Angka Perceraian Meninggi, Ada Bahaya Mengintai
Oleh: Riza Mulyani (Sahabat Visi Muslim Media)
Untung tak dapat diraih malang tak dapat ditolak. Begitulah tepatnya kondisi sebuah keluarga ketika meninggalkan syariah-Nya. Bahkan ada bahaya besar yang mengintai jika sistem kapitalisme masih terus melingkupi mereka.
Nyaris setengah juta pasangan suami istri (pasutri) di Indonesia cerai sepanjang 2019. Dari jumlah itu mayoritas perceraian terjadi atas gugatan istri (detikcom, Jum'at 28/2/2020).
Dari tahun ke tahun angka perceraian di Indonesia memang terus meningkat, berdasarkan yurisdiksi pengadilan agama seluruh Indonesia, penyebabnya lebih banyak didominasi faktor perselisihan yang terjadi terus menerus, masalah ekonomi dan penelantaran salah satu pihak.
Maraknya kasus perceraian, sesungguhnya bisa menjadi satu bukti bahwa struktur dan ketahanan keluarga di negeri muslim ini makin lama makin rapuh. Keluarga ideal memang sulit diwujudkan di tengah situasi yang karut marut seperti saat ini. Seperti pepatah mengatakan "untung tak dapat diraih malang tak dapat ditolak".
Penerapan sistem sekuler kapitalisme telah memunculkan berbagai krisis multi dimensi yang mengganggu pola relasi antar anggota keluarga dan menggoyah bangunan keluarga hingga rentan perpecahan. Bahkan tak hanya struktur keluarga yang goyah, tapi masyarakatpun turut goyah. Padahal antara keluarga dan masyarakat keduanya saling berpengaruh.
Sistem ekonomi kapitalisme yang eksploitatif misalnya, nyata-nyata telah memproduksi kemiskinan dan gap sosial yang kian lebar. Badai PHK pun terjadi di mana-mana. Pajak melangit, sementara biaya kebutuhan semakin jauh dari jangkauan. Kondisi inipun diperparah dengan penerapan sistem sosial yang tak kenal halal haram, bahkan pergaulan masyarakat diwarnai paham rusak seperti liberalisme, pluralisme yang menyingkirkan peran agama dalam kehidupan hingga dengan mudah memicu kasus-kasus dekadensi moral, yang sangat membahayakan.
Namun sayang, solusi pemerintah mengatasi rapuhnya ketahanan keluarga masih parsial dan tidak menyentuh akar masalah persoalan. Pemberdayaan ekonomi perempuan, penyuluhan pra pernikahan, penyuluhan-penyuluhan agama dan lain-lain nampak tak mampu menyelesaikan persoalan. Bahkan baru-baru ini sebuah Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketahanan Keluarga dicanangkan untuk mengembalikan fungsi keluarga dengan mengukuhkan seluruh aspek pendukung keluarga, termasuk memperbaiki polarisasi suam istri dan lainnya. Namun upaya ini pun ternyata memicu pro-kontra.
Yang tak sepakat menilai bahwa RUU ini terlalu masuk ke ranah privat, dan tak sesuai dengan prinsip kesetaraan gender yang selama ini diperjuangkan. Apalagi RUU ini dipandang terlalu kental dengan nuansa ajaran Islam, sehingga dipandang tak sesuai dengan spirit ke bihinekaan yang selama ini diagung-agungkan.
Padahal sesungguhnya hanya Islam Kaffah yang mampu mewujudkan ketahanan keluarga sekaligus mengukuhkan bangunan masyarakat hingga negara.
Sistem politik pemerintahan Islam tegak diatas paradigma yang sahih tentang kepemimpinan. Pemimpin dalam Islam berfungsi pengurus sekaligus sebagai perisai bagi umat melalui penerpan sistem Allah Swt.
Sistem ekonomi Islam dipastikan akan menjamin kesejahteraan orang per orang. Karna sistem ini berangkat dari paradigma yang sahih tentang apa makna kebutuhan, potensi manusia, dan bagaimana mengelola seluruh sumber daya seluruh alam yang telah Allah berikan.
Begitupun dengan sistem sosial, Islam mengatur pergaulan masyarkat termasuk relasi laki-laki dan perempuan dengan tujuan yang mulia dan memuliakan yakni melestarikan keturunan sekaligus mewujudkan generasi cemerlang, pioner peradaban yang dalam keimanan.
Aturan-aturan nampak salah satunya dari hukum-hukum keluarga Islam di dalamnya, pernikahan dipandang sangat sakral, akad yang dilangsungkan dipahami sebagai perjanjian yang kukuh.
Keluarga pun mendapat kedudukan penting dalam Islam. Selain tempat memenuhi naluri nau atau melestarikan keturunan dan sebagai tempat menyebar rahmat juga memiliki posisi politis dan strategis. Sebagai madrasah tempat mencetak generasi cemerlang.
Islam menetapkan suami atau bapak sebagai pemegang kendali kepemimpinan sekaligus pencari nafkah bagi keluarga. Sementara ibu sebagai guru atau madrasah ula bagi anak-anaknya sekaligus sebagai manager rumah tangga bagi suaminya.
Ke dua peran ini tak bisa dipertukarkan dan dipandang sama penting. Tak ada yang lebih istimewa antara satu dengan yang lainnya sebab Allah yang Maha Tahu. Dengan tegaknya seluruh aturan Islam dalam kehidupan inilah, InsyaAllah individu, keluarga, masyarkat, bahkan negara akan kukuh terjaga. Kerahmatan pun akan melingkupi seluruh alam sebagaimana sejarah telah membuktikan.
Posting Komentar untuk "Angka Perceraian Meninggi, Ada Bahaya Mengintai"