang kaya sumber daya alam seperti Indonesia. Harta kekayaan alam yang melimpah ruah di seluruh pelosok negeri seharusnya bisa memenuhi kebutuhan pangan masyarakat Indonesia. Sayangnya, fakta yang terjadi di lapangan tidak sesuai dengan kondisi yang ada. Malahan, Indonesia masih tercatat sebagai salah satu negara dengan garis kemiskinan dan kelaparan yang masih cukup tinggi. 

Pada 15 Juli 2021, BPS merilis laporan bahwa pada Maret 2021 sebesar 10,14% atau sebanyak 27,54 juta penduduk Indonesia berstatus miskin. Penurunan tingkat kesejahteraan rumah tangga (berdasarkan pengeluaran per kapita) salah satunya disebabkan oleh turunnya pendapatan rumah tangga. Studi SMERU menunjukkan bahwa 75% rumah tangga mengalami penurunan pendapatan selama pandemi. 

Pandemi memang membawa dampak ekonomi yang sangat buruk dirasakan oleh masyarakat kecil. Jangankan membeli keperluan rumah tangga sekadar makan sehari-hari pun sangat sulit. Kondisi ini diperburuk dengan penguasaan kapitalis terhadap harta kekayaan milik umum. Sehingga, sekalipun terkenal dengan negara yang kaya akan sumber daya alam namun tetap  saja masyarakat tidak bisa mengonsumsi produksi alam secara leluasa. Ditambah lagi, bantuan pangan pemerintah malah tidak cukup memenuhi gizi masyarakat. Bagaimana mungkin gizi akan terpenuhi jika bantuan pangan berupa makanan siap saji sementara anak usia makan pertama membutuhkan komposisi yang kaya akan protein dan nutrisi.

Solusi Islam Mengatasi Kelaparan

Kepemimpinan di dalam Islam berfokus pada kesejahteraan rakyat. Kepemilikan Islam sangat anti dengan kelaparan. Contohnya, Pada masa pemerintahan khalifah Umar bin Khattab, umat Islam di sekitar Madinah ditimpa bencana kelaparan yang telah menyebabkan wabah penyakit dan kematian. 

Kelaparan dan penderitaan rakyat itu dirasakan oleh Umar sebagai penderitaan bagi dirinya. Karena itu, beliau bersumpah tidak akan mengecap daging dan minyak samin. ''Bagaimana saya dapat mementingkan keadaan rakyat, kalau saya sendiri tiada merasakan apa yang mereka derita,'' begitu kata Khalifah Umar yang amat berkesan pada waktu itu.

Kemudian, Islam sangat mengharamkan pengelolaan harta kekayaan milik umum diberikan kepada swasta terlebih kepada asing. Karena, pemerintahan Islam sadar betul jika harta kekayaan milik umum adalah hak seluruh umat untuk memanfaatkan harta kekayaan tersebut sesuai kebutuhan mereka.

Sebagaimana dalam sebuah hadis Rasulullah bahwa “Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api”. (HR. Abu Dawud dan Ahmad). Hadis tersebut menyatakan bahwa kaum Muslim (manusia) berserikat dalam air, padang rumput, dan api. Dan bahwa ketiganya tidak boleh dimiliki oleh individu.

Dengan demikian, jelas bahwa harta kekayaan umum seyogianya digunakan untuk kemaslahatan umat demi memenuhi kebutuhan hidup baik pangan hingga papan. Menurut pandangan Islam, masyarakat memiliki hak yang sama dalam menggunakan harta kekayaan milik umum. Olehnya itu, kebutuhan pangan masyarakat tidak hanya tanggungan individu melainkan harus ada peran negara didalamnya  yang memiliki kewajiban penuh dalam pengelolaannya dan menanggung segala kebutuhan masyarakat. Wallahu’alam biisowwab


Posting Komentar untuk "Anak “Stunting”, Orang tua Pusing"