Wacana Khilafah dalam Demokrasi, Peluang atau Kooptasi?
Oleh: Ainul Mizan (Peneliti LANSKAP)
Seorang politisi Golkar, Andi Sinulingga dalam tweetnya melontarkan wacana mengganti sistem pemerintahan Indonesia. Andi menyarankan agar ada amandemen UUD 45 yang mengganti sistem Republik menjadi sistem Khilafah. Bahkan ia mengukuhkan Jokowi sebagai sultan pertamanya.
Tentu adanya wacana Khilafah dari seorang politisi bisa menjadi trendsetter di kalangan parpol. Minimal mulai ada diskursus tentang kemungkinan sistem pemerintahan berganti menjadi Khilafah. Paling tidak, istilah Khilafah sebagai sistem pemerintahan Islam menjadi hal biasa yang didiskusikan. Dengan sendirinya akan mampu menepis anggapan bahwa Khilafah yang ada dalam Al-Qur'an bukanlah sistem pemerintahan.
Hanya saja dalam menyikapi pernyataan seorang politisi, memerlukan kesadaran politik. Pola pikir politik seharusnya digunakan untuk menyikapinya. Artinya kita harus berpikir apa yang melatar belakanginya dan hal lain yang melingkupinya.
Lontaran tweet politisi Golkar ini ada pengaruh dari wacana presiden 3 periode hingga pengunduran pemilu 2024. Zulhas dan Cak Imin termasuk yang mendukung pengunduran pemilu 2022. Alasannya adalah presiden Jokowi masih termasuk yang 'terbaik' berdasarkan hasil survey. Di samping itu, pemerintah masih harus fokus pandemi, ujar Andi Sinulingga.
Bermula dari pengunduran pemilu 2024, muncul wacana mengganti pemerintahan Indonesia dengan Khilafah. Artinya Andi Sinulingga mendukung Jokowi memimpin lagi, apalagi ditawarkannya Jokowi sebagai sultan pertama.
Jadi wacana penggantian sistem pemerintahan menjadi Khilafah tetap berada dalam bingkai demokrasi. Mewacanakan penggantian sistem menuju Khilafah bisa menjadi populis saat ini. Sentimen umat Islam adalah membuang demokrasi dan merindukan Khilafah. Tentu tidak elok bila narasi yang sama dikembangkan sebagaimana Zulhas dan Cak Imin, yakni pengunduran Pemilu 2024. Pengunduran pemilu berarti tetap mendukung Jokowi sebagai pemimpin.
Menimbang Wacana Jokowi jadi sultan
Hal terpenting untuk dipahami bahwa sistem Khilafah bukanlah sebuah sistem pemerintahan yang terkooptasi dalam sistem besar Demokrasi. Dengan mudahnya ngetweet untuk mengamandemen UUD 45 tentang Khilafah. Ini menjadi indikasi Khilafah yang akan ditegakkan masih harus bernegosiasi dengan regulasi Demokrasi. Padahal Khilafah itu sistem pemerintahan yang Agung. Khilafah tidak membutuhkan ijin dari sistem manapun untuk mendakwahkan dan menyebarkan Islam.
Khilafah itu memastikan kemandirian. Tidak mau berada dalam hegemoni negara penjajah seperti AS. Khilafah itu sistem yang unik dan khas berbeda dengan sistem pemerintahan yang lain.
Di samping itu, syarat pengangkatan seorang Kholifah terdiri atas laki-laki, Islam, merdeka, akil baligh dan mampu mengemban amanah sebagai kholifah. Adapun kemampuan dalam mengemban amanah kepemimpinan secara teknis akan dirincikan oleh Majelis Umat. Jadi seorang pemimpin yang track record kepemimpinannya adalah timbul krisis multidimensi. Parahnya kekuasaan yang didapatkannya dengan cara manipulatif dan brutal tidak akan hilang dari benak rakyatnya. Pertanyaannya apakah sosok demikian yang layak diberikan amanah kepemimpinan Agung dalam sebuah kekhilafahan?! Tentunya hal yanh sudah jelas tidak perlu diperjelas lagi.
Walhasil lontaran wacana Khilafah hanya dijadikan sebagai pemanis dalam goyahnya sistem demokrasi saat ini. Oleh karena itu, mengembalikan Khilafah harus mendapat dukungan umat Islam dan ahlul quwwah seperti tentara, guna menghadapi rongrongan negara penjajah yang sudah diputus hubungannya.
Jika demikian halnya, Khilafah yang hakiki dan Agung akan mudah dikembalikan lagi puing-puing kejayaan sejarahnya. Umat Islam akan bergembira seluruhnya karena datangnya pertolongan Allah yang memuliakan.
#07 Maret 2022
Posting Komentar untuk "Wacana Khilafah dalam Demokrasi, Peluang atau Kooptasi? "