Benarkah 'Nusantara' Ibukota Para Oligarki?




Oleh: Abu Mush'ab Al Fatih Bala (Penulis Nasional dan Pemerhati Politik Asal NTT)


Pemindahan Ibukota Negara (IKN) menuai pro kontra di masyarakat. Memang ada yang pro tetapi tidak sedikit pula yang kontra. Yang pro beralasan bahwa pemindahan Ibukota Negara ke Kalimantan Timur menguntungkan Indonesia karena daerah baru tersebut bebas dari banjir dan pemindahan ini menyelamatkan ekologi di Jawa.

Benarkah demikian? Banyak ahli dan organisasi masyarakat yang malah banyak mengkritisi UU IKN yang telah disahkan oleh DPR. Rocky Gerung misalnya menyatakan pengesahan RUU IKN menjadi UU terlalu cepat. "Memasang Ibukota Baru tidak seperti memesan martabak. Yang langsung jadi", seru RG dalam akun official youtubenya.

Salah kebijakan kota baru diduga akan berakhir seperti Kota Hantu di Myanmar. Yang penduduknya sedikit dan bangunan banyak yang terbengkalai. Pembangunan kota baru di Myanmar hanya menghabiskan anggaran Negara dan berakhir dengan memburuknya ekonomi.

Memang benar memindahkan Ibukota seharusnya mendalami dulu pendapat para ahli dalam hal pendanaan, tata ramah lingkungan, keamanan terhadap serangan dari luar, bebas dari lahan sengketa, aman dari bencana dan lain-lain. Namun sayangnya pemindahan Ibukota ini dilakukan secara sangat cepat seolah-olah ingin memenuhi "hawa nafsu kepentingan golongan tertentu".

WALHI misalnya mengeluarkan laporan tentang analisis yang sangat mendalam, rinci dan cemerlang tentang proyek Ibukota Negara yang baru ini. Analisis pertama ternyata lahan baru di Kaltim ini bukan lahan kosong. Kawasan Ibu Kota Negara (IKN) ini dibagi tiga ring. 

Ring satu seluas 5.644 hektar yang disebut pemerintah sebagai Kawasan Inti Pusat Pemerintahan, ring dua seluas 42.000 hektar yang disebut pemerintah sebagai Kawasan Ibu Kota Negara (IKN), dan ring tiga seluas 133.321 hektar yang disebut pemerintah sebagai Kawasan Perluasan Ibu Kota Negara.

Di kawasan ini ada dua konsesi kehutanan masing-masing berstatus Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu–Hutan Alam (IUPHHK–HA) PT. International Timber Corporation Indonesia Kartika Utama (PT. IKU), dan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu–Hutan Tanaman (IUPHHK–HT) PT. International Timber Corporation Indonesia Hutani Manunggal (PT. IHM). 

Kawasan Inti Pusat Pemerintahan atau ring satu seluruhnya berada di dalam konsesi PT. IHM sementara ring dua seluas 42.000 hektar mencakup konsesi PT. IHM dan sekaligus PT. IKU. Bukan itu saja, terdapat 94 lubang bekas tambang batu bara yang terletak di atas kawasan IKN.

Banyak pihak menduga dengan pemindahan IKN ke daerah ini, perusahaan-perusahaan oligarki bermaksud untuk berlepas tangan dari pemulihan dan reklamasi bekas lahan tambang tersebut. Dari yang semula wajib dikerjakan oleh para oligarki dialihkan tanggung jawab kepada pemerintah. Bahkan menurut Ustadz Ahmad Khozinuddin, salah seorang pengusaha oligarki selain bebas dari pemulihan lahan bekas tambang malah mendapatkan izin penyediaan air bersih di wilayah IKN.

Pemindahan IKN ini diduga juga akan menimbulkan konflik sosial. Diprediksi akan banyak lahan rakyat yang diambil secara paksa atau digusur. Berdasarkan Rancangan Undang-undang 

Pertanahan yang tengah disodorkan pemerintah ke DPR, jika tanah tidak bisa dibuktikan siapa pemiliknya, maka otomatis menjadi milik negara.

Hal ini merupakan praktik politik agraria zaman kolonial. RUU tersebut mempersulit peluang penyelesaian konflik lahan dan dikhawatirkan justru akan muncul peradilan pertanahan. 

Pengadilan pertanahan bersifat legalistik, hukum positif semata. Jika hal tersebut terjadi maka otomatis petani, masyarakat adat, buruh tani, yang menurut hukum positif itu ilegal, sulit memperoleh keadilan. 

RUU Pertanahan yang sedang diajukan saat ini, merupakan ancaman kriminalisasi bagi masyarakat yang mempertahankan tanahnya dari penggusuran (CNN Indonesia, 7 September 2019 dalam final report WALHI). Daerah IKN di Kalimantan sempat terendam banjir disebabkan pembabatan hutan secara liar dan bekas lahan tambang yang belum dipulihkan. Dari sisi lingkungan, sumber energi yang terdapat di Kaltim masih didominasi oleh PLTU tenaga batubara dan masih minim komitmen menggunakan sumber energi yang ramah lingkungan seperti Energi Tak Terbarukan.

Maka pemindahan Ibukota Negara belum waktunya dilaksanakan. Pemindahan ini terjadi pada saat Utang negara semakin membesar dan belum jua lunas. Anggaran pembentukan IKN juga sebagian besarnya dibebani dari APBN. Seharusnya diambil pelajaran dari negara lain yang juga sempat gagal membangun ekonomi setelah pindah ibukota. 

Harusnya penguasa lebih fokus kepada bagaimana melunasi utang negara, memberantas korupsi hingga ke akarnya, membangun ekonomi yang kuat bahkan surplus. Ini lebih baik daripada "tergesa-gesa" memindahkan Ibukota sehingga diduga hanya akan mendapatkan penyeselan dan beban baru bagi rakyat Indonesia.[]


Bumi Allah SWT, 27 Januari 2022


#DenganPenaMembelahDunia

#SeranganPertamaKeRomaAdalahTulisan

#IKNProyekOligarki                   

Posting Komentar untuk "Benarkah 'Nusantara' Ibukota Para Oligarki?"